Sebuah Langkah menjadi Pembimbing Retret

Judul Buku     : Biji Sesawi  Memindahkan Gunung
Penulis            : Drs. Antonius Purbiatmadi, M.A. dan Marcus Supriyanto, S.Si.
Penerbit          : Kanisius
Cetakan          : I, 2010
Tebal               : 272 halaman


            Seringkali orang terbelenggu dengan paradigma yang mengatakan bahwa pembimbing retret itu harus berasal dari kalangan biara, baik pastor, bruder, frater maupun suster. Anggapan tersebut justru membuat banyak umat kesulitan untuk mendapatkan tim pembimbing retret. Maka dari itu, paradigma yang ada perlu diperbaharui: pembimbing retret tidak harus dari kalangan biara.
            Hadirnya buku ini merupakan salah satu jawaban atas keprihatinan yang ada. Buku ini memberikan sebuah jalan keluar untuk menghadapi kendala yang ada. Dan dengan buku ini, kaum awam diajak untuk menjadi pemandu retret.
            Secara khusus, buku ini berisi sebuah latihan dan panduan bagi seorang pembimbing retret. Panduan yang diberikan merupakan hasil dari pengalaman para penulis selama menjadi pendamping retret. Secara khusus, buku ini menghadirkan sebuah latihan praktis untuk mendampingi pelajar dan kaum muda dalam mengembangkan talenta secara terarah.
            Sebagai sebuah buku panduan retret, para penulis menyajikan secara lengkap hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan retret. Ada dua bagian yang disajikan dalam buku panduan ini. Bagian pertama berisi sebuah contoh tentang hal-hal yang sifatnya teknis dan praktis dalam retret: tatalaksana retret, tata tertib retret, dan jadwal acara retret.
            Sedangkan bagian kedua memberikan beberapa contoh panduan materi yang disusun secara berkesinambungan dalam mendampingi pelajar dan kaum muda mengembangkan talenta secara terarah. Isi dari materi yang ada begitu kompleks, yakni dari Kitab Suci yang dipadukan dengan berbagai bidang ilmu lain seperti psikologi terapan, ilmu kesehatan, moral dan situasi aktual remaja saat ini.
            Selain itu, disajikan pula beberapa contoh permainan dan lagu penyegar serta buku harian peserta retret. Maka dari itu buku ini sangat cocok dipakai oleh siapa saja yang berminat untuk menjadi pendamping retret atau pun mereka yang sudah lama terjun sebagai pendamping retret. Akhirnya, melalui buku ini diharapkan agar kesulitan mencari pendamping retret semakin dapat teratasi dengan mudah karena munculnya pendamping-pendamping retret yang baru.

St Sigit Pranoto SCJ
Skolastikat SCJ
Jl Kaliurang Km 7,5
Yogyakarta 

Sisi Gelap-Terang Permata Wanita

Judul   : HERStory, Sejarah Perjalanan Payudara
Pengarang  : Naning Pranoto
Terbit  : 10/4/2010
ISBN  : 978-979-21-2606-8
Harga  : Rp. 40.000,-
Halaman  : 260
Peresensi : Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Kompas.com Sabtu, 22 Mei 201


Perempuan adalah permata kehidupan. Dalam setiap lekuk tubuhnya, Tuhan menganugerahkan permata yang indah dan menawan. Tubuh perempuan menjadi cawan autobiografi kehidupannya. Nietzsche bahkan berani menyebut tubuh perempuan mempunyai kecerdasan besar. Ajaran Budha melihat tubuh sebagai pura bagi manusia. Tubuh harus terus dijaga agar bersih untuk berumah jiwa yang jernih. Mutiara yang melekat dalam tubuh perempuah harus terus terjaga dengan jernih sehingga menjadikan perempuan sebagai ibu kehidupan. Dari rahim perempuan, permata kehidupan menjadi tampak, kehidupan semakin cerah dan penuh cahaya.

Akan tetapi, perkembangan laju peradaban membuat tubuh perempuan menjadi objek eksploitasi teknologi modern. Apapun dalam diri perempuan menjadi permata yang “dijual-belikan” dalam transaksi peradaban yang penuh hasrat dan kepentingan. Germaine Greer melihat bahwa tubuh yang indah dan seksi, wajah jelita, kulit cemerlang, payudara montok adalah paket yang dikejar hampir setiap kaum perempuan agar kecantikannya menyamai para dewi yang hidup dalam dongeng. Mengapa harus menjadi dewi, jika tubuhnya hanya menjadi objek permainan kaum lelaki? Sementara itu, ada peran lain  yang lebih penting menanti. 

Di tengah kegalauan ihwal tubuh inilah, Naning Pranoto hadir lewat bukunya yang bertajuk “Her Story: Sejarah Perjalanan Payudara.” Penulis tidak mengulas semua yang menempel dalam diri perempuan, akan tetapi mengambil objek “payudara” sebagai simbol keperempuanan yang selama ini menjadi persoalan serius dalam perjalanan hidup perempuan. Penulis melihat bahwa dibalik payudara yang montok yang selalu dibanggakan kaum hawa ternyata menyimpan sejarah kelam yang kerap mendiskriminasikan perempuan dan meminggirkannya dalam percaturan peradaban. Bahkan telah menjadikan perempuan sebagai objek kenistaan dan korban kekerasan dalam berbagai epifeni terburuk dalam sejarah umat manusia.

Dalam analisisnya, penulis melihat bahwa payudara yang montok tidak sekedar dipandang sebagai sentral libido, tetapi juga dinilai sacral. Kemontokan payudara dimaknakan sebagai symbol kesuburan, kasih saying, dan sumber kehidupan. Pemaknaan ini sangat relevan dengan fungsi payudara sebagai sumber air susu yang menghidupi bayi-bayi atau calon manusia. Tanpa ada kesuburan, air susu tidak akan mengucur. Tanpa kasih saying, air susu tidak akan diberikan kepada bayi-bayi. Maka, para ibu yang tidak mau menyusui bayinya berarti payudaranya tidaklah mempunyai makna luhur, karena fungsinya hanya sebagai perangkap libido dan pemuas nafsu birahi belaka (hal.16).

Dalam pandangan Freud, payudara tak ubahnya penis bagi lelaki. Keduanya –payudara dan penis- bersifat libidos, yakni membangkitkan nafsu birahi secara instingtif. Keduanya menjadi sumber kenikmatan seksual yang bisa dinikmati secara oral. Tak salah kalau perempuan selalu berhias diri dengan menonjolkan payudaranya agar menjadi objek penglihatan kaum lelaki. Karena begitu kuatnya sifat libidos dalam diri payudara, kemajuan teknologi modern menjadikan payudara sebagai objek paling dieksploitasi dalam berbagai konsumsi modernitas yang ditampakkan dalam berbagai iklan, televisi, majalah, dan ihwal marketing pasar lainnya. Payudara perempuan benar-benar menjadi berkah sekaligus menjadi musibah yang targis!

Dalam konteks ini, perlu kiranya melihat jejak perempuan dalam siklus kebudayaan yang melingkupinya. Dalam kendala budaya patriarki, masa demi masa menjadi saksi berbagai kisah pilu yang menimpa perempuan. Misalnya, anak perempuan dianggap tidak berguna dan hanya pendosa sehingga menjadi aib keluarganya. Maka, anak-anak perempuan disia-siakan dan dipewrlakukan sewenang-wenang seperti binatang. Kaum perempuan juga dijadikan sebagai pampasan perang. Perempuan dijadikan budak berlian. Perempuan dijual pada penguasa untuk dijadikan gundik atau budak seks. Perempuan dijadikan sebagai tumbal ritual. Perempuan dinilai tidak layak sekolah karena otaknya tumpul. Perempuan hanya dianggap bisa beranak dan masih banyak lagi anggapan yang melecehkan perempuan (hal. 45).

Nasib tragis yang menimpa perempuan direkam dengan mengenaskan oleh novelis asal Mesir, Nawal El-Saadawi. Dia mengisahkan bahwa seorang gadis yang dianggap tidak memiliki keperawanan lagi bisa dikenai hukuman mati secara fisik, secara moral atau paling tidak diceraikan jika hal itu ketahuan. El-Saadawi memberi kesaksian mengenai kejamnya hukuman bagi perempuan yang selaput daranya tidak mengeluarkan darah pada malam pertama melakukan hubungan seks (hal. 33). Bukan hanya dalam kisah malam pertama, tetapi banyak kisah lain yang diungkap kaum feminis kontemporer ihwal tragisnya nasib perempuan di tengah kemajuan peradaban manusia dewasa ini.

Untuk itu, bagi penulis, stereotip yang bias ini harus diluruskan dan dilawan. Menggunakan analisis gerakan feminis, penulis menyuguhkan beragam argument untuk melepaskan perempuan dalam belenggu yang menyakitkan. Feminisme liberal memperjuangkan agar hak-hak perempuan setara dengan kaum lelaki dalam bidang politik, pendidikan, dan lapangan pekerjaan, sehingga kaum perempuan tidak hanya terkurung ke dalam rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah saja (motherhood) saja dan sekedar alat atau instrument untuk kesenangan, kebahagiaan, dan kesempurnaan orang lain (kaum lelaki).

Dalam pandangan kaum feminisme marxis dan sosialis, kaum perempuan dipandang sebagai makhluq lemah karena “dilemahkan” oleh struktur politik, sosial, dan ekonomi. Feminisme eksistensialis menentang anggapan bahwa perempuan memang ditakdirkan sebagai pekerjaan yang bersifat motherhood.

Perempuan harus kembali sebagai mata air kehidupan. Kembali memancarkan inner beauty yang dimiliki, bukan sekedar sex appeal saja. Inner beauty adalah pancaran kecantikan dari dalam yang mengundang sikap simpati dari orang-orang sekitarnya, lelaki maupun perempuan. Tetapi sex appeal adalah daya tarik bagi lawan jenisnya saja. Inner beauty harus menjadi prioritas perempuan untuk tampil dihadapan public, sehingga gerak perempuan di tengah kemajuan peradaban kontemporer bisa sejajar dan semartabat dengan lelaki. Saatnya perempuan mengucapkan selamat tinggal kebodohan dan keterbelakangan, serta selamat datang kemajuan dan kegemilangan.

*Aktivis Gerakan Perempuan, Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger