AGAMA SUMBER KEJAHATAN?

Judul Asli        : Is Religion Dangerous?
Penulis            : Keith Ward
Penerjemah    : L. Prasetya Pr
Penerbit          : Kanisius
Cetakan          : 1, 2009
Tebal               : 271 hal

Apa yang dipaparkan oleh Keith Ward dalam buku ”Benarkah Agama Berbahaya?” ini merupakan sebuah pembelaan terhadap agama yang seringkali dianggap sebagai sumber kejahatan dan kekerasan. Penulis mengulasnya dari berbagai sudut pandang: sejarah, filsafat, sosiologi, dan psikologi.
Secara beruntun, penulis menyampaikan argumentasinya bahwa agama bukanlah seperti yang dikatakan oleh banyak orang: agama menakutkan dan harus dilawan karena merusak pikiran, agama menuntun ke terorisme dan kekerasan, keyakinan-keyakinan religius itu irasional dan imoral, dan tidak ada tempat dalam masyarakat sekular modern. Responnya terhadap berbagai pandangan banyak orang tersebut dibagi dalam empat bagian pokok: agama dan kekerasan, rasional dan tidaknya keyakinan religius, moral atau tidaknya keyakinan religius, dan sisi positif-negatif dari agama.

Agama dan Kekerasan
            Akhir-akhir ini sering terjadi tindak kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mengatasnamakan agama. Ambil contoh saja terorisme yang terjadi di Indonesia. Berbagai kasus bom bunuh diri yang mengatasnamakan pembelaan terhadap agama, konflik yang melibatkan dua kelompok besar – yang dianggap mewakili kepentingan agama tertentu, dan berbagai contoh kasus lain yang dianggap sebagai persoalan antaragama.
            Adanya berbagai kasus tersebut mau tak mau menghantarkan orang pada suatu kesimpulan bahwa agama hanyalah menjadi sumber konflik. Dengan kata lain, agama menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan atau tindak kejahatan. Benarkah anggapan tersebut?
Menanggapi hal ini, penulis mencoba menganalisanya dari segi sosiologis dan psikologis. Dari aspek sosiologis, agama seringkali dijadikan sebagai identitas sosial suatu masyarakat yang dapat memainkan peranan dalam kerasnya konflik-konflik sosial. Apabila agama dijadikan sebagai identitas sosial, maka mau tak mau konflik-konflik sosial dikaitkan dengan agama tertentu.
Berkaitan dengan ini, penulis menyampaikan argumen untuk melawannya dengan analisa sejarah: ”Agama terlibat dalam kekerasan, khususnya di mana agama menjadi penanda identitas dalam situasi konflik sosial. Agama sering menjadi suara moderasi dan rekonsiliasi, itulah peran yang benar, seperti dokumen-dokumen Kitab Suci dari semua agama besar dunia. Tanpa agama, bukti sejarah menunjukkan dengan jelas, bahwa masih ada perang dan kekerasan di muka bumi..... Dengan agama ada kesempatan bahwa, sekurang-kurangnya tempat, untuk sementara, dan lebih luas, kebaikan akan berjalan baik di muka bumi.” (108).

Agama dan Rasio
            Di era sekular modern ini agama banyak ditinggalkan. Seakan agama tak menyumbang apa-apa bagi peradaban manusia, justru sebaliknya, agama menjadi penghambat berkembangnya peradaban manusia yang semakin modern. Sebagai bukti, gereja-gereja mulai kosong, masjid-masjid mulai sepi, dan berbagai tempat keagamaan mulai surut dengan orang-orang yang akan beribadah.
            Fenomena ini menjadi keprihatinan bagi banyak tokoh agama yang mencoba untuk tetap setia. Keprihatinan ini dinilai sebagai akibat dari rasionalisasi yang semakin meluas. Banyak orang mempertanyakan kembali apakah doktrin-doktrin dalam agama masuk akal atau tidak. Pada umumnya, mereka yang mulai meninggalkan agama menganggap bahwa doktrin dan berbagai ajaran dalam agama tidak masuk akal, bahkan justru menjadi penghambat dari kebebasan manusia.
            Buku Benarkah Agama Berbahaya? ini juga mencoba mengulas keprihatinan ini. Penulis memberikan berbagai argumen filosofis dan psikologis untuk menerangkan bahwa agama masih tetap mempunyai peran penting bagi hidup manusia dewasa ini. Agama tetap masuk akal dan berguna.

 Apakah Agama Berbahaya?
            Dengan berbagai bukti yang diungkapkan dalam buku yang berjudul asli Is Religion Dangerous? ini, penulis mengutip uraian Karl Marx bahwa agama merupakan hati yang berbela rasa terhadap dunia yang dingin dan tanpa hati. Kendati banyak kejahatan yang terjadi atas nama agama, namun penulis yakin bahwa tanpa agama bumi ini akan menjadi jauh lebih buruk, dan hanya akan ada sedikit harapan bagi masa depan.

St Sigit Pranoto
Mahasiswa Fakultas Teologi
Universitas Sanata Dharma
Alamat tinggal:
Skolastikat SCJ
Jl Kaliurang Km 7,5
Yogyakarta


Dimuat di Jurnal Fenomena Maret 2010

Buku Panduan Kerukunan Beragama

Judul : Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?
Editor : Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr, Bahia G. Tahzib Lie
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Terbit : 2010
Tebal : xvii + 829 Halaman

Kedaulatan Rakyat, Minggu Kliwon, 28 Maret 2010

Kerukunan beragama merupakan mantra yang harus disemai di tengah semakin masifnya intoleransi dan diskriminasi. Tanpa ada upaya mewujudkan hal tersebut kehancuran bangsa atas nama agama akan semakin nyata. Tentunya hal ini bukan yang kita inginkan. Maka diperlukan upaya nyata mewujudkan kerukunan beragama dalam bingkai atau semangat toleransi, multikulturalisme, sikap saling hormat menghormati dan saling memahami, hak asasi manusia, dan kerelaan, ketulusan dan kejujuran dalam beragama.
Buku Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? sebagai terjemahan dari karya asli dalam bahasa Inggris yang berjudul Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook pada tahun 2004 ini merupakan sebuah upaya nyata dalam mewujudkan tatanan kerukunan beragama itu.
Buku yang semula merupakan makalah pada Konferensi Oslo tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, yang diadakan pada bulan Agustus 1998 dan disponsori bersama oleh pemerintah Norwegia begitu menawan. Selain ditulis oleh para pakar dan pekerja kerukunan beragama, buku ini diperkaya oleh perspektif sosial-budaya dan pendidikan yang beragam dari para penulisnya. Perspektif ini akan semakin memperkaya pengalaman dan cara kerja mewujudkan kerukunan beragama.
Adalah penting untuk menekankan kembali bahwa proses ini memakan waktu, dengan beberapa bab diselesaikan dalam waktu yang sangat berbeda. Adalah penting juga untuk dikemukakan kembali bahwa para penulis yang berbeda datang dari berbagai latar belakang yang amat berbeda dan mengambil posisi yang amat berbeda di mana mereka masing-masing memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri. Ini adalah bagian dari argumen yang beralasan dan dialog dengan sikap saling menghormati yang sungguh amat diperlukan. Ada banyak hal untuk tidak disetujui, dan pada saat bersamaan, banyak untuk dipelajari.
Buku antologi ini merupakan bahan rujukan tersendiri bagi mereka yang menaruh kepedulian terhadap upaya fasilitasi meningkatnya pemenuhan hak dan kewajiban mengikuti standar-standar internasional di bidang yang penting ini.
Pada akhirnya, mengutip pendapat Azyumardi Azra dalam pengantarnya, buku ini merupakan sebuah bacaan wajib bagi seluruh stake-holders yang terkait dan peduli dengan perwujudan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tak kurang pentingnya, buku ini juga dapat menjadi salah satu referensi pokok bagi para pengajar dan mahasiswa Fakultas Hukum pada Universitas-universitas umum dan Fakultas Syariah dan Hukum pada Universitas Islam Negeri di tanah air kita. Dan tentu saja juga sangat penting bagi mereka yang terlibat dalam kepemimpinan agama, dialog-dialog intra dan antar-agama, dan kajian-kajian agama di lembaga-lembaga akademis maupun kemasyarakatan.

(Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)

Mengobati Endemi Korupsi

Judul  : BANDIT BERDASI KORUPSI BERJAMAAH
Pengarang  : Suhartono W. Pranoto
Terbit  : 15-04-2008
ISBN  : 978-979-21-1810-0
Halaman  : 218
Peresensi : Akhmad Kusairi


Setelah reformasi digulirkan masyarakat Indonesia sering kali mendengar permasalahan yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara. Media massa dalam hal ini sangat berperan dalam memberitakannya, disebabkan unsur publisitas yang laku dipasaran. Sehingga masalah ini tak jarang dijadikan head line oleh suatu media.

Korupsi memang sudah mendarah daging di kalangan para birokat, atau memang sudah menjadi endemi yang sama sekali sulit untuk disembuhkan. Ironisnya tidak ada jaminan setiap kali terjadi perubahan pimimpin, maka Indonesia akan terbebas dari korupsi. Bahkan hukum yang sudah ada pun belum mampu menjawab pertanyaan "apakah korupsi bisa dibumi hanguskan?"

Menurut Fockema Andreae (1983) kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption, dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda itulah kemudian turun ke bahasa Indonesia, yaitu "korupsi." Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: "korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

Didalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa. Sekarang di Indonesia jika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat yang menyangkut keuangan negara dan suap.

Korupsi untuk kasus Indonesia bukanlah hal yang baru. Dalam perjalanan panjang Indonesia sebagai bangsa, sudah bisa dipahami bahwa pergantian rezim kekuasaan sejak masa kerajaan, kolonial, dan pasca kemerdekaan, korupsi hampir selalu terjadi. Mengapa hal itu terjadi? Tentu karena budaya politik feodal menguntungkan pemegang kekuasaan dan birokrat pendungkungnya.

Di Indonesia korupsi hampir terjadi di setiap lini kehidupan. Sehingga kemudian tak heran jika korupsi secara tak langsung dikatakan sebagai bagian dari budaya Bangsa ini. Semakin mengakarnya korupsi dalam budaya Indonesia sehingga memberantasnya dianggap sebagai upaya menghilangkan budaya bangsa. Ini bisa terlihat jelas beberapa waktu lalu DPR dengan hak legislatifnya menentang keras penggledahan terhadap ruang kerja Al-Amin Nasution, salah satu anggota DPR.

Korupsi cukup meresahkan karena dengan segala kecanggihannya secara mudah menghasilkan uang yang ilegal yang kemudian tentunya merugikan keuangan negara. Berapa sesungguhnya kerugian negara yang dikorupsi setiap tahun? Kwik Kian Gie membuat hitungan per tahun dalam triliun rupiah. Ika, pasir, dan kayu yang dicuri 90 triliun, pajak yang dibayar oleh pembayar pajak tetapi tidak masuk ke kas negara 240 trilun, subsidi kepada perbankan yang tidak pernah sehat 40 triliun, dan kebocoran APBN 74 trilun sehingga jumlah semuanya menjadi 444 triliun yang lebih besar dari APBN 2003.

Dalam buku ini, penulisnya berpendapat bahwa agar korupsi bisa sedikit teratasi di Indonesia, diperlukan pemahaman budaya bangsa karena budaya (baca: Korupsi) itu sudah mengakar jauh berabad-abad sebelumnya. Oleh karena itu diperlukan budaya bersih dipadukan dengan disiplin tinggi. Kombinasi itu diperkirakan dapat menjadi alternatif terhadap kejahatan Bandit Berdasi, suatu istilah yang sering digunakan untuk menyebut pelaku korupsi di dalam pemerintahan.

Menurut Emmy Hafild yang diperlukan Indonesia sekarang adalah sistem integrasi nasional yang bermuara pada kesadaran masyarakat, yaitu dari elemen kesadaran dengan nilai-nilainya harus digerakkan untuk menetapkan langkah-langkah antikorupsi. Elemenn total yang diperlukan terdiri dari legislatif, pegawai negeri, bisnis, media massa, lembaga pengawas: KPK, BPK, BPKP, civil society, serta kalangan rohaniawan.

Budaya bersih memang suatu harapan. Namum jelas bahwa membudayakan masyarakat dan bangsa harus dilakukan dengan telaten. Pendidikan yang berkesinambungan di keluarga adalah yang terpenting yang kemudian dilanjutkan di sekolah dan masyarakat. Jika ketiga pendidikan yang berbeda tempat dan situasi berlangsung dengan baik diperkirakan moral bangsa akan terjamin. Sekurang-kurangnya korupsi di Indonesia akan terkurangi.

Oleh karena itu, Indonesia hanya akan survive dalam dunia globalisasi kalau ada preparasi matang terhadap generasi muda yang sudah dibekali nurani yang tinggi dan rasio yang tangguh. Keraguan bertindak akan mengurangi hasil yang optimal. Kepemimpinan Presiden SBY selama ini belum menunjukkan kegembiraan, karena di sana sini masih terjadi kerusuhan, destruksi, dan sejenisnya. Citra kultural juga belum tampak seperti pembangunan mental, kehidupan berbudaya bersih, dan konsistensi perilakunya. Pemerintah SBY selama terutama dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Untuk mewujudkan birokrasi dan masyarakat yang bersih belum terencana dengan baik dan dilakukan dengan secara simultan. Sebenarnya modus operandi-nya tidak berbeda dengan masa sebelumnya.

Buku Bandit Berdasi, Korupsi Berjamaah ini terasa lebih karena di dalamnya berisi sejarah dari awal hingga tahun 2007 korupsi di Indonesia. Dari sejak jaman para Raja-raja hingga jaman SBY-JK. Sehingga kemudian bukan suatu yang mengherankan jika buku ini merupakan pelengkap terhadap beberapa buku sebelumnya yang menggunakan tema yang sama. Cuma bedanya buku ini lebih komplit dan komprehensip. Namun berhubung kasus korupsi selalu berkembang membuat buku ini tidak bisa up to date. Karena buku ini membicarakan korupsi terakhir tahun 2007, sedangkan sekarang sudah tahun 2008, di mana terdapat kasus-kasus baru yang menghebohkan, yang menambah daftar hitam pemerintah. Yang paling mutakhir adalah kasus yang menimpa semua anggota fraksi IX DPR pada pemerintahan Gus Dur. Semoga segala kasus korupsi semuanya terbongkar.


Akhmad Kusairi, Mahasiwa Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Menumbuhkan Budaya Akademik

Judul      : Menuju Pendidikan Global? 
Editor      : Judith Schlehe dan G.R. Lono Lastoro Simatupang
Terbit : 11-12-2008
ISBN : 978-979-21-2093-6
Tebal      : 461
Peresensi : Nurul Maghfiroh

Memilih PT memang bukanlah pekerjaan mudah. Ia membutuhkan ketekunan dan waktu luang yang banyak. Guna mendapatkan informasi yang memadai tidak hanya melalui dari browsing di internet, bertanya kepada teman, atau melalui brosur. Informasi yang tepat juga dapat ditelaah melalui sebuah buku.

Buku berjudul Menuju Pendidikan Global? Membandingkan Budaya Akademik di Indonesia dan Jerman, menjadi semacam panduan bagi siapa saja yang ingin memasuki dunia pendidikan tinggi. Di dalam buku ini disajikan sekian data dan fakta mengenai budaya akademik yang menjadi ruh dalam PT.
Pendidikan dan budaya di sekolah mempengaruhi budaya akademik di jenjang pendidikan selanjutnya. Hal itu terlihat, ketika mahasiswa sudah masuk universitas. Perbedaan antara mahasiswa Indonesia dan Jerman dalam pengalaman dan orientasi muncul dari nilai-nilai pendidikan yang mereka bawa dari jenjang pendidikan sebelumnya (hal. 457). 

Buku ini berisi kumpulan makalah hasil penelitian mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan mahasiswa Albert-Ludwigs University, Freiburg, Jerman. Penelaahan terhadap data lapangan yang disilang menjadikan buku ini obyektif. Artinya, hasil pengamatan mahasiswa ditulis apa adanya sesuai dengan kaidah penelitian.

Kelebihan buku ini juga terletak pada kejelihan peneliti muda dalam melihat realitas budaya akademik yang berbeda antara dua universitas berbeda negara tersebut. Seperti mengenai gaya hidup dosen alumnus PT luar negeri, gaya hidup mahasiswa, aktivitas sosial mahasiswa di Indonesia yang berwujud kuliah kerja nyata (KKN) yang tidak ada di Jerman, dan satu hal yang tidak bisa dibandingkan langsung adalah keberadaan universitas Islam di Indonesia yang tidak ada di Jerman.

Akhirnya, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang ingin mengetahui dan memperdalam tema perbandingan budaya akademik. Lebih dari itu, buku ini merupakan bacaan awal bagi alumnus SMA untuk mengetahui seluk-beluk PT, di tengah semakin banyaknya “PT bodong” yang hanya menjual ijazah tanpa mendidik dan menumbuhkan budaya akademik bagi mahasiswanya.

*)Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Gonjang-Ganjing Politik Kaum Santri

Judul        : POLITIK SANTRI, Cara Menang Merebut Hati Rakyat
Pengarang     : Abdul Munir Mulkhan
Terbit         : 22-04-2009
ISBN         : 978-979-21-2272-5
Halaman         : 304
Peresensi   : M Nurul Ikhsan

Harian Koran Media Indonesia, Sabtu, 27 Juni 2009

Dalam perkembangannya yang terakhir, kehidupan sosial-politik pemeluk Islam Indonesia cenderung berbeda dengan gejala sebelum reformasi 1998. Anak-anak muda santri kini tidak hanya terlibat aktif di dalam partai berbasis Islam, tapi juga dalam partai berbasis budaya sekuler dan nasionalis. Bersamaan itu muncul pula berbagai organisasi sosial Islam baru. Sebagian di antara aktor muda gerakan Islam tersebut juga aktif dalam berbagai gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Buku ini menunjukkan ada dua peta besar kehidupan sosial-budaya generasi baru santri, yaitu kelompok konservatif dan liberal. Partai Islam dan gerakan Islam baru dengan aktor utama generasi baru santri tersebut, tampak berada pada titik silang perjumpaan dua basis sosial-budaya Islam Indonesia modernis dan tradisionalis. Oleh karena itu, kedua kelompok tersebut tetap berakar pada komunitas tradisional NU dan Muhammadiyah.
Anak-anak muda santri berbasis budaya NU dan Muhammadiyah tersebut tergabung dalam berbagai partai Islam baru dan gerakan Islam baru yang konservatif atau liberal. Pada umumnya mereka lahir dari tradisi NU dan Muhammadiyah yang sebagian tergabung dalam Jaringan Isalm Liberal (JIL) atau Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Belakangan muncul gerakan Islam progresif dengan agenda utama pemihakan pada kaum mustadl’afin (tertindas) terutama dari mereka yang selama ini aktif dalam berbagai gerakan LSM. Selain itu, tidak sedikit anak-anak muda santri tersebut aktif dalam berbagai gerakan yang belakangan dikenal fundamentalis, seperti Hizbut Tahrir, Kammi, Majelis Mujahidin, dan beragam lembaga dakwah kampus (LDK).
Sebagian anak-anak muda santri itu berasal dari keluarga yang tergolong abangan atau priyayi. Mereka mulai mengembangkan identitas Islam Baru yang tidak semata-mata bisa dikelompokkan dalam peta klasik; modernis-tradisionalis, santri atau abangan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) satu di antaranya.
Namun, dalam dataran lebih luas, kategorisasi sosial-budaya-santri, priyayi, abangan-Clifford Geertz tetap relevan untuk memahami dinamika kehidupan keagamaan, kemudian politik, dair pemeluk Islam di Indonesia.
Dapatlah dikatakan bahwa dinamika sosial-budaya, keagamaan, dan politik Muslim Indonesia masih tetap bertumpu pada basis epistemologi Geertz-ian atau Weber-ian. Praktik keagamaan komunitas Muslim selalu berhubungan dengan tingkat partisipasi pendidiakan, tempat tinggal; keluarga, pekerjaan sebagai petani, buruh, pedagang, birokrasi, serta status sosial (kaya-miskin).
Berdasar basis epistemologi ini bisa dibaca kecenderungan politik masing-masing komunitas yang kadang saling bertentangan dari yang tetap kukuh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara yang sering diberi label fundamentalis-radikal hingga kaum moderat yang lebih mementingkan keberlakuan etika-moral dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik.
Fenomena menarik lain ialah lahirnya berbagai partai Islam baru dan gerakan sosial Islam baru. Partai Islam baru tersebut tidak mempunyai hubungan kultural dengan partai lama, seperti Masyumi atau NU, dalam posisi keduanya sebagai partai pada awal kemerdekaan.
Menurut penulis, Abdul Munir Mulkhan, masa depan suatu partai politik apakah ia dibangun dari sebuah keyakinan teologis, tradisi lokal, atau ideologi sekuler, pada akhirnya ditentukan bagaimana aktivis partai bersangkutan membangun komunikasi dengan publik pemilih.
Realitas politik di dalam perkembangan politik nasional secara demikian akan mulai mengubah pandangan dan perilaku politik kaum santri ke arah yang semakin cair yang tidak lagi bersikukuh pada basis ideologi sebagaimana praktik politik pada gerasi awal kemerdekaan.
Sementara masyarakat menentukan pilihan politik berdasar tradisi dan kebutuhan hidup serta pola hubungan yang terjalin dalam waktu lama dengan partai dan aktivisnya, partai-partai yang dibangun dari nilai keagamaan kaum santri kurang menaruh perhatian pada kebutuhan komunikasi politik tersebut.
*) M Nurul Ikhsan, Peneliti pada Central for Humankind and Cultural Studies (CHCS) Yogyakarta.

Wacana Ulang Multikulturalisme

Judul  : RETHINKING MULTICULTURALISM,
Keberagaman Budaya dan Teori Politik
Pengarang  : Bhikhu Parekh
Terbit  : 09-12-2008
ISBN  : 978-979-21-1988-6
Halaman  : 530 







Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 28 February 2009


PERBINCANGAN mengenai multikulturalisme sejatinya bukanlah hal baru. Ia telah ada dan menjadi perbincangan hangat di Barat sejak lebih dari 50 tahun lalu.

Namun, wacana ini baru dikonsumsi masyarakat Indonesia 25 tahun terakhir. Mengapa Indonesia begitu terlambat mengembangkan wacana multikulturalisme ini? Padahal realitas masyarakat Indonesia sangat multikultural. Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke.

Keadaan ini ditambah dengan adanya lebih dari 7.000 suku dan budaya, serta lebih dari 3.000 bahasa daerah yang berkembang hingga saat ini. Beragamnya suku bangsa ini tentunya dapat menimbulkan konflik jika masyarakat Indonesia tidak memahami realitas diri dan lingkungannya.

Konflik tersebut bahkan akan dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang multikultural. Dengan demikian, mengelola perbedaan dan kemajemukan budaya yang ada di dalam masyarakat merupakan kewajiban individu dan masyarakat guna memperkuat dan memperkaya khasanah budaya Nusantara.

Jika tidak, ragam budaya multikultural Indonesia akan menjadi ancaman nyata bagi integritas,persatuan, dan kesatuan bangsa. Buku Rethinking Multiculturalsm, Keberagaman Budaya dan Teori Politik yang ditulis oleh Bhikhu Parekh ini pengembangan dan penambahan gagasan dari buku pertamanya yang mendapatkan tanggapan dan kritik dari berbagai kalangan.

Buku edisi kedua Bhikhu Parekh ini menjadi semakin menarik dengan penambahan satu bab khusus, sebagai jawaban atas kritik terhadap buku edisi pertamanya. Guru besar pada The Center for the Study of Democracy di Universitas Westminster, Inggris ini menanggapi berbagai kritik dengan santun dan penuh penghormatan tanpa mencederai iklim intelektual yang telah dibangun lama (Bab 12).

Multikulturalisme dalam buku ini mempunyai pemaknaan baru yang cukup centil dan jenius. Multikulturalisme sebagaimana diartikulasikan dalam bab-bab awal paling baik dilihat bukan sebagai sebuah doktrin politik dengan sebuah isi programatik,bukan juga sebagai teori filosofis tentang manusia dan dunia, tetapi sebagai sebuah perspektif tentang kehidupan manusia.

Gagasan sentralnya ada tiga,yang kadangkala disalahtafsirkan oleh para pendukungnya. Pertama, manusia secara kultural dilekatkan dalam posisi bahwa mereka tumbuh dan hidup dalam dunia yang terstruktur secara kultural, mengorganisasikan kehidupan dan hubungan-hubungan sosial menurut sistem makna, memosisikan nilai yang besar tentang identitas kultural mereka.

Hal ini tidak berarti bahwa manusia ditentukan oleh kebudayaan mereka dalam pengertian bahwa manusia tidak mampu mengevaluasi keyakinan dan praktikpraktik kebudayaan secara kritis serta memahami sesamanya, namun lebih pada bahwa mereka dibentuk begitu kuat oleh kebudayaan, mampu mengatasi pengaruh kebudayaan, dan perlu memandang dunia dari dalam kebudayaan tersebut.

Kedua, kebudayaankebudayaan yang berbeda mencerminkan sistem makna dan pandangan tentang jalan hidup yang baik. Karena masing-masing merealisasikan satu jangkauan terbatas menyangkut kapasitas dan emosi manusia dan menggenggam hanya sebagian dari totalitas eksistensi manusia.

Masing-masing kebudayaan memerlukan kebudayaan lain untuk memahami dirinya secara lebih baik, memperluas cakrawala intelektual dan moral, mengembangkan imajinasi, dan melindunginya terhadap gangguan-gangguan nyata untuk memutlakkan dirinya.

Ketiga, semua kebudayaan -kecuali yang paling primitifsecara internal bersifat majemuk dan mencerminkan sebuah percakapan berkelanjutan antara tradisi dan rangkaian gagasan mereka yang berbeda-beda. Hal ini tidak berarti bahwa mereka kekurangan koherensi internal dan identitas, tetapi bahwa identitas mereka majemuk dan cair (hlm 440-442).

Buku yang ditulis oleh guru besar tamu pada London School of Economics ini menjelaskan secara rinci mengenai pertanyaan-pertanyaan teoritis yang ditimbulkan oleh masyarakat multikultural kontemporer, khususnya sifat dan batasan-batasan kesetaraan dan keadilan antarbudaya, identitas nasional, kewarganegaraan, serta wacana politik budaya.

Parekh menyadari sepenuhnya bahwa filsafat politik Barat belum mampu (baca: mempunyai sumber daya yang terbatas) menyelesaikan persoalan multikultural yang ruwet. Hal ini mungkin karena realitas masyarakat Barat tidak terlalu kompleks jika dibandingkan realitas masyarakat yang ada di Timur. Guru besar untuk perkuliahan Teori Politik di Universitas of Hull ini menjelaskan multikulturalisme dengan cara pandang Filsafat Politik Timur.

Dengan filsafat politik ala Timur ini, perbincangan multikultural menjadi lebih bermakna karena didasarkan atas realitas masyarakat yang majemuk. Karya Parekh yang dalam waktu singkat menjadi bacaan klasik saat pertama dipublikasikan ini, menurut Azyumardi Azra, merupakan panduan akademis dan teoritis yang sangat penting untuk penguatan multikulturalisme.

Dengan begitu, kita lebih optimis menghayati multikulturalisme Indonesia. Buku ini menjadi semacam panduan bagi masyarakat Indonesia dalam menyuburkan modal sosial (social capital) bangsa Indonesia yang dianugerahi oleh Tuhan sebagai bangsa yang multikultural.(*) *)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Mengasah Pandangan Kritis

Judul  Buku : PERSPEKTIF ETIKA BARU
Pengarang  : Dr. K. Bertens, Msc.
Terbit  : 06-03-2009
ISBN  : 978-979-21-2146-9
Halaman  : 264

Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 29 Maret 2009
Sejak krisis multidimensional 12 tahun lalu, bangsa ini selalu dirundung masalah. Masalah paling berat yang dihadapi bangsa ini adalah krisis identitas dan kemanusiaan.
Bangsa ini kehilangan identitas budaya nasional sebagai jati diri bangsa. Masyarakat Indonesia begitu terpesona dengan budaya Barat.Ia tidak merasa enjoydengan budayanya sendiri. Anak-anak muda lebih ”mendewakan” artis Hollywood dan Bollywood daripada seniman lokal, pemeran ketoprak, seni pertunjukan wayang kulit, atau sendra tari Ramayana.
Mereka sudah tidak tahu lagi Pandawa Lima atau kisah Ramayana. Mereka lebih fasih melafalkan cerita tentang Spiderman atau kisah ”patriotisme”ala Barat. Maka tidak aneh jika bangsa ini juga dilanda krisis kemanusiaan. Sikap individualisme menjadi ”tuhan” baru masyarakat modern.
Sikap patriotisme dan nasionalisme ala Soekarno, Hatta, Shahrir, Tan Malaka,sudah tidak ada lagi.Malah mereka mungkin sudah menghapus nama-nama founding fathers dari ingatannya. Lebih dari itu, krisis identitas dan kemanusiaan telah membutakan mata hati kita untuk melihat kebenaran dan keadilan.
Kebenaran dilihat secara abu-abu sehingga tidak lagi jelas kebenarannya.Kebenaran menjadi sesuatu yang abstrak, padahal ia dapat dikonkretkan. Demikian pula dengan keadilan. Keadilan dimaknai tunggal sebagai keadilan individu. Keadilan untuk masyarakat banyak hanyalah mimpi di siang bolong.
Keadilan hanya berlaku bagi pendukung, kolega, kelompok partai politik,ataupun konstituen. Sebagaimana kita saksikan hari-hari ini,semua berebut simpati dan berdebat mengenai kebenaran dan keadilan. Juru kampanye (jurkam), meneriakkan keberhasilan dan keadilan semu yang mereka kerjakan. Apa yang dilakukan selama ini menjadi keberhasilan dan prestasi terbaik dalam sejarah.
”Pertama kali dalam sejarah,” teriak mereka.Di sisi lain,banyak parpol mencibir gagasan dan kerjakerja yang selama ini telah dilakukan. Siapa yang benar dan berbuat adil, menjadi tanda tanya yang tak terjawab. Melalui buku Perspektif Etika Baru,K Bertens menyuguhkan sekian data dan fakta mengenai berbagai masalah yang selama ini menjadi perbincangan masyarakat.
Masalah-masalah tersebut menjadi semakin lengkap dan menarik karena dibedah dengan perspektif etika dan moral.Dengan perspektif ini,persoalan masyarakat tidak lagi menjadi perbincangan yang kaku dan monoton. Keluasan penekun etika dan filsafat dari Universitas Atma Jaya,Jakarta ini semakin memuaskan dahaga kita untuk memandang setiap persoalan dengan jernih dan menyeluruh.
Buku ini terdiri atas lima bab yang dibagi berdasarkan catatan persoalan.Bab pertama membedah persoalan etika sosial-politik. Alumnus Universitas Leuven, Belgia ini memaparkan persoalanpersoalan etika sosial-politik yang pernah mewarnai sejarah demokrasi Indonesia.
Persoalan sosialpolitik bangsa Indonesia menjelang dan saat Pemilu 2004 dibahas dengan santun dan mendalam tanpa mencederai pihakpihak yang bertarung saat pemilu kedua di era reformasi tersebut. K Bertens, dengan ketajaman analisisnya mampu mengetengahkan persoalan demokrasi bangsa dengan bahasa lugas dan tegas.
Direktur Pusat Pengembangan Etika (1984-1995) Universitas Atma Jaya, Jakarta ini mengemas persoalan sosial-politik yang njlimet menjadi bacaan yang renyah dan mencerahkan. Bab kedua, Bertens membedah cakrawala etika global. Dalam bab ini, Bertens menulis 13 artikel mengenai persoalan dunia yang juga berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Melalui bab ini kita akan menemukan persoalan dunia yang perlu disikapi secara arif dan bijaksana oleh bangsa Indonesia. Bab ketiga, K Bertens sebagai akademisi yang banyak bersentuhan langsung dengan dunia kampus mengkritik dengan santun sistem kehidupan di perguruan tinggi.
Kritik atas pendidikan di perguruan tinggi akan mampu membuka mata kita melihat kehidupan kampus sebagai basis pendidikan tinggi di Indonesia secara nyata. Kebobrokan sistem pendidikan di kampus diuraikan secara cerdas tanpa menggurui siapapun. Bab keempat,Ketua Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDESI) tahun 1990-1997 ini mengupas masalah bioetika.
Pada bab ini, Bertens tidak hanya menggunakan analisis etika dan moral dalam mengurai persoalan bioetika. Namun, ia juga mampu mengetengahkan pandangan agama tanpa harus terjebak dalam dogma. Bab kelima,Bertens menampilkan beberapa filsuf, seperti Imanuel Kant, Paul Ricoeur,Newman, Pascal,Plato,dan Nelson Mandela.
Nelson Mandela misalnya dilukiskan oleh Bertens sebagai seorang yang teguh pendirian dan pembuka jalan baru bagi terciptanya keadilan di Afrika Selatan khususnya dan dunia umumnya. Nelson Mandela, tulis Bertens, adalah tokoh yang berjasa mempopulerkan kata ”rekonsiliasi”, berkat pidatonya saat dilantik menjadi presiden baru Afrika Selatan pada 10 Mei 1994.
Nelson Mandela menyerukan penyembuhan luka masa lampau, penghormatan hak fundamental setiap individu, dan pembentukan tatanan baru yang didasarkan atas keadilan untuk semua. Rekonsiliasi ala Mandela ini perlu ditiru oleh calon pemimpin bangsa Indonesia yang akan berlaga pada Pemilu 2009 ini. Rekonsiliasi akan mampu menciptakan tatanan masyarakat adil dan makmur, sebagaimana cita-cita bangsa Indonesia.
Akhirnya, buku ini merupakan buah karya filsuf Indonesia dalam memetakan persoalan etis dari berbagai masalah aktual. Melalui buku ini,kita akan mampu melihat hal-hal yang etis dan tidak etis di balik setiap masalah. Buku ini juga akan menggugah dan mengasah pandangan kritis kita terhadap berbagai persoalan yang berserakan di sekitar kita.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Belajar dari yang Kecil

Judul          : Cerita Kecil Saja
Pengarang  : Stephie Kleden-Beetz
Terbit  : 2009
ISBN  : 978-979-21-2160-5
Halaman  : 141
Perada, Koran Jakarta, Kamis, 30 April 2009

Kecil tidak selamanya mungil, jelek, dan tidak bermakna. Dari sesuatu yang kecil kita dapat belajar tentang banyak hal. Seperti Lebah. Makhluk kecil ini banyak mengajarkan kita akan makna hidup. Lebah selalu bergerombol, mengisyaratkan kepada kita pentingnya hidup rukun. Lebah juga tidak suka menganggu. Namun, jika ia diganggu, maka Lebah akan menyerang penganggu sampai di ”ujung dunia” sekalipun. Inilah isyarat hidup dari Lebah untuk saling tolong menolong dan menjauhi perbuatan tercela yang merugikan orang lain. Lebah selalu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (madu). Madu terasa manis dan mempunyai banyak manfaat. Dari Lebah manusia diharapkan mampu bermanfaat bagi orang lain. ”Jangan katakan apa yang telah diberikan orang lain kepada dirimu, tetapi katakanlah apa yang telah kamu berikan kepada orang lain”, kata-kata bijak ini tampaknya cocok untuk memberikan gambaran mengenai hal tersebut.
Demikian pula dengan buku Cerita Kecil Saja ini. Buku berisi 51 cerita kecil atau ulasan pendek—rata-rata hanya 1-2 halaman, terdiri dari dua sampai empat alenia-- ini begitu memesona. Memesona bagi siapapun yang melihatnya. Buku yang ditulis oleh mantan koresponden Deutche Welle, radio nasional Jerman ini, dikemas dengan indah dan memikat. Desain sampul dan ukuran buku dalam format kecil yang begitu sederhana, namun indah, ditambah dengan judul yang unik akan mampu mendorong alam bawah sadar kita, bahwa buku ini penting untuk dibaca.
Halaman demi halaman dari buku ini sayang untuk dilewatkan begitu saja. Hal ini karena, pengemasan bahasa yang santun dan mudah dipahami dibalut dengan pengalaman penulis yang luas, menjadikan setiap kata begitu berharga.
Lebih dari itu, dengan membaca buku ini, kita seperti diajak bertamasya ke ”alam lain” yang sebelumnya belum pernah kita rasakan. Alam yang menyadarkan diri kita, bahwasanya yang kecil itu begitu indah dan nyata. Alam yang selama ini ada mungkin tak terpikirkan dan tanpa kita sadari berpengaruh dalam proses kehidupan setiap manusia. Alam yang menuntun manusia menjadi dirinya sendiri tanpa mengabaikan realitas di sekelilingnya.
Stephie Kleden-Beetz, mendasarkan cerita-ceritanya dari pengalaman dan perenungan bertemu dengan orang dan sahabat, dibungkus dengan pengetahuan luas yang ia pelajari selama ini. Kutipan percakapan yang ada di beberapa cerita pun dirangkai dengan kalimat bernas penuh makna filosofis. Lebih lanjut, dalam setiap cerita disertai dengan gambar dan foto sesuai dengan tema yang menjadikan buku ini semakin menarik untuk dicermati. Di setiap akhir cerita, penulis yang kini tinggal di Malang, Jawa Timur, ini menyitir kata-kata mutiara dari filsuf dan orang terkenal.
Penulis buku kelahiran Flores Timur, Nusa Tenggara Timur ini, tampak sangat kaya akan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup. Hal ini tampak dari isi dan tema yang sangat beragam. Seperti, tema sosial politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan teologi.
Lebih dari itu, kakak dari Ignas Kleden melalui buku ini, ingin menyumbangkan dan berbagi pengalaman mengenai perjalanan kehidupan. Ia juga ingin menunjukkan kepada khalayak bahwasannya kehidupan itu indah. Kehidupan akan semakin menarik (indah) ketika kita menyempatkan diri untuk melihat hal-hal kecil yang ada di sekeliling kita. Sebuah pekerjaan yang mungkin selalu kita remehkan.
Ditulis dengan rapi dan tanpa menggurui menjadikan buku ini layak Anda baca, sebagai acuan dalam hidup. Atau setidaknya buku ini akan mengilhami setiap gerak langkah Anda dalam menelusuri lorong kehidupan.
Akhirnya, buku ini menyadarkan betapa yang kecil itu tidak selamanya buruk. Dari hal kecil kita banyak belajar untuk memahami sesuatu yang besar. Seperti Lebah kecil yang mengajarkan filsafat kehidupan kepada manusia.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Kritik Habermas atas Masyarakat

Judul
Pengarang
Terbit
ISBN
Halaman
: KRITIK IDEOLOGI
:
F. Budi Hardiman
: 02-06-2009
: 978-979-21-1789-9
: 238


Jurgen Habermas merupakan tokoh cukup fenomenal abad ini.Dia seorang tokoh pembaru dari Mazhab Frankfurt,Jerman,sebuah aliran pemikiran yang digawangi oleh Max Horkheimer,Theodor Adorno,dan Herbert Marcuse.
Tidak hanya itu, Habermas juga ”pendobrak kebuntuan” berpikir ala Mazhab Frankfurt. Ia mampu memadukan dan melampaui tradisi berpikir pendahulunya, tanpa harus terjebak dalam dikotomi salah dan benar. Kecemerlangan filsuf Jerman kontemporer ini semakin tampak ketika ia pindah dari Universitas Frankfurt ke Max Planck Institute di Starnberg dan menulis karya besar berjudul Theorie des Kommunikativen Handelns (diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Theory of Communicative Action).
Melalui karya ini Habermas secara brilian mendialogkan teori kritisnya yang disebut ”Teori Tindak Kritis” dengan tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern. Melalui teorinya ini,Habermas beranggapan bahwa kekuasaan semestinya tidak dilegitimasikan, tapi dirasionalisasikan. Rasionalisasi di sini tidak dimengerti dalam paradigma kerja, tapi dalam paradigma komunikasi.
Artinya, kekuasaan harus dicerahi dengan diskusi rasional yang bersifat publik agar anggota masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politik, termasuk mengarahkan kemajuan teknis masyarakat. Habermas tidak memandang rasionalisasi kekuasaan sebagai ide normatif belaka.
Dia melihat tren itu mendasar dalam proyek modernisasi, dan arah-arah itu memang dapat dibaca dalam perkembangan politik modern. Rasionalitas adalah aspirasi modernitas. Namun, ide rasionalisasi kekuasaan ini akan bersifat normatif jika dihadapkan pada politik yang miskin partisipasi.
Artinya, ide itu memerlukan perjuangan untuk dapat diwujudkan dalam realitas, dan ini mengandaikan kehendak politis yang dilandasi oleh kepercayaan atas rasionalitas. Mempertanyakan relevansi pandangan ini bagi sebuah masyarakat sama dengan mempersoalkan kepercayaan pada rasionalitas dalam masyarakat itu sendiri.
Jadi,secara hipotesis dapat dikatakan, kiranya rasionalisasi kekuasaan sulit diwujudkan selama belum ada perjuangan untuk rasionalisasi dalam dunia akademis dan masyarakat,dan selama penghuni dunia politik bersikap defensif terhadap kritik rasional serta menghambat perkembangan (embrio) institusi-institusi diskusi publik dalam masyarakat.
Dalam arti ini, rasionalisasi merupakan proyek modernisasi yang belum usai. Kehadiran buku Menuju Masyarakat Komunikatif karya F Budi Hardiman sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini,yang kini diwarnai hirukpikuk pesta demokrasi. Melalui buku ini, penulis seakan mengingatkan segenap warga bangsa bahwa gegap-gempita pemilu Indonesia sudah saatnya tidak dipandang sebagai gejala atau jalan memperoleh kekuasaan semata.
Namun, pemilu sebagai jalan untuk meraih kekuasaan tersebut dapat menyentuh aspek riil dalam masyarakat sebab kekuasaan tidak hanya berkutat pada bagaimana memperoleh kursi, kedudukan, dan jabatan. Lebih dari itu, kekuasaan merupakan manifestasi nyata dari sistem kebenaran yang harus terus diperjuangkan.
Lebih dari itu,melalui buku ini, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta ini ingin memperlihatkan pendirian Habermas yang sangat penting bahwa sejauh diarahkan oleh sistem kapitalisme, masyarakat modern akan terus menyingkirkan solidaritas sosial sebagai aspek terpenting dalam kehidupan bersama.
Habermas yakin bahwa imperatif pasar kapitalis dan patologi sosial yang diakibatkannya dapat diatasi dengan penguatan solidaritas sosial melalui praksis komunikasi. Mengingat krisis solidaritas sosial terus berkembang bahkan dalam skala lebih besar di era globalisasi pasar dewasa ini, kritik Habermas yang diulas dalam buku ini tetap relevan untuk masyarakat kita.
Buku ini pembahasan komprehensif atas karya-karya Habermas mengenai sains, modernitas, dan postmodernisme yang telah mengangkatnya menjadi intelektual kelas dunia. Penulis kelahiran Semarang, 31 Juli 1962 ini mampu menelaah karya-karya besar Habermas dengan apik dan cermat tanpa harus terjebak pada kultus individu yang berlebihan.
Di tangan F Budi Hardiman, yang juga staf pengajar di Universitas Pelita Harapan, Jakarta ini,karya Habermas begitu renyah dan mampu melampaui batasbatas tradisi berpikir dan menohok realitas masyarakat modern. F Budi Hardiman dengan ketekunannya juga mampu menerjemahkan adikarya Habermas,tanpa mengurangi makna substansialnya, begitu penting untuk dibaca sebagai alat baca baru dalam menafsir realitas masyarakat yang semakin kompleks.
Karena itu, siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat filsuf kelahiran 18 Juni 1929, di Dusseldorf, Jerman ini wajib membaca karya ini. Buku Menuju Masyarakat Komunikatif karya alumnus Hochschule fur Philosophie Munchen, Jerman,2001 ini memusatkan perhatian pada ilmu-ilmu sosial yang berkembang dewasa ini.Ilmu-ilmu sosial ini memuat diskursus filosofis.
Buku ini tidak terlalu tebal, tapi mungkin sulit dibaca oleh mereka yang kurang terbiasa dengan filsafat. Akan tetapi,dengan ketekunan dan kesabaran,kita akan menemukan bahwa buku ini menelusuri sebuah petualangan filosofis yang sangat menarik. Dengan kecermatan lebih tinggi, kita akan menemukan bahwa buah karya ini sebuah kritik mendasar terhadap masyarakat kapitalis yang telah mendarah daging dalam seluruh aspek kemanusiaan.

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Menjadi Pemimpin Sejati


Menjadi Pemimpin Sejati
Judul : WHO WANTS TO BE THE NEXT PRESIDENT?
Pengarang : J. Kristiadi, dkk.
Tanggal Terbit : 24-03-2009
ISBN : 978-979-21-2244-2
Halaman : 120
Seputar Indonesia, Minggu, 07 Juni 2009

BANGSA Indonesia saat ini sedang melaksanakan hajatan besar lima tahunan,yang dinamakan pemilihan umum (pemilu).Pemilu kali ini terasa begitu spesial karena diadakan pada saat bangsa ini tengah dilanda krisis keuangan global sejak awal tahun lalu.
Pemilu legislatif telah dilaksanakan pada 9 April lalu. Kini bangsa Indonesia menyambut ajang paling bergengsi di 2009 ini, yaitu pemilihan presiden (pilpres). Tiga pasang calon presiden dan wakil presiden telah siap berlaga.
Mereka adalah Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subiyanto (Mega- Pro) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono (SBY-Boediono) yang diusung koalisi Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),dan beberapa partai kecil yang tidak lolos ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold); dan Muhammad Jusuf Kalla-H Wiranto (JK-Win) yang diusung Partai Golkar dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Tiga pasangan capres dan cawapres ini akan beradu program dan meraih simpati rakyat yang akan ditentukan pada 8 Juli untuk putaran pertama dan 8 September untuk putaran kedua. Fungsi utama pemilu adalah memilih calon pemimpin bangsa.Ia akan menentukan arah dan nasib bangsa ini setidaknya dalam lima tahun mendatang. Kesalahan dalam memilih pemimpin saat ini akan membawa petaka terhadap nasib bangsa lima tahun yang akan datang. Jim Clemmer melalui buku Sang Pemimpin,Prinsip Abadi untuk Keberhasilan Tim dan Organisasi, menjelaskan secara gamblang arti sebuah pemimpin dan kepemimpinan.
Bagi Jim, pemimpin harus mampu membuat perbedaan. Inilah semangat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.Tampil beda dengan gagasan yang kuat akan mengantarkan seseorang menduduki posisi penting dalam perusahaan atau pemerintahan. Sebagaimana Barack Husein Obama Jr dengan slogan change (perubahan), mampu meraih simpati masyarakat Amerika Serikat dan mengantarkannya menjadi seorang presiden kulit hitam pertama di negeri Paman Sam.

Seorang pemimpin bagi pemikir terkemuka Amerika Utara ini juga harus memiliki keautentikan.Para pemikir yang autentik membangun kepercayaan yang menjembatani celahcelah pemisah antara ”kami dan mereka”. Para pemimpin seperti itu memiliki integritas dan konsistensi yang tinggi.Mereka mengembangkan lingkungan yang penuh keterbukaan dan transparansi, yaitu menampilkan masalah-masalah yang sebenarnya.

Sebagai hasilnya,tim-tim tiba pada jantung permasalahan performa dan tidak bermain politik atau menjilat atasan. Lebih dari itu,melalui buku tersebut, Jim pada dasarnya ingin menyatakan bahwa para pemimpin memandang lebih jauh dari situasi sekarang, melihat kemungkinankemungkinan yang ada. Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan selalu berhubungan dengan perubahan.

Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan adalah sebuah tindakan,bukan jabatan. Ketika pemaknaan kepemimpinan menyentuh pada ranah ini,sebuah bangsa akan dipimpin dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan.Hal ini karena seorang pemimpin sadar betul akan eksistensi dirinya. Ia bukanlah pejabat publik yang pantas untuk selalu dihormati dan dipuja-puja. Namun, ia adalah pelayan masyarakat yang siap mendengar keluhkesah dan bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa.

Ia selalu bekerja sekuat tenaga untuk kemakmuran bangsanya, bukan kepentingan pribadi dan kroni-kroninya. Lebih lanjut Jim menyatakan, para pemimpin yang kuat merupakan pelatih yang efektif mengetahui nilai dari R & R (reflection and renewal/refleksi dan pembaruan). Mereka secara berkala menarik diri dan tim-tim mereka dari kesibukan tiap hari dalam pelaksanaanpelaksanaan untuk menangani diri sendiri. Mereka secara terusmenerus mengajukan pertanyaanpertanyaan seperti,”Apakah yang harus tetap kita lakukan, yang harus kita berhenti lakukan dan yang mulai kita lakukan untuk menjadi lebih efektif”?

Prinsip-prinsip kepemimpinan yang dikemukakan dalam buku ini tidak hanya untuk memimpin diri sendiri, tetapi juga memimpin orang lain. Bagi Jim, hal itu adalah persoalan menumbuhkan kepemimpinan kita dari ”dalam sini” menuju ”ke luar sana”. Selain gagasan segar yang mengalir dari semangat Jim,format buku ini sangat unik. Buku ini diformat seperti majalah. Dengan format ini, pembaca tanpa sadar akan terus diajak membaca hingga akhir halaman buku.

Format yang menawan dan menawarkan gaya baru dalam tradisi tata letak buku ditambah dengan gambar dan kutipan dari tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran dari berbagai sumber yang luar biasa, semakin menguatkan gagasan dalam buku ini. Tidak hanya itu, buku ini sangat inspiratif dan provokatif. Lebih dari itu, dengan format yang unik dan mudah dibaca,buku ini dirancang untuk memperkaya danmemberi informasi kepada siapa saja yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin orang—entah dalam sebuah kelompok kerja kecil atau sebuah perusahaan multinasional yang besar.

Kehadiran buku ini sangat tepat di tengah situasi bangsa yang karut-marut. Buku ini hadir membawa pelita dan harapan baru bagi masa depan bangsa Indonesia. Bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin sejati, yaitu sosok pemimpin yang memandang kepemimpinan bukanlah sebuah jabatan, melainkan sebuah tindakan nyata dalam mengemban amanat kemanusiaan. Adakah capres dan cawapres seperti itu? (*)

Benni Setiawan,mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Membedah Darwinisme


Membedah Darwinisme
Judul : AYAT-AYAT EVOLUSI
Pengarang : Eko Wijayanto, dkk.
Tanggal Terbit : 20-04-2009
ISBN : 978-979-21-2285-5
Halaman : 242
Seputar Indonesia, Resensi, Minggu, 12 Juli 2009

Charles Darwin tidak dapat dimungkiri merupakan tokoh teori evolusi kenamaan.Tanpa teori evolusinya mungkin tidak akan ada kontroversi dan penelitian tentang manusia dan kemanusiaan hingga saat ini.

Darwin melalui teorinya mengajarkan kepada kita betapa bumi dan seisinya sangat indah untuk dilihat dan diteliti. Kegemaran Darwin meneliti bumi dan seisinya direpresentasikan dengan melihat tingkah laku burung di hutan selama 13 tahun. Ia tidak merasa bosan melihat keindahan makhluk hidup yang satu ini. Banyak hal yang perlu kita ketahui dari ciptaan Tuhan ini.Dengan melakukan penelitian terhadap ciptaannya ini kita akan semakin mengetahui hakikat diri manusia dan Tuhan-nya.

Kemahakuasaan Tuhan akan semakin tampak di tengah zaman yang semakin gelap. Kemahakuasaan Tuhan itu juga tampak dalam teori besar evolusi Darwin. Evolusi adalah teori yang tidak saja merangkum seluruh pengamatannya, tetapi juga sebuah gagasan brilian yang terbukti kokoh hingga sekarang. Evolusi, yang diperhitungkan Charles Darwin sebagai keterangan untuk menjelaskan asal-usul spesies, telah menjangkau wilayahwilayah terluar dan sekaligus makna terdalam dari jangkauan teoretisnya.

Teori itu nyatanya pun berevolusi di tangan sejumlah ilmuwan dan filsuf di kemudian hari. Dalam teori evolusi, untuk dapat melewati seleksi alam, tiap makhluk hidup harus mampu beradaptasi dengan lingkungan di mana ia bermukim. Dengan demikian, tentu saja tidaklah mungkin terdapat adanya telos (tujuan) dalam diri tiap makhluk hidup— yang sudah dirancang sebelumnya oleh ”kekuatan ideal”. Transformasi intelektual berikutnya hingga hari ini,secara langsung maupun tidak langsung, sangat dipengaruhi oleh perspektif Darwinian.

Di bawah pengaruh perspektif Darwinian, ketertarikan intelektual bukan lagi membicarakan konsepsi-konsepsi ideal (transendental), namun bergeser pada pencapaian empiris, naturalistik, dan kegunaan. Berbekal teori evolusi Darwin, banyak peneliti menemukan keterkaitan antarilmu pengetahuan yang digelutinya.Teori evolusi juga seakan telah membuka cakrawala baru dalam dunia pengetahuan empiris yang mampu menembus batas-batas yang tak terpikirkan (unthought, meminjam istilah Mohammed Arkoun). Hal ini sangat kentara dalam buku ini.

Buku Ayat-Ayat Evolusi, karya beberapa filsuf dari Departemen Filsafat Universitas Indonesia, menyadarkan kita betapa teori evolusi Darwin melampaui batas tradisi yang selama ini kita pikirkan. Dalam pengamatan Noviar Andayani misalnya teori evolusi Darwin diracik sedemikian rupa menjadi alat bantu dalam membedah ilmu kedokteran (biologi).Ia berkesimpulan bahwa evolusi sesungguhnya tidak berurusan dengan upaya memaksimalkan kesehatan atau kesejahteraan makhluk hidup, tapi untuk memastikan keberhasilan replikasi genetik.

Apa yang baik untuk gen kita, belum tentu baik untuk kita. Bahkan bila tujuan gen dan kita bersesuaian, gen makhluk hidup lain dapat mengintervensi dengan agendanya sendiri. Tanpa menghargai dinamika evolusi dari kesehatan dan penyakit, kita tidak mungkin mengerti dengan benar asal, keberadaan, dan pilihan untuk mengobati penyakit yang mendera tubuh manusia. Eko Wijayanto menggali makna teori evolusi Darwin dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat modern.

Ancangan Eko Wijayanto dengan teori evolusi Darwin menandaskan bahwa pencerahan bukan sekadar suatu periode spesifik (abad ke-18), melainkan juga afirmasi atas upaya manusia untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari ”belenggu kegelapan” tradisi feodal dan dogma-dogma teologi. Rasio pencerahan melahirkan keyakinan bahwa manusia sudah harus keluar dari suasana kegelapan tersebut menuju terbit fajar akal budi. Artinya, tiap manusia harus mempunyai kebebasan, otonomi, dan kemerdekaan dalam berpikir.

Demikian pula dengan gagasan Irianto Wijaya dalam kajian epistemologi ilmu pengetahuan. Irianto Wijaya berkesimpulan bahwa ”kebenaran” bukanlah notion yang murni epistemik. Usaha untuk membela ataupun mempromosikannya, yakni apakah Anda menginginkan maksimalisasi kedamaian ataukah maksimalisasi kekuasaan atas fakta, akan lebih efektif dilakukan bukan dengan argumentasi, melainkan narasi.

Sedangkan, bagian normatif dari epistemologi dapat dipahami sebagai sejenis studi engineering untuk merancang berbagai tool-kit untuk membantu orang mencapai kebenaran, sebagaimana dipahami orang itu. Herdito Santi Pratama lebih menitikberatkan penelaahannya terhadap teori evolusi Darwin pada bidang filsafat. Herdito dengan cemerlang mampu mengupayakan gagasan segar mengenai hakikat manusia.Baginya,hakikat (nature) manusia yang disajikan ilmu pengetahuan adalah keterangan deskriptif (apa adanya) mengenai manusia.

Tidak dimaksudkan sebagai sebuah kondisi semestinya yang normatif. Mengutip semboyan Royal Society ”Nullius in Verba”, ”tidak berdasar kata-kata siapa pun”. Sedangkan Saraswati Dewi menyibak tabir cinta,di mana evolusi ini memengaruhi bagaimana manusia memahami kebudayaan dan makna-makna di dalam hidupnya. Dengan pendekatan filsafat, biologi, dan kebudayaan yang cukup mendalam buku ini menjadi semakin utuh dalam membedah Darwinisme.

Dengan membaca buku ini, kita akan lebih mengenal sosok Charles Darwin beserta ragam pemikiran unik yang telah ditelurkannya. Lebih dari itu, melalui buku ini juga kita punya peluang sebesar mungkin untuk mendiskusikan kebenaran yang dikandung dalam rahim evolusi. (*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Membaca Pemikiran Habermash



Membaca Pemikiran Habermas
Judul : MENUJU MASYARAKAT KOMUNIKATIF
Pengarang : F. Budi Hardiman
Kategori : Humaniora
Tanggal Terbit : 12-05-2009
ISBN : 978-979-21-1790-5
Halaman : 288

Resensi, Seputar Indonesia, 02 Agustus 2009

Filsuf dan sosiolog kondang dari Universitas Frankfurt, Jerman,Jurgen Habermas kembali menjadi bidikan akademisi F Budi Hardiman.

Kali ini ia membidik pemikiran Habermas mengenai demokrasi. berhasil mengelaborasi tradisi pemikiran neo-Marxis yang melatarbelakangi teori kritis Habermas dan karya awalnya tahun 1970-an dalam bidang filsafat pengetahuan melalui buku

Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas (2009), dan karya-karya Habermas tahun 1970-an dan 1980-an lewat buku Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu,Masyarakat,Politik,dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas (2009), kini filsuf dari STF Driyarkara ini kembali memahami dan menguji secara kritis kontribusi-kontribusi teori diskursus

Habermas untuk teori demokrasi dan negara hukum modern dalam sebuah buku berjudul Demokrasi Deliberatif, Menimbang ’Negara Hukum’ dan ’Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas( 2009). Menurut Habermas, komunikasi sudah selalu merupakan ciri dasar kehidupan bersama manusia. Maka, tuntutan teori demokrasi tidak lain daripada sebuah radikalisasi dari struktur-struktur komunikasi yang lama sudah ada di dalam negara hukum modern.

Dengan demikian negara hukum yang faktual sedikit demi sedikit dapat mendekati asas-asas normatifnya sendiri. Makna judul karyanya, Faktizitat und Geltung (Fakta dan Kesahihan), adalah bagaimana Habermas meletakkan posisi pemikirannya di dalam tegangan itu.

Untuk mewujudkan imbauan teori klasik tentang demokrasi itu, Habermas mencoba menghubungkan pendiriannya dengan keadaankeadaan empiris masyarakatmasyarakat kompleks dewasa ini. Struktur-struktur komunikasi yang terkandung di dalam konstitusi negara hukum demokrasi dimengerti oleh Habermas sebagai sebuah proyek yang belum selesai, tetapi dapat diwujudkan.

Namun,agar keadaan-keadaan empiris masyarakat-masyarakat kompleks itu dapat didekatkan pada tujuan proyek tersebut, haruslah ada sebuah model yang sesuai untuk demokrasi. Sebuah model yang secara sosiologis dapat menjelaskan dinamika komunikasi politis di dalam negara hukum demokratis yang ada. Model yang sesuai dengan konsep proseduralis tentang negara hukum itu adalah model demokrasi deliberatif (deliberative demokratie).

Model deliberatif ini menekankan pentingnya prosedur komunikasi untuk meraih legitimasi hukum di dalam sebuah proses pertukaran yang dinamis antara sistem politik dan ruang publik yang dimobilisasi secara kultural. Dalam model demokrasi deliberatif ini Habermas mencoba untuk menghubungkan tesis hukumnya, yaitu tesis hukum sebagai medium integrasi sosial dengan sebuah teori sosiologis tentang demokrasi.

Hasilnya menarik: konsepkonsep dasarnya seperti konsep tindakan komunikatif, lebenswelt (dunia-kehidupan), dan diskursus praktis sekarang beroperasi di dalam kerangka sebuah teori demokrasi (hlm 126–127). Lebih dari itu, dalam model demokrasi deliberatif, banyak hal dikonsentrasikan pada tuntutan demokratisasi “ruang-antara” pemilihan umum.

Tentu saja makna pemilihan umum tidak boleh diperkecil karena pemilihan umum merupakan locus para warga negara menentukan diri mereka. Akan tetapi, pemilihan umum bukan locus satu-satunya. Jika demokrasi ingin dimengerti secara deliberatif, pemilihan umum dapat dianggap sebagai “hasil pemakaian publik atas hak-hak komunikatif’ (offentlicher Gebrauch de kommunikativen Freiheiten)” yang berlangsung terus-menerus.

Menurut Habermas, hak-hak komunikatif para warga negara terlaksana terutama di dalam diskursus- diskursus informal yang dapat dilaksanakan secara inklusif dan dapat mempersoalkan segala tema relevan yang mungkin.

Demokratisasi “ruang-antara” pemilihan umum berarti para warga negara memiliki kemungkinan untuk mengungkap kan pendapatpendapat mereka sendiri secara publik dan mempersoalkan segala tema yang relevan untuk masyarakat supaya suara-suara yang sensitif terhadap masalah ini dikelola oleh sistem politik yang ada.

Ruang demokratis seperti itu, tempat para warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif adalah gagasan pokok ruang publik politis (politische Offentlichkeit) yang menjadi leitmotiv pemikiran Habermas sejak Habilitationsschrift- nya Strukturwandel der Offentlichkeit (perubahan struktur ruang publik) (hlm 133).

Dengan demikian, jika bangsa ini ingin mewujudkan ruang publik politis, pemerintah bersama pihak terkait harus bertanggung jawab atas adanya dugaan pelanggaran pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) yang baru saja usai, baik berupa pelanggaran administrasi, kisruhnya daftar pemilih tetap (DPT) maupun keterlibatan pihak asing.

Lebih lanjut, melalui buku ini, alumnus Hochschule fur Philosophie Munchen, Jerman, pada tahun 2001 ini menunjukkan betapa Habermas telah berhasil merekonstruksi paham negara hukum klasik dengan paradigma komunikasi. Kendatipun tidak dapat mengakhiri problematika klasik tentang legitimasi demokratis, teori diskursus sekurang-kurangnya dapat menunjukkan bahwa upaya pencarian legitimasi mempunyai sebuah ciri diskursif.

Selain menunjukkan kekuatan teori diskursus, F Budi Hardiman juga berhasil dalam mengurai betapa teori diskursus mengandung beberapa kesulitan dalam aplikasinya dalam politik riil. Rekonstruksi negara hukum demokratis lewat teori diskursus tersebut dalam arti tertentu memperlemah unsur-unsur kritis yang masih terkandung di dalam karyakarya Habermas yang terdahulu.

Melalui karya ini, filsuf kelahiran Semarang yang genap berusia 47 tahun pada 31 Juli 2009 nanti ini semakin mengokohkan eksistensi bahwasanya ia merupakan tokoh pemikir yang konsisten memperkenalkan pemikiran-pemikiran pembaru Mazhab Frankfurt Jurgen Habermas,khususnya di Indonesia.

Pada akhirnya, meminjam istilah Franz Magnis-Suseno dalam komentarnya,buku ini tidak hanya memperkenal kan pemikiran Habermas tentang demokrasi,melainkan juga memiliki relevansi tinggi bagi kita di Indonesia.(*)

Benni Setiawan,
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Selamatkan remaja Indonesia dari dating violence


 

Selamatkan remaja Indonesia dari dating violence

Judul : TEEN DATING VIOLENCE 

Pengarang : Sony Set 

Terbit : 30-01-2009 

ISBN : 978-979-21-1797-4 

Resensi, Solo Pos, 02 Agustus 2009


Pacaran, telah menjadi kamus umum remaja Indonesia. Tidak pacaran, ”Gak gaul lo”. ”Hari gini gak punya pacar”, capek deh.
Itulah ungkapan yang sering kita temui dalam obrolan anak muda zaman sekarang. Pacaran menjadi hal biasa dan merupakan kebutuhan wajib dalam sistem pergaulan ”anak gaul”.
Aktivitas pacaran pun seringkali mengalahkan pelajaran sekolah. Peserta didik mencuri-curi waktu untuk sekadar bertemu pacar di saat jam pelajaran sekolah. Tidak hanya itu, waktu istirahat yang dialokasikan untuk benar-benar mengendurkan urat saraf digunakan sebagai media ”temu darat” yang tidak beretika. Artinya, banyak peserta didik melakukan aktivitas seksual secara terbuka dan bebas baik di kantin atau tempat-tempat khusus. Tempat tersebut seperti di kantor UKS, kantor Osis, Pramuka, maupun warung internet (warnet) terdekat.
Tempat yang disebut terakhir, malah seringkali digunakan untuk melampiaskan nafsu birahi yang belum saatnya dilakukan oleh anak-anak usia remaja. Dimulai dengan mengakses situs-situs porno, guna merangsang kedua makhluk berbeda jenis kelamin ini. Mereka seperti tanpa kontrol melakukan hal yang melanggar norma-norma sosial. Sebagaimana temuan, Sony Set yang dirangkum dalam buku ini.
Temuan Sony Set sunggung mencenggangkan. Jumlah remaja Indonesia pengakses internet yang kecanduan menontong dan mengoleksi materi pornografi masuk dalam peringkat 10 besar dunia! (hal. 68). Data dari Miyabi, kita dapat menyimpulkan bahwa dari 2004 hingga 2008 para pengakses internet di Indonesia telah menjadi kolektor dan penikmat film porno yang menampilkan adegan kekeraan di dalamnya. Dahsyatnya, para pengakses internet di Indonesia menduduki peringkat satu dunia sebagai konsumen video porno kekerasan hasil produk negara Jepang. Ironisnya, empat kota tertinggi pengakses situs porno adalah kota-kota pendidikan, seperti Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan Bandung (hal. 69).
Lebih dari itu, aktivitas menonton blue film telah mengkonstruk pemikiran remaja Indonesia. Dalam aktivitas keseharian dan pacaran pun, orientasi mereka hanyalah sex, sex, dan sex. Mereka akan melakukan apa saja untuk membujuk pacarnya agar mau melakukan aktivitas sex sebagaimana dilihatnya dalam gambar-gambar porno. Jika, pacar tidak mau menuruti keinginannya, maka violence (kekerasan) menjadi hal yang ”wajib” dilakukan.
Ya, dating violence menjadi genre baru dalam pergaulan remaja Indonesia. Dating violence adalah pola kekerasan dalam hubungan cinta yang dilakukan seseorang untuk mengendalikan dan mengatur pasangannya agar menuruti semua keinginannya (hal. 135).
Buku ini bercerita panjang lebar mengenai apa itu, bagaimana ciri-cirinya, dan tanda-tanda korban dating violence. Buku ini menjadi menarik karena didasarkan pada fakta, baik berupa angka maupun pengakuan korban dating violence. Semua data diramu dan diracik dengan apik dengan bahasa ala anak muda yang santun dan renyah. Pembahasaan anak muda ala Sony Set juga tidak mengurangi misi stop dating violence. Dengan bernas, rangkaian kata mengalir bagi air kehidupan yang membasahi dan menyadarkan. Betapa remaja Indonesia dalam bahaya.
Sony Set yang juga dikenal sebagai pengebrak gerakan Jangan Bugil di Depan Kamera, mengajak semua pihak untuk menyelamatkan masa depan remaja Indonesia. Melalui buku ini, kita akan mendapatkan informasi yang berharga mengenai bagaimana cara membentengi remaja Indonesia dari tindak dating violence. Menyelamatkan remaja dari dating violence merupakan langkah nyata menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterpurukan. Hal ini karena, remaja merupakan tulang punggung bangsa dan penerus estafet kepemimpinan bangsa.
Usaha nyata Sony Set ini memang perlu mendapat apresiasi (penghargaan). Sebagaimana komentar Heru Kasidi, Asisten Deputi Bidang Perlingdungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, ”buku ini patut dibaca dan penulisnya patut mendapat penghargaan”.
Akhirnya, selamatkan remaja Indonesia dari dating violence. Selamat membaca....

Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Bioetika Sebuah Pengantar



Panduan Moral Agar Tidak Tersesat
Judul Buku : Bioetika Sebuah Pengantar : 
Aborsi, Masturbasi, Bayi Tabung, Hukuman Mati, Pemanasan Global
Pengarang : William Chang, OFMCap
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, Juli 2009
Tebal Buku : 177 halaman
Peresensi :Paulus Mujiran, S. Sos, Msi.
Dimuat di Sinar Harapan



            Buku berjudul Bioetika Sebuah Pengantar : Aborsi, Masturbasi, Bayi Tabung, Hukuman Mati, dimulai William Chang dengan pengantar yang menceritakan kerisauan seorang ibu yang bingung terhadap kandungan yang ada dalam rahimnya. Tidak jelas apakah isi kandungan itu di dalam atau di luar perkawinan. Namun ibu itu dihadapkan pada dilemma antara mempertahankan kandungan sesuai dengan bisikan nurani atau menggugurkannya. Akhirnya, ibu itupun membuat keputusan mempertahankan kandungannya yang berarti mempertahankan keselamatan diri dan anaknya.
            Dilema etis seperti kisah itu tadi sering dihadapi para praktisi medis dan rohaniwan dalam menghadapi kliennya. Di era permisif dan pragmatisme belakangan ini dimana banyak orang mencari mudah dan amannya sendiri nilai-nilai moral cenderung terabaikan. Pertimbangan moral etis atau juga sering disebut etika kehidupan (bioetika) lebih sering diabaikan. Padahal, pertimbangan-pertimbangan moral semacam inilah yang diperlukan agar keputusan yang diambil tidak salah langkah dan akhirnya tersesat.
            Salah satu tugas bioetika adalah memberi jawaban secara bertanggung jawab beragam pertanyaan menggelisahkan kehidupan di dunia modern. Dalam dunia modern lebih sering manusia dihadapkan pada dilema-dilema etis menyangkut kesehatan, pengobatan, seks, kematian bahkan bunuh diri, perpanjangan hidup manusia juga pengakhiran hidup manusia. Di tengah teknologi modern yang serba mungkin ini kehadiran bioetika menjadi sangat penting karena dapat dijadikan rujukan atau pelita hati.
            Chang membeberkan gejala yang muncul belakangan ini lebih mencerminkan adanya disorientasi nilai sebagai akibat dari globalisasi. Yang membuat kita sedih adalah pertanyaan kemana manusia hendak dibawa dan saat ini berada? Manusia modern sering mencampur adukkan mana yang dapat dan boleh. Padahal hidup manusia akan berubah kala dengan tegas mampu membedakan mana yang boleh dan dapat.
            Diskusi mengenai aborsi sering berubah menjadi pembicaraan tidak berujung karena tidak ada titik temu. Namun pangkal perdebatan itu sesungguhnya terletak pada kapan sesungguhnya kehidupan seseorang dimulai. Banyak tafsir agama secara berbeda-beda memberikan tafsir atas kehidupan ini. Namun Chang mempertegas sikapnya, dalam moral Kristen saat pertama penentuan hidup manusia yakni pada saat pembuahan ovum dimana genotip ditentukan.
            Ovum yang telah dibuahi mencapai tingkat individualisasi yang memiliki ciri eksistensi pengada yang personal. Melalui implantasi dalam rahim ibu, morula mendapat habitat alamiahnya. Lambat laun morula ini mengembangkan kekuatan hidupnya. Dan pada saat seorang ibu menerima morula dalam sistem hidupnya dia menjadi ibu dalam artian penuh. Data-data dan informasi mengenai awal hidup manusia menjadi dasar kaum biologis, filsuf dan moralis pada saat pembuahanlah transmisi kehidupan dimulai.
            Oleh karena itu tindakan mengaborsi kandungan merupakan bentuk campur tangan manusia sebelum lahir dapat disebut sebagai pembunuhan. Aborsi dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal yang keji. Martabat manusia mesti dihargai dan dijunjung tinggi. Aborsi berlawanan dengan semangat bahwa hidup manusia sudah kudus sejak awal karena berasal dari Yang Kudus. Selain itu pembunuhan adalah bahaya terbesar bagi korban yang akan mendatangkan penderitaan yang berat. Serta pembunuhan adalah tindakan kriminal yang menghancurkan si pembunuh. Dan bahkan acapkali mengakibatkan korban dan orang-orang lain berduka, serta setiap warga masyarakat bertanggung jawab atas kelangsungan dan pelangsungan hidup (hal 44).
            Sementara terhadap praktek homoseksualitas dimana Chang melukiskan kecenderungan itu terjadi karena kesalahan orientasi seksual yang ditentukan oleh masa mudanya. Chang berpendapat sangat sedikit kaum homoseks yang dilahirkan dalam keadaan abnormal secara anatomik sehingga mengarahkan keinginan seksual mereka kepada teman sejenis. Perilaku homoseksual berlawanan dengan kehendak Tuhan. Meski begitu dosa manusia tak pernah menghapus atau meniadakan karya penciptaan dan penebusan Tuhan.
            Terpenting kesalahan-kesalahan tindakan homoseksual harus ditimbang secara arif samba mengingat bahwa terdapat kecenderungan moral intrinsic yang buruk. Gereja Kristen dipanggil menyediakan reksa pastoral yang dapat membantu mereka pada semua tingkat hidup spiritual : penerimaan sakramen tobat, doa, kesaksian, konsultasi. Peralihan hidup dari homoseksual menjadi heteroseksual merupakan proses yang melibatkan banyak pihak dan perlu terus diperjuangkan (hal 67).
            Masih dalam semangat yang sama Chang berpendapat hubungan seks sebelum perkawinan berlawanan dengan Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama dan Baru telah dilarang hubungan persebadanan di luar perkawinan sebab hubungan ini dapat dipandang sebagai zina. Ajaran resmi gereja tidak menolerir hubungan persebadanan diluar konteks perkawinan. Paus Innocentius IV menandaskan bahwa zina yang dilakukan oleh seorang berkeluarga termasuk dosa berat.
            Hubungan persebadanan hanya dianggap sah kalau dilakukan oleh mereka yang telah mengikat diri dalam hidup berumah tangga. Hubungan seks bukan hanya milik dunia fisik, sebab seks milik dunia symbol dan dunia cinta kasih. Seks menyatukan dan meningkatkan keakraban hubungan pria dan wanita. Bahkan seks dianggap sebagai meterai kesatuan pria dan wanita. Hubungan persebadanan sebelum perkawinan hanya akan merendahkan martabat hubungan itu (hal. 73).
            Yang menarik Chang juga mempertegas pandangan gereja yang menolak penjatuhan hukuman mati. Dalam kacamata moral hukuman mati bukanlah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dalam mewujudkan sebuah masyarakat yang aman, damai, sejahtera dan baik secara moral. Hukuman mati juga bukan jalan terbaik untuk membangun sebuah komunitas politik. Secara moral perlu dikedepankan martabat dan keluhuran martabat manusia. Pertanyaan etis lain apakah manusia mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seseorang?
            Terhadap isu global warning Chang menyataka bahwa itu telah menjadi masalah umat manusia belakangan ini. Ketika isu ini menjadi masalah dunia harus ada upaya penyadaran seluruh umat manusia antara lain pembekalan hidup melalui pendidikan serta menciptakan lingkungan bebas sampah serta menghentikan praktek polusi udara. Harus ada tanggung jawab semua manusia menyelamatkan dunia yang makin lama kian tidak nyaman dihuni ini (hal 165).
            Buku ini seperti terbit di saat yang tepat. Ketika banyak buku terbit sebagai pemuja kehidupan dan penikmat globalisasi, buku ini seperti sengaja menarik semua orang beberapa langkah ke belakang. Chang seperti hendak menyodorkan kepada kita semua bahwa ugahari, menyangkal diri sesuai panduan moral etis masih mendapat tempat yang layak ditengah para penyembah berhala modernisasi ini. Kepadanya pembaca akan menemukan pedoman hidup yang sesuai. (Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang).  


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger