Memaknai Penderitaan

Judul Buku     : Question of Faith? Why do People Suffer? Mengapa Manusia     Menderita?
Penulis            : James Jones
Penerbit          : Kanisius
Cetakan          : I, 2010
Tebal               : 112 halaman

”Seringkali, kita mulai berdoa dengan sungguh-sungguh hanya ketika bencana melanda kita. Kita melupakan segala perdebatan yang mendukung atau melawan keberadaan Allah dan berteriak meminta supaya Allah menyelamatkan kita. Namun, jika penderitaan tetap berlanjut meski kita berdoa, kita meragukan keberadaan Allah atau mempertanyakan Allah macam apakah Dia sebenarnya? Hal itu membuat penderitaan kita lebih tak tertanggungkan lagi. Mengapa Allah tidak mengatakan sesuatu pun? Apakah Ia ada? Apakah Ia peduli?” (hal. 52)
            Paragraph di atas merupakan salah satu cuplikan dari salah satu pembahasan pertanyaan atas keberadaan Allah ketika manusia menderita. Memang, penderitaan seringkali membuat kita bertanya-tanya di manakah Allah, yang banyak digambarkan sebagai Bapa yang baik hati itu. Mengapa Allah yang penuh kasih itu membiarkan penderitaan terjadi? Apakah Allah menciptakan kejahatan? Atau, apakah Allah sengaja membiarkan ciptaanNya menderita?
            Berbagai pertanyaan di seputar penderitaan seakan tiada henti-hentinya terlontar dari dalam diri kita. Ironisnya, kita cenderung menyalahkan Allah sebagai penyebab utama penderitaan itu sehingga perlahan-lahan kita meninggalkan Allah.
            Dalam buku ini, James Jones secara runtut menguraikan fakta penderitaan itu dan mengajak pembaca untuk menemukan makna terdalam di balik derita. Ia menguraikannya secara sederhana dan mudah dipahami dalam delapan bagian. Masing-masing bagian selalu diawali dengan sebuah tesis singkat yang dapat membantu pembaca memahami gagasan setiap pembahasan.
            Selain itu, pembaca juga semakin terbantu dalam memahami isi setiap pembahasan melalui gambar-gambar ilustrasi yang humanis. Disajikan pula kutipan-kutipan dari banyak tokoh dan kitab suci sebagai pendukung yang disusun secara menarik sehingga pembaca bisa menemukan inspirasi bagi hidupnya.
            Buku ini cocok bagi siapa saja yang ingin memaknai penderitaan secara lebih mendalam. Berbagai pertanyaan kita seputar penderitaan yang seringkali membuat kita ragu akan keberadaan Allah, akan sedikit terjawab melalui buku ini. Dan akhirnya, buku ini sangat dianjurkan untuk mendampingi mereka yang sedang berada dalam keadaan krisis iman karena penderitaan yang dialaminya.
St Sigit Pranoto SCJ
Skolastikat SCJ
Jl Kaliurang Km 7,5
Yogyakarta 

Dimuat di Hidup 23 Mei 2010

"Skandal Korupsi" di Lingkungan Gereja

Judul   : GEREJA DAN PENEGAKAN HAM
Pengarang  : Ruddy Tindage, Rainy MP (penyunting)
Terbit  : 2/6/2008
ISBN  : 978-979-21-1932-9
Harga  : Rp. 30.000,-
Halaman  : 251
Peresensi : Ahmad Hasan MS*)




Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Virus maha dahsyat ini bisa menjangkit siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Oleh karenanya, Ia tidak mengenal latar belakang Suku, Agama, Ras Dan Aliran(SARA). Berbagai data dan fakta di lapangan membuktikan betapa korupsi meruntuhkan nilai-nilai hak asasi manusia(Human Right) secara universal. Tidak salah bila Kwik Kian Gie(2005) mengatakan korupsi adalah akar semua masalah. Itulah sebabnya, butuh sebuah cara pandang (platform) yang sama dari siapa saja dengan menempatkan korupsi sebagai masalah bersama (common enemi).

Buku “ Gereja dan Penegakan HAM” berusaha membahas secara komprehensif ihwal berbagai fakta pelanggaran yang terjadi di lingkungan gereja. Buku ini ditulis oleh beberapa penulis yang concern terhadap pentingnya penegakan HAM. Bagi George Junus Aditjondro(2008)-salah seorang aktifis yang kritis terhadap persoalan korupsi dan HAM- gereja sebagai komunitas orang-orang suci tidak sepenuhnya luput dari praktek korupsi. Pihak pengelola gereja justru kerap melakukan praktek korupsi dengan menyalahgunaan wewenang dan jabatan tertentu seperti manipulasi bantuan Jema’ah dan lain sebagainya.

Kasus manipulasi bantuan Jema’ah-Jema’ah Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) untuk para korban tsunami di Aceh dan Nias pada akhir 2005 adalah salah satu contohnya. Menurut Investigasi BPKP GKST pada 12 Desember 2005, hasil sumbangan 61 jema’ah GKST yang diperuntukkan untuk para korban Tsunami dan Nias telah terkumpul sebanyak Rp 27.538.450. Namun, pengelola gereja di bawah Majlis Sinode (MS) GKST di Tentena sebagai pihak yang diserahi jema’ah malahan tidak menggunakan amanah itu sebagaimana mestinya. Sejumlah 24,5 dari dana bantuan Jema’ah “dipinjam” oleh MS GKST, sedangkan sisanya berada di tangan Bagian Keuangan Badan Pekerja Sinode (BPS)GKST (BPKP GKST 2005).

Menurut Junus, kasus yang sama juga dilakukan MS GKST terhadap bantuan untuk korban bom di Pasar Tentena,yang berjumlah sebesar Rp 338 juta lebih. Dari jumlah bantuan itu, hanya Rp 162 juta lebih yang dimanfaatkan untuk kepentingan para korban, tapi Rp 25 juta lagi-lagi “dipinjam” oleh MS GKST. Bagi Junus, kebijakan seperti ini jelas tidak etis karena “merampas” hak para korban bom di Pasar Tentana.

Kasus manipulasi bantuan Jema’at yang cukup besar juga terjadi pada Yayasan Peduli Kasih Hurian Kristen Batak Protestan (YPK HKBP) pada tahun 2007 yang lalu. Berdasarkan analisis Junus, YPK HKBP telah menyalahgunakan dana bantuan Tsunami untuk ratusan anggota Jema’at HKBP di Meulaboh, Aceh Barat sebesar satu milyar lebih atau tepatnya Rp 1.058.228.513. Dana itu berasal dari bantuan dermawan-dermawan di luar negeri serta kolekte (persembahan) Jema’at-Jema’at HKBP se-indonesia yang total seluruhnya sebesar Rp 10.792.529.725 yang dihimpun oleh Yayasan Peduli Kasih HKBP sendiri. Fakta ini terkuak dalam laporan hasil audit dana bantuan kemanusiaan untuk bencana alam Tsunami No. 12/BA/VIII/HKBP/2007 yang ditandatangani oleh Ketua Badan Audit HKBP, Djawakin Sihotang, dan ditunjukkan kepada Majlis Pekerja Sinode (MPS) HKBP tertanggal 24 Agustus 2007( Batak Pos, 16,17,19 November 2007).

Fakta ini bagi Junus merupakan ironi organisasi gereja yang lupa dengan pesan Yesus untuk mengasihi sesama manusia. Para pengelola gereja terjebak dengan nafsu keserakahan pada uang dan kekuasaan. Pada hal, uang dan kekuasaan seharusnya digunakan untuk membantu sesama manusia tanpa memandang Suku, Agama, Ras dan Aliran. Tidak salah bila Lord Acton mengatakan , power corrupts, and absolute power corrupts absolutely. Bahwasanya semakin mutlak kekuasaan semakin besar pula kesempatan korupsi.

Maka dari itu, bagi Yunus sudah saatnya seluruh pengelolaan dana dan inventaris gereja dikelola secara transparan agar gereja terhindar dari penyakit korupsi yang sudah sedemikian mewabah di “Republik Mimpi” ini. Pendeta sebagai pimpinan gereja dan publik figur juga perlu melakukan transparansi kekayaan dalam rangka memberi contoh positif kepada Jema’ah agar senantiasa bertanggung jawab terhadap dan memiliki jiwa amanah.

JB Banawiratma, menambahkan bahwasanya gereja sudah seharusnya melakukan reffleksi kritis terhadap penegakan HAM. Masalah korupsi merupakan salah satu kejahatan hak asasi manusia yang harus diberantas siapapun. Korupsi mencederai manusia sebagai citra tuhan(Imago Dei). Citra tuhan senantiasa menebarkan cinta kasih sayang terhadap seluruh alam semesta( Seruan Rasul Paulus dalam Galatia 5:3).

Buku ini memberikan deskripsi dan analisis tentang fakta pelanggaran HAM, khususnya yang terjadi di gereja. Kelebihan buku ini terletak dari kemampuan meracik data dan fakta dari para penulis dalam melakukan analisis yang sedemikian tajam dan aktual. Meski demikian bukan berarti tanpa kelemahan. Buku ini terkesan njlimet dan sulit dipahami masyarakat awan karena banyak menggunakan bahasa ilmiah dan Yunani. Akan tetapi, kejlimetan buku ini tidak mengurangi kwalitas isi pembahasanya yang yang sarat dengan data dan fakta. Sebuah buku yang menghadirkan spirit ketuhanan berbasis kemanusiaan secara universal.

*) Peresensi Adalah Pustakawan dan Peneliti pada Central For Studies Of Religion and Culture (CSRC) Yogyakarta.
Kompas.com Kamis, 6 Mei 2010 | 01:46 WIB

Menelusuri Sepak Terjang Teror(isme)

Judul   : POLITIK PARA TERORIS
Pengarang  : Mutiara Andalas
Terbit  : 19-12-2009
ISBN  : 978-979-21-2475-0
Harga  : Rp. 25.000,-
Isi : 132 Halaman



Sepertinya bangsa ini tidak pernah dapat lepas dari aksi terorisme. Mulai dari peledakan bom di berbagai wilayah Indonesia hingga latihan militer, sebagaimana di Aceh baru-baru ini. Teroris akan terus menyebarkan pahamnya dengan berbagai jalan yang mereka yakini kebenarannya.

Romo P. Mutiara Andalas sembari mengutip John Horgan menyatakan, kita pertama-tama berjumpa dengan drama peristiwa teror bom. Drama peristiwa dapat sedemikian dahsyat sehingga kita berubah dari penonton menjadi pelibat aktif di dalamnya (personalization of even). Horgan mengingatkan kita agar jangan berhenti pada drama tragedi. Kita perlu beranjak dari drama tragedi ke uraian sistematis untuk memahami terorisme.

Horgan mengakui bahwa kata terorisme termasuk di antara konsep yang alot pendefinisiaan dan pendeskripsiannya. Kesulitannya bukan pertama-tama berkaitan dengan semantik. Kita kewalahan untuk mendefinisikan atau mendeskripsikan terorisme karena konsepnya secara inhern politis.

Horgan melihat kebutuhan untuk mencermati subyek politik yang mendefinisikan dan mendeskripsikannya. Ia memandang teror sebagai eksploitasi atau ancaman penggunaan kekerasan sebagai instrumen untuk mencoba meraih efek tertentu dalam konteks politik. Penyebaran teror melalui kekerasan menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif untuk perubahan atau gejolak politik. Pemboman, penembakan, atau serangan fisik membangkitkan dan kemudian menjaga tingkat ketakutan (hal 34-35).

Maka dari itu, perlu langkah-langkah prefentif agar bangsa ini tidak selalu menjadi sasaran dan sarang teroris. Dalam buku Politik Para Teroris ini dijelaskan setidaknya tiga tugas penting yang meminta keterlibatan komunitas kebangsaan dan keagamaan pasca teror bom. Komunitas-komunitas ini hendaknya mengungkapkan imannya akan keesaan Allah terutama melalui bela rasa dengan korban. Mereka memiliki panggilan bersama untuk melawan terorisme sebagai rezim anti-kemanusiaan kontemporer.

Media massa mengutip janji pemerintah untuk menanggung pengobatan para korban yang luka dalam tragedi bom. Namun penderitaan korban seringkali masih berlanjut setelah masa perawatan di rumah sakit. Trauma seringkali menyertai penderitaan fisik korban dan tergambar dalam bekas luka pada tubuh korban.

Kepeduliaan juga hendaknya terulur kepada mereka yang pernah mengalami masa tahanan karena dakwaan keterkaitan dengan jaringan teroris. Masyarakat seringkali mengucilkan mereka karena dakwaan berkomplot dengan jaringan teroris di masa lalu. Masyarakat seringkali rendah toleransinya menerima warga, yang pernah berurusan dengan aparat keamanan karena dakwaan terlibat dengan teroris, untuk hidup di tengah-tengah mereka. Atas nama membersihkan wilayah mereka dari sebutan sarang persembuniyan teroris, mereka mengusir warga yang rumahnya menjadi tempat singgah mereka yang didakwa aparat keamanan sebagai teroris.

Tugas selanjutnya adalah mendorong pembacaan dan penafsiran kritis terhadap teks-teks suci agama yang sepintas membenarkan teror kekerasan. Hermeneutika terhadap teks suci agama perlu untuk membongkar kedok jaringan teroris yang seringkali menyelubungi aksi-anti kemanusiaannya dengan baju teks Kitab Suci. Pernyataan pemuka agama bahwa pelaku membajak Kitab Suci perlu berlanjut dengan pembacaan dan penafsiran terhadap teks-teks yang rentan terhadap pembelokan makna.

Dalam beberapa aksi teror di Indonesia, pelaku menjadikan teks-teks suci agama untuk menyucikan aksi anti-kemanusiaannya. Teks-teks suci yang menyimpan problematika menjadi lahan bersarang aman bagi jaringan teroris. Pengkaji Kitab Suci hendaknya menafsirkan teks-teks tersebut dalam terang pandangan yang semakin positif terhadap komunitas beriman lain. Mereka hendaknya juga keluar dari paradigma pertarungan agama dan peradaban sebagaimana pernah dinubuatkan Samuel P. Huntington. Kita perlu memperhatikan konteks ketidakadilan global dalam membaca dan menafsirkan teks Kitab Suci.

Tugas ketiga adalah mengangkat terorisme anti-kemanusiaan sebagai bahan wacana kebangsaan dan dialog antar-agama. Kita mensyukuri kelahiran gerakan-gerakan cinta bangsa, seperti Indonesia Unite, pasca-tragedi teror bom. Di tengah kepanikan masyarakat pasca-tragedi, seperti aksi hening kemanusiaan pasca-tragedi Madrid, mereka berseru lantang, “Kami tidak takut!” kita mendorong gerakan-gerakan kebangsaan untuk melihat terorisme sebagai tantangan berketuhanan yang maha esa di Indonesia sekarang ini.

Kita juga mendorong mereka untuk berinteraksi langsung dengan korban atau keluarga korban. Spiritualitas mereka bersumber dari perjumpaan dengan korban dan keluarga korban yang melahirkan bela rasa. Komunitas-komunitas agama juga berhadapan dengan ilah kekerasan sebagai berhala kontemporer yang mengancam keesaan Allah. Komunitas-komunitas dialog antar-agama hendaknya sampai pada pemahaman berhala kekerasan dalam aksi teroris menyerang kemanusiaan bersama (hal 96-99).

Menurut Trias Kuncahyono dalam komentarnya, banyak orang sudah demikian akrab dengan kata “terorisme” dan “teroris”. Tetapi buku ini memberikan pemahaman baru tentang terorisme, teroris, dan mengapa orang mau menjadi teroris? Latar belakang penulis, yang menggeluti filsafat dan teologi, membuat buku ini sangat menarik dan berbeda dengan buku-buku lain tentang terorisme. Buku ini sangat layak dibaca oleh para ilmuwan, mahasiswa, wartawan, kaum agamawan, dan aparat keamanan yang ingin memperoleh pemahaman baru tentang terorisme.

Pada akhirnya, buku kecil ini merupakan bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin mengetahui secara lebih jelas sepak terjang teroris. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

 

Jurnal Nasional, Minggu 2 Mei 2010

Mendengar Suara Tapol 65

Judul   : PENYAM(B)UN(G) LIDAH RAKYAT
Pengarang  : Budi Susanto, S.J. (editor)
Kategori  : Humaniora
Terbit  : 11/9/2008
ISBN  : 978-979-21-1983-1
Harga  : Rp. 45.000,-
Ukuran  : 155x225
Halaman  : 220


Setiap peristiwa politik yang terjadi di suatu bangsa telah mendasari perubahan yang signifikan bagi tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Tidak hanya di negara-negara dunia pertama, melainkan juga di negara-negara baru berkembang. Salah satunya adalah peristiwa politik pada 1965-1966 di Indonesia.

Dari banyak buku pelajaran sejarah di sekolah baik pada tingkat Dasar, Menengah dan Atas menunjukkan bahwa dalang dari peristiwa  (Gestok) G-30-S/PKI ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Kerena itu, tidak heran jika ribuan orang tak bersalah dan tidak mengetahui menjadi korban dari peristiwa tersebut.

Tidak hanya para lapisan negara, seperti Jendral pahlawan revolusi, mantan presiden Soekarno, melainkan juga rakyat-rakyat jelata baik tua, muda, laki-laki dan perempuan yang hidup di pelosok-pelosok desa Indonesia. Peritiwa itu tentu sangat menyakitkan bagi keluarga korban dan keturunannya (seperti anak, famili dan cucunya) kerana bagaimana tidak, orang tak bersalah dan tidak atau apa-apa bisa diciduk, kemudian dimasukkan kedalam dipenjara selama 5 tahun.

Ada dua perempuan, yakni Sumarah dan Jamilah yang “diciduk” dari desa kelahirannya, kabupaten Magelang (Jawa Tengah). Sebagian besar tahanan lainnya adalah keluarga dekat, sanak-saudara, termasuk lurahnya. Hal ini terjadi karena mereka berdua (Sumarah, Jamilah) sama-sama aktifis organisasi politik, yaitu Pemuda Rakyat (PR). Dan kemudian “didakwa kudeta” dan ikut terlibat bersama pejabat desa terhadap G 30 S/PKI. Mungkin berangkat dari dakwaan semacam itulah, para pemuda dari berbagai unsur seperti Pemuda Marhaen, Muhammadiyah dan Pemuda Ansor menjemput dan memberlakukan kasar terhadap keduanya.

Ketiga elemen ini digerakkan oleh RPKAD dan kepolisian setempat. Ada dua bentuk instrument proses penjemputan terhadap orang-orang yang dianggap ikut terlibat pada G 30 S itu. Pertama, proses kedatangan, penggeledahan dan pengarakan menuju kantor desa Candi Mulyo.

Kemudian ke kantor kecamatan pada malam harinya dan dibawa kepolisisan Muntilan dan ditahan semalam dipenjara Muntilan. Kedua, proses pemenjaraan di Dinas Sosial Kota Magelang.Bukan hanya Sumarah dan Jamilah, satu minggu sebelumnya, tokoh laki-laki yang banyak tergabung dalam Pemuda Rakyat juga dipanggil oleh kantor kecamatan untuk menghadiri rapat melalui surat panggilan.

Kali pertama yang dipanggil adalah Slamet, Daryanto, Sadjono, Abdul (kakak Sumarah). Seminggu kemudian Lurah Pandan Retno, Mulyo Sadiro, dan menantunya yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh di kali Progo Secang. Magelang, Yuso Admajo (paman Sumarah). Tentu beberapa korban politik tersebut hanyalah sebagian kecil dari daftar korban peristiwa politik 65 “Dari Sabang Sampai Merauke” di bawah kekuasaan Orde Baru.

Kita bisa menyebut hampir semua korban politik saat itu mengalami nasib yang sama sebagaimana yang ditunjukkan para penulis muda dalam buku berjudul Penyam(b)ung Suara Rakyat ini. Para penulis buku ini adalah orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap masa lalu dan masa depan bangsa (bukan menemukan, merumuskan dan memaparkan apa keinginan, cerita dan cita-cita kehidupan orang-orang yang mereka wawancarai, tetapi berusaha mengungkap bagaimana beberapa rakyat sebangsanya itu membayang (bayangkan) sendiri beragam jenis hasrat kemanusiaan-sebagai seorang rakyat biasa) Indonesia.

Menurut Budi Susanto, editor buku setebal 220 halaman ini, suara atau kata-kata yang keluar dari “lidah”  rahyat  tersebut layaknya sebuah hasrat kebangsaan Indonesia. namun demikian, inti dari sebuah hasrat bukan sekedar mengangan-angankan tetang sesuatu hal, tetapi sesuatu kewaspadaan dari ketidak-mampuan manusia untuk memiliki seseorang atau barang yang sesungguhnya kita inginkan (halaman 11).

Dengan begitu, baginya, sebagian rakyat menjadi mampu memanfaatkan peluang-peluang kebudayaan (seni sastra, juranlisme, seni tari, pentas, organisasi atau berserikat) untuk menyuarakan dan mewujudkan kebebasan dalam menentukan nasib sendiri demi suatu masa depan bersama, dalam arus globalisasi masa kini.

Sebab, modernitas global mempercepat dan mendekatkan warga masyarakat menatap (ketika) terjadinya peperangan, datangnya manusia pengungsi dan terusir, pasar dan konsumsi gaya hidup global.Dengan pendekatan kajian poskolonial, kehadiran buku ini tampaknya menjadi “jalan tengah” atau “musyawarah” antara proses sejarah dan peran tulis-menulis, sastra kesenian.

Oleh karena itu, buku ini layak disambut dan dibaca oleh khayak. Sebab, kisah-kisah masa lalu bangsa yang pernah terjadi, baik di Yogyakarta, Magelang, Blora, Gorontalo dan Madura bukan sebuah hasil kebetulan, atau sebuah kemungkinan buta, tatapi juga kisah (dan cita-cita) aksi rasional kerakyatan menghadapi perhantuan (traumatis) yang bikin lidah keluh dan membisukan selama 32 tahun orde baru berkuasa.

Akhirnya, semoga sastra, tarian dan kesenian rakyat tentang masa lalu, dengan buku ini mampu berperan secara mendasar untuk sebuah reorientasi sejarah politik ekonomi Indonesia di masa depan. Harapan seperti itu pernah dianjurkan presiden Soekarno “Penyambung Lidah Rakyat”  yang mengatakan bahwa para pemimpin bangsa Indonesia harus berani tampil sejajar di depan dunia modern global.[]


Hurri Rf *) (30/01/2009 - 05:27 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja),
*) Mahasiswa Uhuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger