Gonjang-Ganjing Politik Kaum Santri

Judul        : POLITIK SANTRI, Cara Menang Merebut Hati Rakyat
Pengarang     : Abdul Munir Mulkhan
Terbit         : 22-04-2009
ISBN         : 978-979-21-2272-5
Halaman         : 304
Peresensi   : M Nurul Ikhsan

Harian Koran Media Indonesia, Sabtu, 27 Juni 2009

Dalam perkembangannya yang terakhir, kehidupan sosial-politik pemeluk Islam Indonesia cenderung berbeda dengan gejala sebelum reformasi 1998. Anak-anak muda santri kini tidak hanya terlibat aktif di dalam partai berbasis Islam, tapi juga dalam partai berbasis budaya sekuler dan nasionalis. Bersamaan itu muncul pula berbagai organisasi sosial Islam baru. Sebagian di antara aktor muda gerakan Islam tersebut juga aktif dalam berbagai gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Buku ini menunjukkan ada dua peta besar kehidupan sosial-budaya generasi baru santri, yaitu kelompok konservatif dan liberal. Partai Islam dan gerakan Islam baru dengan aktor utama generasi baru santri tersebut, tampak berada pada titik silang perjumpaan dua basis sosial-budaya Islam Indonesia modernis dan tradisionalis. Oleh karena itu, kedua kelompok tersebut tetap berakar pada komunitas tradisional NU dan Muhammadiyah.
Anak-anak muda santri berbasis budaya NU dan Muhammadiyah tersebut tergabung dalam berbagai partai Islam baru dan gerakan Islam baru yang konservatif atau liberal. Pada umumnya mereka lahir dari tradisi NU dan Muhammadiyah yang sebagian tergabung dalam Jaringan Isalm Liberal (JIL) atau Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Belakangan muncul gerakan Islam progresif dengan agenda utama pemihakan pada kaum mustadl’afin (tertindas) terutama dari mereka yang selama ini aktif dalam berbagai gerakan LSM. Selain itu, tidak sedikit anak-anak muda santri tersebut aktif dalam berbagai gerakan yang belakangan dikenal fundamentalis, seperti Hizbut Tahrir, Kammi, Majelis Mujahidin, dan beragam lembaga dakwah kampus (LDK).
Sebagian anak-anak muda santri itu berasal dari keluarga yang tergolong abangan atau priyayi. Mereka mulai mengembangkan identitas Islam Baru yang tidak semata-mata bisa dikelompokkan dalam peta klasik; modernis-tradisionalis, santri atau abangan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) satu di antaranya.
Namun, dalam dataran lebih luas, kategorisasi sosial-budaya-santri, priyayi, abangan-Clifford Geertz tetap relevan untuk memahami dinamika kehidupan keagamaan, kemudian politik, dair pemeluk Islam di Indonesia.
Dapatlah dikatakan bahwa dinamika sosial-budaya, keagamaan, dan politik Muslim Indonesia masih tetap bertumpu pada basis epistemologi Geertz-ian atau Weber-ian. Praktik keagamaan komunitas Muslim selalu berhubungan dengan tingkat partisipasi pendidiakan, tempat tinggal; keluarga, pekerjaan sebagai petani, buruh, pedagang, birokrasi, serta status sosial (kaya-miskin).
Berdasar basis epistemologi ini bisa dibaca kecenderungan politik masing-masing komunitas yang kadang saling bertentangan dari yang tetap kukuh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara yang sering diberi label fundamentalis-radikal hingga kaum moderat yang lebih mementingkan keberlakuan etika-moral dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik.
Fenomena menarik lain ialah lahirnya berbagai partai Islam baru dan gerakan sosial Islam baru. Partai Islam baru tersebut tidak mempunyai hubungan kultural dengan partai lama, seperti Masyumi atau NU, dalam posisi keduanya sebagai partai pada awal kemerdekaan.
Menurut penulis, Abdul Munir Mulkhan, masa depan suatu partai politik apakah ia dibangun dari sebuah keyakinan teologis, tradisi lokal, atau ideologi sekuler, pada akhirnya ditentukan bagaimana aktivis partai bersangkutan membangun komunikasi dengan publik pemilih.
Realitas politik di dalam perkembangan politik nasional secara demikian akan mulai mengubah pandangan dan perilaku politik kaum santri ke arah yang semakin cair yang tidak lagi bersikukuh pada basis ideologi sebagaimana praktik politik pada gerasi awal kemerdekaan.
Sementara masyarakat menentukan pilihan politik berdasar tradisi dan kebutuhan hidup serta pola hubungan yang terjalin dalam waktu lama dengan partai dan aktivisnya, partai-partai yang dibangun dari nilai keagamaan kaum santri kurang menaruh perhatian pada kebutuhan komunikasi politik tersebut.
*) M Nurul Ikhsan, Peneliti pada Central for Humankind and Cultural Studies (CHCS) Yogyakarta.


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger