Menggagas Politik Berwajah Feminis

Judul       : Politik Berparas Perempuan
Editor     : Joni Lovenduski
Penerbit  : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan  : I, 2008
Tebal      : 340 halaman.

Diratifikasinya beberapa dokumen penting tentang perempuan merupakan tanda bahwa negara-negara di dunia menginginkan agar tata politik tak lagi menciptakan ruang diskriminasi terhadap perempuan. Paling tidak ada tiga dokumen standar internasional dalam menganjurkan persamaan antara perempuan dan laki-laki. Pertama, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), kedua, Platform Aksi Beijing PBB, dan yang terakhir Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325. Ketiga dokumen ini menjadi kekuatan untuk mendorong partisipasi perempuan di berbagai institusi sosial dan politik.
Wacana kuota adalah wacana yang tak bisa dilepaskan begitu saja ketika akan membicarakan tentang kaiatan politik dan perempuan. Dalam hal ini sudah ada kebijakan tentang partisipasi politik perempuan di parlemen. Untuk kasus Indonesia secara teori sudah dijamin dalam pelbagai peraturan. Namun pada praktiknya masih jauh dari harapan, apalagi jika mengetahui perwakilan perempuan dalam DPR hanya 9 % dari 51 % semua penduduk Indonesia.
Hal ini sangat ironis, karena persolan tersebut sudah diatur agar keterwakilan perempuan dalam dewan mencapai 30 %. Artinya secara kuantitatif keterwakilan perempuan dalam politik masih kurang. Bahkan di tingkat daerah perempuan hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Secara umum perempuan Indonesia sangat membutuhkan ruang yang lebih luas dalam mengakses hak politiknya, baik dalam ranah legislatif maupun eksekutif.
Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah mengapa partisipasi politik perempuan demikian rendah jika dibanding dengan laki-laki? Itulah pertanyaan yang akan dijawab dalam buku Politik Berparas Perempuan ini. Dengan referensi sekaligus data-data yang meyakinkan Joni Lovenduski, penulis buku ini berusaha menjawab persoalan seputar pertanyaan di atas. Secara umum alasannya terbagi dalam tiga hal.
Pertama, budaya patriarki yang belum sepenuhnya memberikan ruang secara luas kepada perempuan dalam bidang politik. Secara umum tradisi yang berkembang adalah yang memandang bahwa perempuan secara kodrati harus selalu dipimpin oleh laki-laki, bukan sebaliknya.
Kedua struktur yang tidak memberikan ruang akses pada perempuan. Bahkan struktur politik yang berkembang sekarang adalah struktur politik bias gender (laki-laki), sehingga secara salah menempatkan perempuan tak lebih sebagai kommplementer saja. Orang kebanyakan masih enggan memberikan kesempatan secara luas pada perempuan untuk berkarir di bidang politik.
Dan terakhir dan yang tidak disinggung penulis dalam buku ini adalah soal tafsir agama yang bias gender, sehingga banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan, kecuali keimanan yang membedakannya seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika menyerahkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!
Buku ini menurut penulisnya dimaksudkan menjadi suatu intervensi perdebatan-perdebatan mengenai politik perumpuan. Tujuannya adalah, pertama, menguji lagi argumen-argumen kesetaraan perwakilan politik antara perempuan dan laki-laki. Kedua, untuk melukiskan dan menjelaskan gerakan-gerakan dan pengaturan-pengaturan untuk meningkatkan perwakilan politik kaum perempuan di Inggris. Ketiga, untuk menempatkan perkembangan Inggris dalam konteks yang lebih luas, dengan meminta perhatian pada perkembangan serupa di negara-negara dan wilayah-wilayah lain di dunia ini. Tujuan keempat adalah menunjukkan fungsi yang tetap penting yang dimainkan lembaga-lembaga untuk menentukan hakikat perwakilan politik dan kemungkinan-kemungkinannya. Akhirnya, penulis meminta perhatian para ilmuwan politik akan pentingnya gender bagi studi politik. Saya harap campur tangan ini tidak hanya memberi inf ormasi dan memperluas diskusi mengenai metode-metode yang paling efektif untuk mencapai kesetaraan perwakilan perempuan dan menyediakan sumber daya-sumber daya bagi para pendukungnya, tetapi juga menambah tekanan untuk memasukkan gender ke dalam jalur utama ilmu politik. (Hal 29)
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Joni, buku ini menggunakan pendekatan bersifat diskursif yang berisi eksplorasi mengenai bagaimana memikirkan feminisasi politik. Konteksnya adalah konteks di mana klaim-klaim oleh kaum perempuan atas kehadirannya dalam perwakilan lebih sering terjadi, tersebar lebih luas dan lebih efektif, di mana kebijakan-kebijakan diskriminasi yang positif berkembang dan di mana sekurang-sekurangnya sejumlah kecil negara telah menikmati perwakilan politik yang seimbang antara perempuan dan laki-laki.
Menurut Joni lagi, untuk memahami feminisasi politik diperlukan memahami lembaga-lembaga di mana proses-proses itu terjadi. Eksplorasi Joni dirinci dalam sejumlah pertanyaan yang sejajar dengan proses-proses representatif. Dalam Bab 2 misalnya Joni membicarakan arti feminisasi politik, bagaimana kaum perempuan terlibat dalam politik dan bagaimana kita dapat mengharapkan perempuan membuat perbedaan. Dalam Bab 3, Penulis mempertimbangkan rintangan-rintangan bagi peningkatan jumlah perempuan dalam politik, dengan memperhatikan terutama contoh kasus di lnggris.
Dalam Bab 4 Joni membuat garis besar mengenai strategi-strategi yang telah digunakan untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut. Bab berikut penulisnya coba memperluas diskusi tersebut ke suatu laporan mengenai pengambilan kuota di Inggris dan Perancis. Serta bagian terakhir Penulis membicarakan akibat-akibat dari feminisasi politik dan menyimpulkan dengan meninjau ulang pertanyaan mengenai apa yang akan terjadi ketika jumlah perempuan meningkat.
Akhirnya dengan segala kelibihan buku buku ini Karena terbitnya di Inggris secara otomatis mebuat contoh kasusnya pun di Inggris, sehingga ada jarak antara realita yang terjadi di Inggris dan Indonesia. Walaupun penulisnya sudah bersusah payah untuk mengkontekkan dengan beberapa negara, tapi tetap saja membuat buku ini kehilangan relevansinya ketika mau dikonetkkan di Indonesia.
Terlepas dari kekuranganya, buku ini tetap menjadi referensi utama untuk kajian perempuan dan politik ke depan. Dengan analisis yang tajam penulis bisa melacak gerakan feminis perempuan gelombang pertama sampai ketiga. Kekuatan buku ini juga terasa pada analisisi sejarahnya. Sepertinya penulis benar-benar menguasai apa yang ditulisnya. Namun begitu faktor terjemahan sepertinya menjadi kendala tersendiri bagi ringan-tidaknya sebuah buku. Selamat membaca…!

*Akhmad Kusairi adalah Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan peneliti Pada The Al-Falah Institute Yogyakarta.

Absurditas Kenyataan

Judul buku   : Seluas Segala Kenyataan
Penulis         : Adelbert Snijders
Penerbit      : Kanisius Yogyakarta
Cetakan      : 1, 2010
Tebal          : 334 halaman

Seringkali manusia alpa substansi di balik yang senyatanya. Manusia kerap terjebak dalam altar kenyataan, karena menggapai seluas segala kenyataan tak diperhitungkan dalam kalkulasi positivistic kemanusiaan modern. Kenyataan kerap kabur, dan manusia kerap kebingungan menghadapi kenyataan disekitarnya. Ironisnya lagi, manusia gampang “mendewakan” kenyataan yang “menentramkan” diri normatifnya. Dalam terlena dalam ruas luar sebuah kenyataan, manusia akhirnya banyak yang bimbang menghadapi kenyataan yang tertangkap dalam ruang kehidupannya. Tidak sedikit manusia modern yang bunuh diri karena gagal menangkap kenyataan yang hadir dalam sudut kehidupan yang sedang mereka jalani.

Karena kerap kalau dengan kenyataannya sendiri, sudah saatnya manusia belajar memahami dan menghayati kenyataan itu sendiri. Dengan membedah seluas kenyataan itulah manusia akan bisa menemukan hakekat kemanusiaannya, sehingga menjalani hidup tanpa kegalauan dan kehampaan. Disinilah menarik untuk menjelajah buku bertajuk “Seluas Segala Kenyataan” karya Adelbert Snijders. Penulis merupakan pakar kajian metafisika, sehingga jalan penelusuran dalam mengkaji kenyataan dalam buku ini merupakan kajian terhadap metafisika. Namun menjadi menarik, karena menyajikan analisis kenyataan dengan penuh makna dan mengandung siratan kajian yang filosofis, penuh renungan.

Penulis melihat kenyataan dalam persektif kebaikan. Kebaikan sebagai sifat transcendental dari kenyataan cara klasik. Dirumuskan: “tiap kenyataan adalah baik” (omne ens est bonum). Dasar kebaikannya adalah “karena” (quia) berada dan “sejauh” (quatenus) menurut derajat mengada. Sifat kebaikan melihat kenyataan dalam relasinya dengan kehendak atau (secara lebih umum) dalam realasinya dengan hasrat (apetitus). Kenyataan disebut baik karena kehendak terarah dan tertarik kepadanya. Kenyataan disebut baik karena dapat menyempurnakan. Kenyataan bergerak menuju kepenuhan yang sesuai dengan tingkat mengadanya.

Dalam hal ini, antara Plato dan Aristoteles ada pertentangan. Menurut Plato, pengetahuan tentang ide kebaikan diakui sebagai pengetahuan tertinggi (yang ia umpamakan sebagai matahari) yang memungkinkan kenyataan inderawi menjadi kelihatan dan memungkinkan kenyataan ruhaniah dapat dikenal. Namun ide kebaikan menurut Plato terletak diseberang segala yang berada. Lain halnya dengan tradisi Aristoteles dan Skolastik. Menurut kedua tradisi itu, kebaikan tidak berada diseberang segala yang ada, tetapi bersifat instrinsik untuk kenyataan mengada. Kenyataan dan kebaikan itu secara ontis merupakan identitas. Seperti halnya kenyataan dalam relasinya dengan budi disebut benar (knowable). Demikianlah pula kenyataan disebut baik dalam relasinya dengan relasinya dalam kehendak yang tertarik kepadanya (desirable). Kebenaran yang sudah diperoleh menjadi actuated knowledge dan kebaikan yang telah didapatkan menjadi actuated goodness. (hal 271-272).

Selain dengan kebaikan, penulis juga menyuguhkan analisis bahwa kenyataan juga sebuah keindahan. Dengan keindahanlah kita akan menemukan kenyataan. Penulis menjelaskan bahwa untuk menikmati keindahan alam atau keindahan seni, kondisi dari subjek menjadi penting. Kepekaan untuk menikmati keindahan alam pasti berbeda jika seseorang merasa sedih, gembira, tenang, sibuk, atau putus semangat. Keindahan saat matahari terbenam dengan berbagai macam warna dihayati secara berbeda oleh orang yang sedang merindukan orang tuanya atau mendambakan kehadiran kekasihnya. Kepekaan religius dapat membuat penghayatan estetis menjadi penghayatan religius. Dalam penghayatan estetis dasar onjektivitasnya tidak dipersoalkan. Refleksi atas dasar objektif dari penghayatan estetis tidak berasal penghayatan estetis, tetapi menjadi refleksi bagi ilmu atau filsafat. (hal. 322).

Penyelaman atas sebuah kenyataan sebagai kebaikan dan keindahan bisa menerobos dinding kenyataan itu sendiri. Karena manusia tidak terjebak dalam formalisme sebuah kenyataan, tetapi mencoba menghayati basis ontologism dari segala sesuatu yang disebut dengan kenyataan. Mendalami basis ontologis ini akan mengantarkn manusia pada sebuah pemaknaan yang substansial, tidak terjebak dalam pemaknaan dangkal yang kerap membuat silau. Dengan menjelajajah basis ontologisnya, manusia bisa mampu memahami disekitarnya dengan segala yang dimilikinya.

Pemahaman seni dalam kehidupan menjadi kekuatan tersendiri yang dijelaskan penulis dalam buku ini, karena apreasiasi kesenian bisa membuka jalan baru pemaknaan yang tidak dogmatis atas formalisme kenyataan. Karena dengan seni, manusia mudah tersentuh basis emosionalnya, sehingga manusia akan mampu membuka tabir factual dari yang terjalin dalam dirinya. Kenyataan justru akan dinikmati dengan seksama, karena manusia bisa menggunakan jiwa estetisnya dalam menggapai pemaknaan substansial atas yng melingkupi dirinya. Manusia menjadi tidak galau dan gamang atas fakta, karena manusia tidak terjebak dalam ruang hampa formalisme. Manusia bisa menikmati dengan segenap rasa yang menyelinap dalam jiwanya, sehingga tumbuh kekuatan keindahan yang bisa menyingkap segala kenyataan lainnya.

Demikian yang diurai penulis untuk menjelaskan ihwal metafisika dalam kajian yang lebih estetis. Memahami metafisika dengan nuansa keindahan lebih memberikan daya makna yang membekas pada diri manusia, karena manusia bisa memanfaatkan jaringan emosionalnya untuk meraih segala kenyataan yang dihadapinya. Tanpa meragukan segala yang lainhya, seluas segala kenyataan yang diketengahkan penulis menjadi sebuah inspirasi menatap masa depan kenyataan yang penuh simbolisme dan fatamorgana. Jangan sampai manusia kehilangan jiwa estetisnya mendalami segala kenyataan.

Berjalan dalam seluas segala kenyataan memang asyik, membuat kita berselancar dalam aliran sungai yang indah untuk menatap masa depan.

*Penikmat buku.

Menghentikan Kekerasan dalam Pacaran

Judul       : Teen Dating Violence
Editor      : Sony Set
Penerbit   : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan  : I, 2009
Tebal       : 149 halaman.

Setiap remaja pasti mengenal kata pacaran (dating). Kata ini begitu populer karena memang hampir setiap remaja mengalaminya. Mereka menyebutnya sebagai masa bercinta, pacaran, hubungan romantis, dan seabreg kata lainnya yang menggambarkan sebuah pola ketertarikan antartubuh yang melibatkan segenap emosi jiwa dan raga.
Sebagai pasangan yang belum menikah para remaja menganggap hubungan cinta sebagai hal yang serius yang biasanya dibumbui dengan rasa sayang, sedih, duka, haru, nyaman, serta segala perasaan lain laiknya sepasang kekasih. Ada perasaan saling melindungi, menjaga, atau rasa takut untuk berpisah walau hanya sesaat.
Namun rasa cinta dan sayang itu bisa hancur ketika ada kondisi hubungan dominan yang tidak seimbang. Biasanya sebagian besar kaum remaja laki-laki melakukan dominasi terhadap pasangannya. Ketika dominasi terjadi cepat atau lambat akan muncul kondisi yang disebut dating violence, kekerasan dan pelanggaran etika fisik maupun psikis dalam hubungan cinta.
Pihak perempuan yang tidak menyadari akan menganggap bahwa ia hanyalah makhluk yang harus menuruti segala perintah sang kekasih. Kemudian, deraan dan siksaan yang lebih keras akan terjadi, baik secara fisik maupun mental. Ironsnya tidak ada satu pun early warning system yang bisa dijadikan panduan untuk mengetahui dan menghindari kekerasan dalam pacaran.
Masalah selanjutnya kemudian adalah tidak banyak remaja perempuan yang mengerti tanda-tanda dating violenve. Berikut ini macam-macam tanda dating violence. Pertama adalah intimidasi yaitu perlakuan menakut-nakuti dan menggertak pasangan dengan cara merusak benda, bertindak ceroboh saat mengendarai kendaraan, atau bergaya seolah seorang preman yang setiap waktu mengawasi gerak-gerik pacarnya. (Hal 45)
Kedua melanggar privasi yaitu menerobos area pribadi dan mengacak-acak segala rahasia diri pasangan. Perilaku ini ditandai dengan mengambil alih catatan pribadi, SMS pada handphone hingga men-sweeping isi tas. Si Pelaku menganggap bahwa orang lain tidak berhak mencampuri urusan cintanya. (hal 45)
Ketiga adalah tindakan ancaman yang lebih serius dan lebih menakutkan. Si pelaku sering memaksa korban untuk menuruti kemauannya dengan ancaman bunuh diri, memutuskan hubungan cinta, hingga mengancam menyebarkan foto-foto dan video pribadi yang dibuat bersama kekasihnya. (hal 45)
Keempat menggunakan hak istimewa laki-laki. Biasanya pelaku selalu menggambarkan dirinya sebagai jagoan, laki-laki yang perkasa. Ia selalu berusaha mengalahkan cara pikir perempuan dan tidak mau menerima argumen apa pun. Dalam tahap ini, laki-laki telah menguasai perempuan untuk melakukan apa pun kehendaknya. (hal 46)
Kelima membatasi kebebasan. Pelaku mengurung kebebasan kekasihnya dengan cara mengatur penampilan sesuai kehendaknya. Ia juga mengatur teman-teman yang harus dijauhi atau didekati, memaksakan pengaruh rokok dan minuman keras pada kekasihnya, serta membatasi pergaulannya. Pada saat itu, si pelaku bahkan bisa mengatur beragam rencana kekasihnya, termasuk rencana pendidikan, masa depan, dan pekerjaan. (Hal 46)
Keenam penghinaan yaitu tindakan mempermalukan nama baik sang kekasih di depan umum. Perilaku ini ditandai dengan cara mernperlakukan sang pacar dengan tidak manusiawi. (hal Hal 46)
Ketujuh pengasingan. Tindakan mengisolasi segala bentuk hubungan keluarga, pertemanan, sekolah, dan masyarakat dari kekasihnya sendiri. Jenis tindakan seperti ini, seolah-olah seperti memenjara sang kekasih dan memutuskannya dari komunikasi dunia luar.(hal 47)
Ketujuh gangguan. Bentuk gangguan yang dilakukan pelaku dalam berbagai macam aktivitas yang dilakukan kekasihnya. Bahkan, meskipun hubungan cinta telah berhenti, bentuk gangguan ini tetap berlangsung. Pelaku berusaha masuk ke dalam pergaulan sosial pi-hak perempuan, meskipun tidak diundang atau dilarang sekalipun.(hal 48)
Dari macam-macam kekerasan di atas kita bisa tahu bahwa Dating violence adalah masalah yang harus cepat diselesaikan secara serius. Kita tidak bisa menghentikannya sendirian, semua orang harus bersama-bersama menghentikannya. Tidak semua laki-laki memiliki perangai yang kasar dan kejam terhadap pasangannya. Masih banyak laki-laki yang bermata jernih dan tidak mengumbar rayuan, tetapi mencintai dan menghormati pasangannya.
Dating violence bisa datang setiap saat dalam kehidupan cinta kita. Jangan pernah salah memilih pasangan dan jangan pernah menunda untuk menghentikan segala pola kekerasan yang mungkin ditemui di sekitar lingkunganmu. Keluarga adalah pondasi pertama untuk menghentikan kegilaan ini, lalu teman-teman terdekat yang mendukung adalah tempat kita meminta tolong. Jangan percaya terhadap cinta yang menuntut pengorbanan dan digantikan dengan kekerasan. Rasa saling menghormati dan menyayangi adalah landasan utama.
Buku ini merupakan buku panduan yang berisi cara-cara menangani keadaan dating violence yang terjadi pada pasangan perempuan. Buku ini bisa dijadikan sebagai pertolongan pertama tindakan pencegahan atau pengobatan bila terjadi kasus dating violence, kekerasan di masa pacaran remaja yang me-nimpa jutaan remaja di Indonesia. Jutaan? Semoga kamu semua yang mencoba membaca buku ini tidak menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi pada perempuan (remaja putri khususnya) yang bisa kita ketahui setiap hari melalui koran, majalah, dan berita kriminal.
Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Begitu pula dengan masalah dating violence. Peran serta siapa saja termasuk guru, pengamat pendidikan, institusi sekolah, orang tua, keluarga, remaja, dan masyarakat untuk bersama-sama memikirkannya. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa telah melakukan perhatian yang terintegrasi bagi perkembangan masa depan anak mudanya. Mereka berupaya menghentikan akibat negatif dari dating violence. Mereka telah mendengar suara-suara anak muda yang mulai belajar untuk terbuka dan menyatakan segenap perasaannya.
Mari kita bersama melakukan hal yang serupa di Indonesia. Mari kita satukan tekad demi masa depan kita dan Indonesia yang lebih baik. Kami berjanji untuk menghentikan masalah kekerasan di kalangan remaja. Mari kita hentikan dating violence di negeri ini!

*Akhmad Kusairi adalah Mahasiswa Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Peneliti pada Jaringan Islam Kampus.


HAM Bertanya kepada Gereja?

Judul buku    : Gereja dan Penegakan HAM
Penulis          : George J. Aditjondro dkk.
Penerbit        : Kanisius Yogyakarta
Cetakan       : 1, 2008
Tebal            : 251 halaman

Gereja, sebagai persekutuan orang-orang yang percaya pada keilahian Yesus Kristus, seringkali dilihat sebagai sumber segala yang baik, yang sesuai dengan firman Tuhan. Ketika terjadi bencana alam, orang lari ke gereja. Penduduk yang tergusur proyek raksasa, lari ke gereja. Penduduk dari daerah konflik, lari ke gereja. Sebagai tempat yang mendapatkan "stempel ilahi", gereja menjadi tempat suci dalam membebaskan ragam kejahatan kemanusiaan. Gereja "dipercaya" untuk membuka jalan pencerahan bagi warganya.

Jalan pencerahan dan pembebasan yang dijalankan "rumah suci" (bait al-muqoddas), dalam babakan sejarah agama-agama, telah membuka embrio lahirnya pemikiran keagamaan dalam merespon tantangan global (global challengge). Respon atas fakta, dalam tradisi pemikiran keagamaan, merupakan bentuk tafsiran teks kitab suci. Ada ragam tafsir yang terus hadir; ada yang bersifat literer, ada juga yang kritis dan visioner.

Buku bertajuk "Gereja dan Penegakan HAM" mencoba mengurai secara kritis tafsir hak asasi manusia (HAM) dalam tradisi literer gereja. Baik gereja dan teks kitab suci yang membentuk ritus gereja menghadirkan sejumlah pergolakan makna dan tafsir yang kontroversial. Tafsir kontroversial, kadangkala, menghadirkan sejumlah perangkat kerja pemikiran baru yang bisa menjawab ragam soal hak asasi manusia (HAM) yang terpasung dalam berbagai tragedi kemanusiaan.

Gugatan dalam tafsir tersebut, terlihat sekali dikemukakan oleh George J. Aditjondro ketika melihat gereja ternyata menyimpan luka mendalam di tengah tragedi. Gereja yang dianggap suci, mistis, eksotik, dan penuh pahala, ternyata juga menyisakan kejahatan HAM yang memilukan. Gereja, bagi George, adalah organisasi bentukan manusia yang dihuni dan dijalankan manusia, maka gereja tak akan luput dari kesalahan kemanusiaan. Sangat manusiawi kalau gereja terjebak dalam kesalahan khas manusiawi sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus manipulasi bantuan jemaat Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) untuk para korban tsunami Aceh dan Nias (hal. 204).

George berusaha menjadikan berbagai kasus pelanggaran kemanusiaan dan pelanggaran HAM secara umum sebagai pelajaran berarti pihak geraja dalam menata kembali tata nilai teologis dan tata kelola kehidupan secara religius. Justru dari berbagai kasus itulah sebenarnya gereja akan mampu merumuskan strategi baru dan tafsir kritis baru dari pihak gereja dalam menjawab ragam soal kejahatan HAM yang terjadi dalam tragedi di berbagai belahan dunia.

Potret buram penegakan HAM dalam jerat kuasa "rumah tuhan" selalu menghiasi gerak langkah agama. Bukan hanya gereja, masjid juga demikian. Masjid Jerusalem, misalnya, bukannya menjadi tempat "pertemuan agung" masyarakat agama dalam menggelorakan spirit perdamaian dan penegakan HAM. Di Jerusalem justru menjadi tempat pertumpahan darah yang tragis. Di situlah justru umat beragama merayakan kehancuran dan kenistaan yang melibatkan jutaan figuran sebagai korban kebiadaban.

Di "rumah tuhan" itulah masyarakat agama melegalkan runtuhnya HAM dan hancurnya tata nilai kemanusiaan universal. Tragis! Tetapi itulah fakta sejarah berbicara. Bahkan sampai detik ini, perayaan demi perayaan ihwal penumpahan darah terus mengalir. Arogansi nafsu kuasa terua hadir dalam jantung kehidupan umat beragama. Tidak salah kalau malaikat pernah protes kepada Tuhan bahwa manusia adalah aktor penumpahan darah di muka bumi. Manusia adalah aktor utama kejahatan HAM yang akan terus datang silih berganti di berbagai belahan dunia.

Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tragedi pembakaran "rumah tuhan" menjadi ritual yang terus menumpahkan darah saudara sendiri. Bahkan menyulut konflik berdarah antar agama dan etnis yang menyeruak di berbagai pojok Nusantara. Kasus Maluku, Situbondo, Jakarta, Papua, Sukabumi, dan lainnya adalah saksi hidup bahwa pembakaran "rumah tuhan" telah melecutkan konflik berkepanjangan yang tak kunjung usai.

Gereja sendiri, dalam pandangan Olaf Schumann, pada awalnya tidak begitu concern ihwal penegakan HAM. Bagai Olaf, pemikiran tentang HAM dikembangkan dalam ruang pemikiran filsafat, dan dengan demikian, gereja a priori lepas dan bebas dari pengaruh langsung yang bermakna dari teologi Kristiani. Baru setelah Perang Dunia II (1939-1945) teologi Kristiani umumnya dan gereja-gereja menaruh perhatian serius pada masalah HAM. Lihat saja pada datum yang menetapkan sikap yang baru dari gereja Katolik, yakni Konsili Vatikan II (1963-1965). Terbentanglah kemudian wacana penegakan HAM dalam teologi Kristen yang dikembangkan dalam gereja (hal. 32).

Lebih tegas dikemukakan oleh Emanuel Gerrit Singgih yang melihat sumber HAM bukan berasal dari paham sekuler. Wawasan HAM dalam gereja, lanjut Singgih, telah tertancap dalam dasar-dasar teologi Kristen yang diajarkan oleh Yesus. Teologi Kristus dan jejak langkah Yesus yang terus mengumandangkan kasih sayang dan menolak secara tegas berbagai tregedi kemanusiaan adalah bukti konkrit bahwa gereja mempunyai akar teologis yang kuat dalam menegakkan HAM. Kalau sebagian kalangan justru mengalamatkan gereja sebagai salah satu aktor penumpasan HAM, maka bukanlah ajaran gereja yang salah. Tetapi itu adalah oknum yang tidak tuntas belajarnya dalam ajaran gereja, atau memanfaatkan "rumah tuhan" untuk mengobarkan tragedi kemanusiaan.

"Rumah tuhan" dalam agama apapun, termasuk gereja, selalu mengumandangkan gelora perdamaian dan penegakan HAM. Ragam tragedi kemanusiaan yang terjadi dewasa ini harus menjadi tanggungjawab para wakil tuhan dan penjaga amanah ilahi dalam meredam dan mengupayakan langkah terbaik dalam menegakkan kembali HAM. Potret buram penegakan HAM yang telah terjadi, sebagaimana dikatakan George, harus menjadi pelajaran berharga menata tata kehidupan yang religius dan manusiawi.

*Aktifis LPM ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pendidikan Global, Sebuah Terobosan?

Judul buku  : Towards Global Education? (Menuju Pendidikan Global?)
Penulis        : Judith Schlehe, dkk.
Pengantar   : G. R. Lono Lastoro Simatupang
Penerbit      : Kanisius Yogyakarta
Cetakan     : 1, 2009
Tebal         : 461 halaman



Globalisasi pendidikan telah melahirkan era baru yang belum banyak tersentuh dalam spectrum pendidikan kita. Karena globalisasi meniscayakan terobosan-terobosan baru yang memungkinkan segala hal terjadi tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Terobosan-terobosan itulah yang berpengaruh besar terhadap tingkat kemajuan sebuah universitas. Semakin cepat dalam menggerakan terobosan, semakin maju dalam meningkatkan kualitas universitas. Semakin aktif mencari peluang atau tantangan, semakin inovatif sebuah universitas dalam menyusun strategi menjemput masa depan.

Dititik-titik inilah sebuah universitas harus segera memberangkatkan kebudayaan dan peradaban sehingga tercipta karakter intelektual yang tepat menjawab problema pendidikan. Dalam kontek ini perlu upaya studi perbandingan sebagai upaya kreatif universitas dalam menyelenggarakan pendidikan tingginya. Studi perbandingan pastilah menghadirkan sebuah fakkta akan kemajuan produktifitas keilmuan, kematangan intelektual juga kelemahan dan kelemahan dan kemerosotan sebuah universitas. Studi perbandingan dengan demikian akan saling membuka ruang belajar bersama antar universitas untuk meningkatkan produktifitas kemajuan dan menambah beragam kekurangan pada sebuah universitas.

Di zaman sekarang ini di mana teknologi berkembang semakin pasat dan sistemnya yang semakin canggih dapat memudahkan manusia mendapatkan informasi dari mana saja, bahkan dari manca Negara. Dengan berkembangnya internet juga menjadikan informasi lebih mudah dan cepat didapat. Dari sini, kemungkinan untuk melakukan study perbandingan antara dua Negara sangat besar.

Dalam perbandingan inilah yang memotivasi mahasiswa-mahasiswa untuk mengadakan penelitian. Judul buku "Towards Global Education, Menuju Pendidikan Global" ini mengandung penelitian-penelitian yang dilakukan hasil kerjasama antara mahasiswa Institute of cultural and social anthropology, Albert-Ludwigs University, Freiburg, Jerman dengan mahasiswa jurusan Antropologi, fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada. Dalam buku ini juga memuat snapshots tentang sejumlah topic seputar budaya akademik (academic culture).

Mereka berkolaborasi melakukan penelitian tentang beberapa topic yang berkaitan dengan budaya akademik; hubungan antara dosen dengan mahasiswa, pengetahuan dan aspirasi mahasiswa tentang organisasi universitas, kegiatan mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus dan lain sebagainya.

Mahasiswa Indonesia dan Jerman yang bekerja sama untuk meneliti mengenai budaya akademik dengan berbagai sub-topik . Tidak semua hal dalam dunia akademik dapat dianggap lebih maju di Jerman sebaliknya di Indonesia.

Seringkali kita mengenal Jerman sebagai Negara pencipta VW dan Mercedes Benz yang terkenal. Jerman juga merupakan Negara di mana Habibie, seorang mantan presiden Indonesia sekaligus intelektual handal pencipta pesawat N250 pernah menempuh studinya. Kemudian Jerman yang terkenal karena para pemikir-pemikir ternama seperti Karl Marx, Weber, Edmund Husserl, Martin Heiddeger dll, yang Melahirkn ide-idenya cemerlangnya. Dan yang paling pokok Jerman merupakan salah satu Negara yang masyhur dengan pendidikannya yang berkualitas tinggi dengan lingkungan riset dan akademik yang bertaraf internasional.

Ternyata Jerman juga Negara yang memiliki kedisiplinan tinggi dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari, khususnya dalam pendidikan. Kalau kehidupan sehari-hari mahasiswa di Indonesia (konteks di sini pada UGM) memiliki aspek friendship (pertemanan) yang ternyata penting sekali sebagai praktik social yang tidak dapat dilepas dari praktek belajar. Sedangkan Jerman memiliki cara belajar dan pemanfaatan waktu jauh lebih terfokus pada membaca buku dan belajar secara mandiri (Astri Ayu Wulandari).

Dalam buku ini juga mengungkapkan praktek belajar dan mengajar masing-masing Universitas dan membandingkannya. Di dalamnya juga menggambarkan secara detail tentang budaya akademik antara Albert-Ludwigs University dengan Universitas Gadjah mada, kemudian mengungkapkan persepsi mahasiswa terhadap budaya akademik tersebut.

Salah satu hasil penelitian dari Yvonne Siemann dari Jerman menggambarkan bahwa dosen UGM yang alumni dari luar negeri membawa pengaruh globalisasi pada metode pengajarannya. Ini menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan global juga di dapat dari universitas luar negeri.

Dari berbandingan-perbandingan antara universitas tersebut ternyata ada satu hal yang tidak dapat dibandingkan secara langsung, karena di Jerman tidak memiliki Universitas Islam. Sedangkan di Inonesia (dilihat di Yogyakarta) banyak sekali universitas-universitas islam. Seperti Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dll.

Di sini yang menarik malah antara universitas-universitas islam tersebut memiliki perbedaan sendiri. baik dari kehidupan sehari-hari mereka, bahkan cara berbusananya. Bagi peneliti dari Jerman, hal ini menimbulkan perbandingan antara universitas islam itu sendiri.

Buku yang berisi laporan-laporan penelitian ini memiliki nilai yang kuat dalam menggambarkan apa yang ada dalam lapangan. Dengan bahasa yang ringan dan mudah difahami buku ini membuat pembaca dapat merasakan sendiri kehidupan mahasiswa di Jerman. Dalam buku ini hasil laporan penelitian mahasiswa Indonesia yang meneliti di Jerman menulis laporannya dengan memakai bahasa Indonesia, sedangkan hasil laporan penelitian mahasiswa Jerman menggunakan bahasa Inggris.

Dari laporan-laporan penelitian tersebut kita bisa belajar bahwa nilai-nilai pendidikan dan praktek social di masing-masing lingkungan universitas berbeda dan mempengaruhi produksi pengetahuan dengan ciri khas yang dinamis. Oleh karena itu budaya akademik perlu didiferensiasi, dievaluasi, dan didefinisikan-ulang secara terus menerus.



*Pengamat Pendidikan Pada Fak. Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta


Membaca Cermin Buruk Negara

Judul buku    : Negara di Persimpangan Jalan Kampusku
Penulis          : Hani Raihana
Penerbit        : Kanisius Yogyakarta
Cetakan        : 1, 2008
Tebal            : 158 halaman

Wajah Indonesia di tengah transisi reformasi masih menyisakan problem yang belum tuntas. Tragedi demi tragedi terus hadir membungkam esensi kemanusiaan dan persaudaraan. Proses marginalisasi kaum pinggiran terus berjalan secara kolosal, jerat pemiskinan struktural semakin ganas menerkam kaum terlantar, dan praktek dehumanisasi secara universal terjadi di semua sektor kehidupan. Melihat wajah Indonesia, dari sisi semua, yang hadir adalah kebopengan, kemunafikan, ketertindasan, dan kehilangan identitas kebangsaan. Wajah Indonesia adalah wajah suram yang dipenuhi gejolak darah, gejolak intrik, gejolak korupsi, dan gejolak diskriminasi sosial lainnya.

Gejolak demi gejolak itu telah melupakan esensi dasar kemanusiaan dalam ruang hidup kewargaan (citizenship). Esensi dasar citizenship adalah co-existence, bahwa ananging siro mergo ono niro, bahwa keberadaan "saya" sebagai "aku" karena keberadaan yang lain (liyan). Buku ini hadir untuk memotret runtuhnya tragedi runtuhnya nilai kemanusiaan yang sedang menerpa bangsa Indonesia di berbagai jalan raya. Penulis berusaha membaca wajah Indonesia dari perilaku warga dalam tata kehidupan di jalan raya pada masyarakat kota. Perbuatan ugal-ugalan terus mewarnai jalan raya, sehingga kemacetan, kerusuhan, bahkan sampai targedi kematian sering mewarnai kelalian manusia dalam beretika di jalan raya.

Penulis buku ini menyuguhkan racikan fakta sosial masyarakat pengguna jalan raya. Disana ada peminta-minta yang hidupnya digantungkan di jalan. Ada penjual Koran yang menjajakkan korannya untuk menyambung hidup. Ada pengguna sepeda ontel yang geram dengan mobil yang terus merangsek. Ada pengguna sepeda motor yang arogan, asal serobot, dan rentan membuat kecelakaan. Ada mobil mewah yang dihuni kaum kaya, berdasi, yang lupa kepada saudara yang meminta-minta. Ada para truk bus dan truk barang yang mengemudi asal-asalan, berlomba mengejar setoran. Merekalah wajah pengguna jalan yang diracik dalam sebuah light research yang memotret pertarungan kekuasaan yang melibatkan manusia, alat transportasi, ruang, hingga menjadi refleksi atas peran Negara dan identitas karakter bangsa.

Pertautan itulah yang dijadikan penulis untuk melakukan analisis fakta sosial masyarakat di jalan raya. Dalam analisisnya, penulis melihat Negara di persimpangan jalan yang menyesakkan. Karakter anak bangsa banyak dihuni manusia arogan yang main serobot sendiri, tanpa menyisakan ruang toleransi bagi saudaranya. Bagi penulis ini sangat naïf, karena jalan raya merupakan salah satu simpul idealisme mencipta masyarakat menjadi berperadaan. Banyaknya ragam masyarakat yang menjejakkan kaki di kota, melahirkan perbedaan sikap, perilaku, dan pandangan hidup. Jalan raya menjadi pertemuan semua karakter tersebut, dan manusia diatur dengan aturan lalu lintas. Mereka yang berperadaban (civilized) pasti memanfaatkan jalan raya sebagai bentuk strategi menyusun peradaban tingkat tinggi.

Potret wajah bopeng Negara dalam lintasan jalan merupakan kritik pedas penulis buku ini. Kritik ini menjadi bagian penting dalam upaya penciptaan peradaban baru yang toleran dan humanis. Rendahnya peradaban masyarakat kota akan sangat berpengaruh terhadap kualitas bangsa Indonesia. Kualitas semakin terpuruk, maka Indonesia tinggal menunggu saja untuk masuk jurang kehancuran yang menyakitkan. Indonesia tinggal menikmati fase kehancurannya di tengah transisi reformasi yang hanya menyisakan arogansi kaum elite dan bobroknya birokrasi pemerintahan. Kita kehilangan identitas diri dalam menentukan masa depan Indonesia, sehingga seluruh program kerja kenegaraan hanya seremonial yang tak menyentuh ruang pemberdayaan masyarakat (society empowering ).

Dalam konteks ini, penulis ingin mengajak seluruh insan Indonesia untuk kembali menggali hakekat jati diri Indonesia yang terus terkoyak. Pertama, pembangunan karakter seharusnya dijalankan secara dini lewat keluarga. Keluarga menjadi menjadi media paling strategis dalam membentuk karakter anak manusia. Kedua, pendekatan edukasi melalui komunitas. Komunitas dalam masyarakat kota sangat mungkin melakukan pembinaan dalam pembelajaran menggapai peradaban tinggi (high civilization). Dan ketiga adalah melalui institusi pendidikan formal. Lembaga pendidikan harus memainkan perannya dalam memanusiakan manusia, sehingga anak didiknya mampu menjadi actor pejuang kemanusiaan.

Gerakan yang disimpulkan tersebut harus di back up secara serius seluruh komponen bangsa. Gagal dalam mengawalnya, maka pertaruhanannya identitas bangsa bisa tergadaikan kembali. Perjuangan menegakkan kemanusiaan dan keadilan harus menjadi slogan besar menggapai peradaban masa depan.



*Aktivis LPM ARENA UIN SUKA Yogyakarta

Sebuah Langkah menjadi Pembimbing Retret

Judul Buku     : Biji Sesawi  Memindahkan Gunung
Penulis            : Drs. Antonius Purbiatmadi, M.A. dan Marcus Supriyanto, S.Si.
Penerbit          : Kanisius
Cetakan          : I, 2010
Tebal               : 272 halaman


            Seringkali orang terbelenggu dengan paradigma yang mengatakan bahwa pembimbing retret itu harus berasal dari kalangan biara, baik pastor, bruder, frater maupun suster. Anggapan tersebut justru membuat banyak umat kesulitan untuk mendapatkan tim pembimbing retret. Maka dari itu, paradigma yang ada perlu diperbaharui: pembimbing retret tidak harus dari kalangan biara.
            Hadirnya buku ini merupakan salah satu jawaban atas keprihatinan yang ada. Buku ini memberikan sebuah jalan keluar untuk menghadapi kendala yang ada. Dan dengan buku ini, kaum awam diajak untuk menjadi pemandu retret.
            Secara khusus, buku ini berisi sebuah latihan dan panduan bagi seorang pembimbing retret. Panduan yang diberikan merupakan hasil dari pengalaman para penulis selama menjadi pendamping retret. Secara khusus, buku ini menghadirkan sebuah latihan praktis untuk mendampingi pelajar dan kaum muda dalam mengembangkan talenta secara terarah.
            Sebagai sebuah buku panduan retret, para penulis menyajikan secara lengkap hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan retret. Ada dua bagian yang disajikan dalam buku panduan ini. Bagian pertama berisi sebuah contoh tentang hal-hal yang sifatnya teknis dan praktis dalam retret: tatalaksana retret, tata tertib retret, dan jadwal acara retret.
            Sedangkan bagian kedua memberikan beberapa contoh panduan materi yang disusun secara berkesinambungan dalam mendampingi pelajar dan kaum muda mengembangkan talenta secara terarah. Isi dari materi yang ada begitu kompleks, yakni dari Kitab Suci yang dipadukan dengan berbagai bidang ilmu lain seperti psikologi terapan, ilmu kesehatan, moral dan situasi aktual remaja saat ini.
            Selain itu, disajikan pula beberapa contoh permainan dan lagu penyegar serta buku harian peserta retret. Maka dari itu buku ini sangat cocok dipakai oleh siapa saja yang berminat untuk menjadi pendamping retret atau pun mereka yang sudah lama terjun sebagai pendamping retret. Akhirnya, melalui buku ini diharapkan agar kesulitan mencari pendamping retret semakin dapat teratasi dengan mudah karena munculnya pendamping-pendamping retret yang baru.

St Sigit Pranoto SCJ
Skolastikat SCJ
Jl Kaliurang Km 7,5
Yogyakarta 

Sisi Gelap-Terang Permata Wanita

Judul   : HERStory, Sejarah Perjalanan Payudara
Pengarang  : Naning Pranoto
Terbit  : 10/4/2010
ISBN  : 978-979-21-2606-8
Harga  : Rp. 40.000,-
Halaman  : 260
Peresensi : Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Kompas.com Sabtu, 22 Mei 201


Perempuan adalah permata kehidupan. Dalam setiap lekuk tubuhnya, Tuhan menganugerahkan permata yang indah dan menawan. Tubuh perempuan menjadi cawan autobiografi kehidupannya. Nietzsche bahkan berani menyebut tubuh perempuan mempunyai kecerdasan besar. Ajaran Budha melihat tubuh sebagai pura bagi manusia. Tubuh harus terus dijaga agar bersih untuk berumah jiwa yang jernih. Mutiara yang melekat dalam tubuh perempuah harus terus terjaga dengan jernih sehingga menjadikan perempuan sebagai ibu kehidupan. Dari rahim perempuan, permata kehidupan menjadi tampak, kehidupan semakin cerah dan penuh cahaya.

Akan tetapi, perkembangan laju peradaban membuat tubuh perempuan menjadi objek eksploitasi teknologi modern. Apapun dalam diri perempuan menjadi permata yang “dijual-belikan” dalam transaksi peradaban yang penuh hasrat dan kepentingan. Germaine Greer melihat bahwa tubuh yang indah dan seksi, wajah jelita, kulit cemerlang, payudara montok adalah paket yang dikejar hampir setiap kaum perempuan agar kecantikannya menyamai para dewi yang hidup dalam dongeng. Mengapa harus menjadi dewi, jika tubuhnya hanya menjadi objek permainan kaum lelaki? Sementara itu, ada peran lain  yang lebih penting menanti. 

Di tengah kegalauan ihwal tubuh inilah, Naning Pranoto hadir lewat bukunya yang bertajuk “Her Story: Sejarah Perjalanan Payudara.” Penulis tidak mengulas semua yang menempel dalam diri perempuan, akan tetapi mengambil objek “payudara” sebagai simbol keperempuanan yang selama ini menjadi persoalan serius dalam perjalanan hidup perempuan. Penulis melihat bahwa dibalik payudara yang montok yang selalu dibanggakan kaum hawa ternyata menyimpan sejarah kelam yang kerap mendiskriminasikan perempuan dan meminggirkannya dalam percaturan peradaban. Bahkan telah menjadikan perempuan sebagai objek kenistaan dan korban kekerasan dalam berbagai epifeni terburuk dalam sejarah umat manusia.

Dalam analisisnya, penulis melihat bahwa payudara yang montok tidak sekedar dipandang sebagai sentral libido, tetapi juga dinilai sacral. Kemontokan payudara dimaknakan sebagai symbol kesuburan, kasih saying, dan sumber kehidupan. Pemaknaan ini sangat relevan dengan fungsi payudara sebagai sumber air susu yang menghidupi bayi-bayi atau calon manusia. Tanpa ada kesuburan, air susu tidak akan mengucur. Tanpa kasih saying, air susu tidak akan diberikan kepada bayi-bayi. Maka, para ibu yang tidak mau menyusui bayinya berarti payudaranya tidaklah mempunyai makna luhur, karena fungsinya hanya sebagai perangkap libido dan pemuas nafsu birahi belaka (hal.16).

Dalam pandangan Freud, payudara tak ubahnya penis bagi lelaki. Keduanya –payudara dan penis- bersifat libidos, yakni membangkitkan nafsu birahi secara instingtif. Keduanya menjadi sumber kenikmatan seksual yang bisa dinikmati secara oral. Tak salah kalau perempuan selalu berhias diri dengan menonjolkan payudaranya agar menjadi objek penglihatan kaum lelaki. Karena begitu kuatnya sifat libidos dalam diri payudara, kemajuan teknologi modern menjadikan payudara sebagai objek paling dieksploitasi dalam berbagai konsumsi modernitas yang ditampakkan dalam berbagai iklan, televisi, majalah, dan ihwal marketing pasar lainnya. Payudara perempuan benar-benar menjadi berkah sekaligus menjadi musibah yang targis!

Dalam konteks ini, perlu kiranya melihat jejak perempuan dalam siklus kebudayaan yang melingkupinya. Dalam kendala budaya patriarki, masa demi masa menjadi saksi berbagai kisah pilu yang menimpa perempuan. Misalnya, anak perempuan dianggap tidak berguna dan hanya pendosa sehingga menjadi aib keluarganya. Maka, anak-anak perempuan disia-siakan dan dipewrlakukan sewenang-wenang seperti binatang. Kaum perempuan juga dijadikan sebagai pampasan perang. Perempuan dijadikan budak berlian. Perempuan dijual pada penguasa untuk dijadikan gundik atau budak seks. Perempuan dijadikan sebagai tumbal ritual. Perempuan dinilai tidak layak sekolah karena otaknya tumpul. Perempuan hanya dianggap bisa beranak dan masih banyak lagi anggapan yang melecehkan perempuan (hal. 45).

Nasib tragis yang menimpa perempuan direkam dengan mengenaskan oleh novelis asal Mesir, Nawal El-Saadawi. Dia mengisahkan bahwa seorang gadis yang dianggap tidak memiliki keperawanan lagi bisa dikenai hukuman mati secara fisik, secara moral atau paling tidak diceraikan jika hal itu ketahuan. El-Saadawi memberi kesaksian mengenai kejamnya hukuman bagi perempuan yang selaput daranya tidak mengeluarkan darah pada malam pertama melakukan hubungan seks (hal. 33). Bukan hanya dalam kisah malam pertama, tetapi banyak kisah lain yang diungkap kaum feminis kontemporer ihwal tragisnya nasib perempuan di tengah kemajuan peradaban manusia dewasa ini.

Untuk itu, bagi penulis, stereotip yang bias ini harus diluruskan dan dilawan. Menggunakan analisis gerakan feminis, penulis menyuguhkan beragam argument untuk melepaskan perempuan dalam belenggu yang menyakitkan. Feminisme liberal memperjuangkan agar hak-hak perempuan setara dengan kaum lelaki dalam bidang politik, pendidikan, dan lapangan pekerjaan, sehingga kaum perempuan tidak hanya terkurung ke dalam rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah saja (motherhood) saja dan sekedar alat atau instrument untuk kesenangan, kebahagiaan, dan kesempurnaan orang lain (kaum lelaki).

Dalam pandangan kaum feminisme marxis dan sosialis, kaum perempuan dipandang sebagai makhluq lemah karena “dilemahkan” oleh struktur politik, sosial, dan ekonomi. Feminisme eksistensialis menentang anggapan bahwa perempuan memang ditakdirkan sebagai pekerjaan yang bersifat motherhood.

Perempuan harus kembali sebagai mata air kehidupan. Kembali memancarkan inner beauty yang dimiliki, bukan sekedar sex appeal saja. Inner beauty adalah pancaran kecantikan dari dalam yang mengundang sikap simpati dari orang-orang sekitarnya, lelaki maupun perempuan. Tetapi sex appeal adalah daya tarik bagi lawan jenisnya saja. Inner beauty harus menjadi prioritas perempuan untuk tampil dihadapan public, sehingga gerak perempuan di tengah kemajuan peradaban kontemporer bisa sejajar dan semartabat dengan lelaki. Saatnya perempuan mengucapkan selamat tinggal kebodohan dan keterbelakangan, serta selamat datang kemajuan dan kegemilangan.

*Aktivis Gerakan Perempuan, Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Memaknai Penderitaan

Judul Buku     : Question of Faith? Why do People Suffer? Mengapa Manusia     Menderita?
Penulis            : James Jones
Penerbit          : Kanisius
Cetakan          : I, 2010
Tebal               : 112 halaman

”Seringkali, kita mulai berdoa dengan sungguh-sungguh hanya ketika bencana melanda kita. Kita melupakan segala perdebatan yang mendukung atau melawan keberadaan Allah dan berteriak meminta supaya Allah menyelamatkan kita. Namun, jika penderitaan tetap berlanjut meski kita berdoa, kita meragukan keberadaan Allah atau mempertanyakan Allah macam apakah Dia sebenarnya? Hal itu membuat penderitaan kita lebih tak tertanggungkan lagi. Mengapa Allah tidak mengatakan sesuatu pun? Apakah Ia ada? Apakah Ia peduli?” (hal. 52)
            Paragraph di atas merupakan salah satu cuplikan dari salah satu pembahasan pertanyaan atas keberadaan Allah ketika manusia menderita. Memang, penderitaan seringkali membuat kita bertanya-tanya di manakah Allah, yang banyak digambarkan sebagai Bapa yang baik hati itu. Mengapa Allah yang penuh kasih itu membiarkan penderitaan terjadi? Apakah Allah menciptakan kejahatan? Atau, apakah Allah sengaja membiarkan ciptaanNya menderita?
            Berbagai pertanyaan di seputar penderitaan seakan tiada henti-hentinya terlontar dari dalam diri kita. Ironisnya, kita cenderung menyalahkan Allah sebagai penyebab utama penderitaan itu sehingga perlahan-lahan kita meninggalkan Allah.
            Dalam buku ini, James Jones secara runtut menguraikan fakta penderitaan itu dan mengajak pembaca untuk menemukan makna terdalam di balik derita. Ia menguraikannya secara sederhana dan mudah dipahami dalam delapan bagian. Masing-masing bagian selalu diawali dengan sebuah tesis singkat yang dapat membantu pembaca memahami gagasan setiap pembahasan.
            Selain itu, pembaca juga semakin terbantu dalam memahami isi setiap pembahasan melalui gambar-gambar ilustrasi yang humanis. Disajikan pula kutipan-kutipan dari banyak tokoh dan kitab suci sebagai pendukung yang disusun secara menarik sehingga pembaca bisa menemukan inspirasi bagi hidupnya.
            Buku ini cocok bagi siapa saja yang ingin memaknai penderitaan secara lebih mendalam. Berbagai pertanyaan kita seputar penderitaan yang seringkali membuat kita ragu akan keberadaan Allah, akan sedikit terjawab melalui buku ini. Dan akhirnya, buku ini sangat dianjurkan untuk mendampingi mereka yang sedang berada dalam keadaan krisis iman karena penderitaan yang dialaminya.
St Sigit Pranoto SCJ
Skolastikat SCJ
Jl Kaliurang Km 7,5
Yogyakarta 

Dimuat di Hidup 23 Mei 2010

"Skandal Korupsi" di Lingkungan Gereja

Judul   : GEREJA DAN PENEGAKAN HAM
Pengarang  : Ruddy Tindage, Rainy MP (penyunting)
Terbit  : 2/6/2008
ISBN  : 978-979-21-1932-9
Harga  : Rp. 30.000,-
Halaman  : 251
Peresensi : Ahmad Hasan MS*)




Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Virus maha dahsyat ini bisa menjangkit siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Oleh karenanya, Ia tidak mengenal latar belakang Suku, Agama, Ras Dan Aliran(SARA). Berbagai data dan fakta di lapangan membuktikan betapa korupsi meruntuhkan nilai-nilai hak asasi manusia(Human Right) secara universal. Tidak salah bila Kwik Kian Gie(2005) mengatakan korupsi adalah akar semua masalah. Itulah sebabnya, butuh sebuah cara pandang (platform) yang sama dari siapa saja dengan menempatkan korupsi sebagai masalah bersama (common enemi).

Buku “ Gereja dan Penegakan HAM” berusaha membahas secara komprehensif ihwal berbagai fakta pelanggaran yang terjadi di lingkungan gereja. Buku ini ditulis oleh beberapa penulis yang concern terhadap pentingnya penegakan HAM. Bagi George Junus Aditjondro(2008)-salah seorang aktifis yang kritis terhadap persoalan korupsi dan HAM- gereja sebagai komunitas orang-orang suci tidak sepenuhnya luput dari praktek korupsi. Pihak pengelola gereja justru kerap melakukan praktek korupsi dengan menyalahgunaan wewenang dan jabatan tertentu seperti manipulasi bantuan Jema’ah dan lain sebagainya.

Kasus manipulasi bantuan Jema’ah-Jema’ah Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) untuk para korban tsunami di Aceh dan Nias pada akhir 2005 adalah salah satu contohnya. Menurut Investigasi BPKP GKST pada 12 Desember 2005, hasil sumbangan 61 jema’ah GKST yang diperuntukkan untuk para korban Tsunami dan Nias telah terkumpul sebanyak Rp 27.538.450. Namun, pengelola gereja di bawah Majlis Sinode (MS) GKST di Tentena sebagai pihak yang diserahi jema’ah malahan tidak menggunakan amanah itu sebagaimana mestinya. Sejumlah 24,5 dari dana bantuan Jema’ah “dipinjam” oleh MS GKST, sedangkan sisanya berada di tangan Bagian Keuangan Badan Pekerja Sinode (BPS)GKST (BPKP GKST 2005).

Menurut Junus, kasus yang sama juga dilakukan MS GKST terhadap bantuan untuk korban bom di Pasar Tentena,yang berjumlah sebesar Rp 338 juta lebih. Dari jumlah bantuan itu, hanya Rp 162 juta lebih yang dimanfaatkan untuk kepentingan para korban, tapi Rp 25 juta lagi-lagi “dipinjam” oleh MS GKST. Bagi Junus, kebijakan seperti ini jelas tidak etis karena “merampas” hak para korban bom di Pasar Tentana.

Kasus manipulasi bantuan Jema’at yang cukup besar juga terjadi pada Yayasan Peduli Kasih Hurian Kristen Batak Protestan (YPK HKBP) pada tahun 2007 yang lalu. Berdasarkan analisis Junus, YPK HKBP telah menyalahgunakan dana bantuan Tsunami untuk ratusan anggota Jema’at HKBP di Meulaboh, Aceh Barat sebesar satu milyar lebih atau tepatnya Rp 1.058.228.513. Dana itu berasal dari bantuan dermawan-dermawan di luar negeri serta kolekte (persembahan) Jema’at-Jema’at HKBP se-indonesia yang total seluruhnya sebesar Rp 10.792.529.725 yang dihimpun oleh Yayasan Peduli Kasih HKBP sendiri. Fakta ini terkuak dalam laporan hasil audit dana bantuan kemanusiaan untuk bencana alam Tsunami No. 12/BA/VIII/HKBP/2007 yang ditandatangani oleh Ketua Badan Audit HKBP, Djawakin Sihotang, dan ditunjukkan kepada Majlis Pekerja Sinode (MPS) HKBP tertanggal 24 Agustus 2007( Batak Pos, 16,17,19 November 2007).

Fakta ini bagi Junus merupakan ironi organisasi gereja yang lupa dengan pesan Yesus untuk mengasihi sesama manusia. Para pengelola gereja terjebak dengan nafsu keserakahan pada uang dan kekuasaan. Pada hal, uang dan kekuasaan seharusnya digunakan untuk membantu sesama manusia tanpa memandang Suku, Agama, Ras dan Aliran. Tidak salah bila Lord Acton mengatakan , power corrupts, and absolute power corrupts absolutely. Bahwasanya semakin mutlak kekuasaan semakin besar pula kesempatan korupsi.

Maka dari itu, bagi Yunus sudah saatnya seluruh pengelolaan dana dan inventaris gereja dikelola secara transparan agar gereja terhindar dari penyakit korupsi yang sudah sedemikian mewabah di “Republik Mimpi” ini. Pendeta sebagai pimpinan gereja dan publik figur juga perlu melakukan transparansi kekayaan dalam rangka memberi contoh positif kepada Jema’ah agar senantiasa bertanggung jawab terhadap dan memiliki jiwa amanah.

JB Banawiratma, menambahkan bahwasanya gereja sudah seharusnya melakukan reffleksi kritis terhadap penegakan HAM. Masalah korupsi merupakan salah satu kejahatan hak asasi manusia yang harus diberantas siapapun. Korupsi mencederai manusia sebagai citra tuhan(Imago Dei). Citra tuhan senantiasa menebarkan cinta kasih sayang terhadap seluruh alam semesta( Seruan Rasul Paulus dalam Galatia 5:3).

Buku ini memberikan deskripsi dan analisis tentang fakta pelanggaran HAM, khususnya yang terjadi di gereja. Kelebihan buku ini terletak dari kemampuan meracik data dan fakta dari para penulis dalam melakukan analisis yang sedemikian tajam dan aktual. Meski demikian bukan berarti tanpa kelemahan. Buku ini terkesan njlimet dan sulit dipahami masyarakat awan karena banyak menggunakan bahasa ilmiah dan Yunani. Akan tetapi, kejlimetan buku ini tidak mengurangi kwalitas isi pembahasanya yang yang sarat dengan data dan fakta. Sebuah buku yang menghadirkan spirit ketuhanan berbasis kemanusiaan secara universal.

*) Peresensi Adalah Pustakawan dan Peneliti pada Central For Studies Of Religion and Culture (CSRC) Yogyakarta.
Kompas.com Kamis, 6 Mei 2010 | 01:46 WIB

Menelusuri Sepak Terjang Teror(isme)

Judul   : POLITIK PARA TERORIS
Pengarang  : Mutiara Andalas
Terbit  : 19-12-2009
ISBN  : 978-979-21-2475-0
Harga  : Rp. 25.000,-
Isi : 132 Halaman



Sepertinya bangsa ini tidak pernah dapat lepas dari aksi terorisme. Mulai dari peledakan bom di berbagai wilayah Indonesia hingga latihan militer, sebagaimana di Aceh baru-baru ini. Teroris akan terus menyebarkan pahamnya dengan berbagai jalan yang mereka yakini kebenarannya.

Romo P. Mutiara Andalas sembari mengutip John Horgan menyatakan, kita pertama-tama berjumpa dengan drama peristiwa teror bom. Drama peristiwa dapat sedemikian dahsyat sehingga kita berubah dari penonton menjadi pelibat aktif di dalamnya (personalization of even). Horgan mengingatkan kita agar jangan berhenti pada drama tragedi. Kita perlu beranjak dari drama tragedi ke uraian sistematis untuk memahami terorisme.

Horgan mengakui bahwa kata terorisme termasuk di antara konsep yang alot pendefinisiaan dan pendeskripsiannya. Kesulitannya bukan pertama-tama berkaitan dengan semantik. Kita kewalahan untuk mendefinisikan atau mendeskripsikan terorisme karena konsepnya secara inhern politis.

Horgan melihat kebutuhan untuk mencermati subyek politik yang mendefinisikan dan mendeskripsikannya. Ia memandang teror sebagai eksploitasi atau ancaman penggunaan kekerasan sebagai instrumen untuk mencoba meraih efek tertentu dalam konteks politik. Penyebaran teror melalui kekerasan menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif untuk perubahan atau gejolak politik. Pemboman, penembakan, atau serangan fisik membangkitkan dan kemudian menjaga tingkat ketakutan (hal 34-35).

Maka dari itu, perlu langkah-langkah prefentif agar bangsa ini tidak selalu menjadi sasaran dan sarang teroris. Dalam buku Politik Para Teroris ini dijelaskan setidaknya tiga tugas penting yang meminta keterlibatan komunitas kebangsaan dan keagamaan pasca teror bom. Komunitas-komunitas ini hendaknya mengungkapkan imannya akan keesaan Allah terutama melalui bela rasa dengan korban. Mereka memiliki panggilan bersama untuk melawan terorisme sebagai rezim anti-kemanusiaan kontemporer.

Media massa mengutip janji pemerintah untuk menanggung pengobatan para korban yang luka dalam tragedi bom. Namun penderitaan korban seringkali masih berlanjut setelah masa perawatan di rumah sakit. Trauma seringkali menyertai penderitaan fisik korban dan tergambar dalam bekas luka pada tubuh korban.

Kepeduliaan juga hendaknya terulur kepada mereka yang pernah mengalami masa tahanan karena dakwaan keterkaitan dengan jaringan teroris. Masyarakat seringkali mengucilkan mereka karena dakwaan berkomplot dengan jaringan teroris di masa lalu. Masyarakat seringkali rendah toleransinya menerima warga, yang pernah berurusan dengan aparat keamanan karena dakwaan terlibat dengan teroris, untuk hidup di tengah-tengah mereka. Atas nama membersihkan wilayah mereka dari sebutan sarang persembuniyan teroris, mereka mengusir warga yang rumahnya menjadi tempat singgah mereka yang didakwa aparat keamanan sebagai teroris.

Tugas selanjutnya adalah mendorong pembacaan dan penafsiran kritis terhadap teks-teks suci agama yang sepintas membenarkan teror kekerasan. Hermeneutika terhadap teks suci agama perlu untuk membongkar kedok jaringan teroris yang seringkali menyelubungi aksi-anti kemanusiaannya dengan baju teks Kitab Suci. Pernyataan pemuka agama bahwa pelaku membajak Kitab Suci perlu berlanjut dengan pembacaan dan penafsiran terhadap teks-teks yang rentan terhadap pembelokan makna.

Dalam beberapa aksi teror di Indonesia, pelaku menjadikan teks-teks suci agama untuk menyucikan aksi anti-kemanusiaannya. Teks-teks suci yang menyimpan problematika menjadi lahan bersarang aman bagi jaringan teroris. Pengkaji Kitab Suci hendaknya menafsirkan teks-teks tersebut dalam terang pandangan yang semakin positif terhadap komunitas beriman lain. Mereka hendaknya juga keluar dari paradigma pertarungan agama dan peradaban sebagaimana pernah dinubuatkan Samuel P. Huntington. Kita perlu memperhatikan konteks ketidakadilan global dalam membaca dan menafsirkan teks Kitab Suci.

Tugas ketiga adalah mengangkat terorisme anti-kemanusiaan sebagai bahan wacana kebangsaan dan dialog antar-agama. Kita mensyukuri kelahiran gerakan-gerakan cinta bangsa, seperti Indonesia Unite, pasca-tragedi teror bom. Di tengah kepanikan masyarakat pasca-tragedi, seperti aksi hening kemanusiaan pasca-tragedi Madrid, mereka berseru lantang, “Kami tidak takut!” kita mendorong gerakan-gerakan kebangsaan untuk melihat terorisme sebagai tantangan berketuhanan yang maha esa di Indonesia sekarang ini.

Kita juga mendorong mereka untuk berinteraksi langsung dengan korban atau keluarga korban. Spiritualitas mereka bersumber dari perjumpaan dengan korban dan keluarga korban yang melahirkan bela rasa. Komunitas-komunitas agama juga berhadapan dengan ilah kekerasan sebagai berhala kontemporer yang mengancam keesaan Allah. Komunitas-komunitas dialog antar-agama hendaknya sampai pada pemahaman berhala kekerasan dalam aksi teroris menyerang kemanusiaan bersama (hal 96-99).

Menurut Trias Kuncahyono dalam komentarnya, banyak orang sudah demikian akrab dengan kata “terorisme” dan “teroris”. Tetapi buku ini memberikan pemahaman baru tentang terorisme, teroris, dan mengapa orang mau menjadi teroris? Latar belakang penulis, yang menggeluti filsafat dan teologi, membuat buku ini sangat menarik dan berbeda dengan buku-buku lain tentang terorisme. Buku ini sangat layak dibaca oleh para ilmuwan, mahasiswa, wartawan, kaum agamawan, dan aparat keamanan yang ingin memperoleh pemahaman baru tentang terorisme.

Pada akhirnya, buku kecil ini merupakan bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin mengetahui secara lebih jelas sepak terjang teroris. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

 

Jurnal Nasional, Minggu 2 Mei 2010

Mendengar Suara Tapol 65

Judul   : PENYAM(B)UN(G) LIDAH RAKYAT
Pengarang  : Budi Susanto, S.J. (editor)
Kategori  : Humaniora
Terbit  : 11/9/2008
ISBN  : 978-979-21-1983-1
Harga  : Rp. 45.000,-
Ukuran  : 155x225
Halaman  : 220


Setiap peristiwa politik yang terjadi di suatu bangsa telah mendasari perubahan yang signifikan bagi tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Tidak hanya di negara-negara dunia pertama, melainkan juga di negara-negara baru berkembang. Salah satunya adalah peristiwa politik pada 1965-1966 di Indonesia.

Dari banyak buku pelajaran sejarah di sekolah baik pada tingkat Dasar, Menengah dan Atas menunjukkan bahwa dalang dari peristiwa  (Gestok) G-30-S/PKI ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Kerena itu, tidak heran jika ribuan orang tak bersalah dan tidak mengetahui menjadi korban dari peristiwa tersebut.

Tidak hanya para lapisan negara, seperti Jendral pahlawan revolusi, mantan presiden Soekarno, melainkan juga rakyat-rakyat jelata baik tua, muda, laki-laki dan perempuan yang hidup di pelosok-pelosok desa Indonesia. Peritiwa itu tentu sangat menyakitkan bagi keluarga korban dan keturunannya (seperti anak, famili dan cucunya) kerana bagaimana tidak, orang tak bersalah dan tidak atau apa-apa bisa diciduk, kemudian dimasukkan kedalam dipenjara selama 5 tahun.

Ada dua perempuan, yakni Sumarah dan Jamilah yang “diciduk” dari desa kelahirannya, kabupaten Magelang (Jawa Tengah). Sebagian besar tahanan lainnya adalah keluarga dekat, sanak-saudara, termasuk lurahnya. Hal ini terjadi karena mereka berdua (Sumarah, Jamilah) sama-sama aktifis organisasi politik, yaitu Pemuda Rakyat (PR). Dan kemudian “didakwa kudeta” dan ikut terlibat bersama pejabat desa terhadap G 30 S/PKI. Mungkin berangkat dari dakwaan semacam itulah, para pemuda dari berbagai unsur seperti Pemuda Marhaen, Muhammadiyah dan Pemuda Ansor menjemput dan memberlakukan kasar terhadap keduanya.

Ketiga elemen ini digerakkan oleh RPKAD dan kepolisian setempat. Ada dua bentuk instrument proses penjemputan terhadap orang-orang yang dianggap ikut terlibat pada G 30 S itu. Pertama, proses kedatangan, penggeledahan dan pengarakan menuju kantor desa Candi Mulyo.

Kemudian ke kantor kecamatan pada malam harinya dan dibawa kepolisisan Muntilan dan ditahan semalam dipenjara Muntilan. Kedua, proses pemenjaraan di Dinas Sosial Kota Magelang.Bukan hanya Sumarah dan Jamilah, satu minggu sebelumnya, tokoh laki-laki yang banyak tergabung dalam Pemuda Rakyat juga dipanggil oleh kantor kecamatan untuk menghadiri rapat melalui surat panggilan.

Kali pertama yang dipanggil adalah Slamet, Daryanto, Sadjono, Abdul (kakak Sumarah). Seminggu kemudian Lurah Pandan Retno, Mulyo Sadiro, dan menantunya yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh di kali Progo Secang. Magelang, Yuso Admajo (paman Sumarah). Tentu beberapa korban politik tersebut hanyalah sebagian kecil dari daftar korban peristiwa politik 65 “Dari Sabang Sampai Merauke” di bawah kekuasaan Orde Baru.

Kita bisa menyebut hampir semua korban politik saat itu mengalami nasib yang sama sebagaimana yang ditunjukkan para penulis muda dalam buku berjudul Penyam(b)ung Suara Rakyat ini. Para penulis buku ini adalah orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap masa lalu dan masa depan bangsa (bukan menemukan, merumuskan dan memaparkan apa keinginan, cerita dan cita-cita kehidupan orang-orang yang mereka wawancarai, tetapi berusaha mengungkap bagaimana beberapa rakyat sebangsanya itu membayang (bayangkan) sendiri beragam jenis hasrat kemanusiaan-sebagai seorang rakyat biasa) Indonesia.

Menurut Budi Susanto, editor buku setebal 220 halaman ini, suara atau kata-kata yang keluar dari “lidah”  rahyat  tersebut layaknya sebuah hasrat kebangsaan Indonesia. namun demikian, inti dari sebuah hasrat bukan sekedar mengangan-angankan tetang sesuatu hal, tetapi sesuatu kewaspadaan dari ketidak-mampuan manusia untuk memiliki seseorang atau barang yang sesungguhnya kita inginkan (halaman 11).

Dengan begitu, baginya, sebagian rakyat menjadi mampu memanfaatkan peluang-peluang kebudayaan (seni sastra, juranlisme, seni tari, pentas, organisasi atau berserikat) untuk menyuarakan dan mewujudkan kebebasan dalam menentukan nasib sendiri demi suatu masa depan bersama, dalam arus globalisasi masa kini.

Sebab, modernitas global mempercepat dan mendekatkan warga masyarakat menatap (ketika) terjadinya peperangan, datangnya manusia pengungsi dan terusir, pasar dan konsumsi gaya hidup global.Dengan pendekatan kajian poskolonial, kehadiran buku ini tampaknya menjadi “jalan tengah” atau “musyawarah” antara proses sejarah dan peran tulis-menulis, sastra kesenian.

Oleh karena itu, buku ini layak disambut dan dibaca oleh khayak. Sebab, kisah-kisah masa lalu bangsa yang pernah terjadi, baik di Yogyakarta, Magelang, Blora, Gorontalo dan Madura bukan sebuah hasil kebetulan, atau sebuah kemungkinan buta, tatapi juga kisah (dan cita-cita) aksi rasional kerakyatan menghadapi perhantuan (traumatis) yang bikin lidah keluh dan membisukan selama 32 tahun orde baru berkuasa.

Akhirnya, semoga sastra, tarian dan kesenian rakyat tentang masa lalu, dengan buku ini mampu berperan secara mendasar untuk sebuah reorientasi sejarah politik ekonomi Indonesia di masa depan. Harapan seperti itu pernah dianjurkan presiden Soekarno “Penyambung Lidah Rakyat”  yang mengatakan bahwa para pemimpin bangsa Indonesia harus berani tampil sejajar di depan dunia modern global.[]


Hurri Rf *) (30/01/2009 - 05:27 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja),
*) Mahasiswa Uhuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Menelusuri Sejarah Ide Ide

Judul   : SEJARAH IDE-IDE
Pengarang  : Kevin O'Donnell
Terbit  : 9/12/2009
ISBN  : 978-979-21-1770-7
Harga  : Rp. 75.000,-
Halaman  : 160

Sekitar 27 abad silam, di daratan Yunani, manusia mulai meraba-raba dengan nalarnya, mencoba untuk menjelaskan realitas terciptanya kosmos melalui pengetahuan. Secara geografis, Yunani terletak di pusat route perdagangan ke Timur dan Laut Mediteran. Ide-ide dan riwayat darinya melalang buana dalam bentuk transformasi masyarakat yang hampir kosmopolitan. Pada abad itu, manusia bangkit kembali dari kegelapan dengan satu nama yaitu Renaisans Intelektual.

Dulunya, orang Yunani kuno cenderung mengungkap idenya dalam bentuk mitologi. Salah satunya Hesiodos (Abad ke-8 SM). Dalam Theogony-nya ia bercerita tentang relasi para dewa dan kosmos. Menurutnya, dewa adalah representasi kekuatan fisik. Hesiodos menjelaskan bahwa dunia terbagi dalam empat zaman: emas, perak, perunggu, dan besi. Zaman emas adalah zaman sempurna di mana manusia adalah eksisten suci. Setelah itu, terjadi degradasi gradual pada zaman berikutnya. Epikurus (341-270 SM) balik kefilsafat karena kecewa pada penjelasan Hesiodos. Ia mengajukan pertanyaan “mengapa” yang membuat risau para gurunya (hal 22).

Peoses upaya menghasilkan pikiran rasional, Yunani adalah pintu gerbang pertama yang membuka jalan keluar berbagai lahirnya ide-ide besar. Ide sangat berkuasa, tapi ia sesuatu yang sangat “halus” dan abstrak. Fyodor D. dalam “Crime and Punishment”, meriwayatkan bahwa, warga Raskolnikov hanya berpikir membedakan diri mereka dengan hewan lain. Berpikir adalah satu bentuk pekerjaan, ide yang dimiliki manusia sebagai dasar naluriyah, telah banyak merubah cara hidup mereka.

Filsafat “cinta kebijaksanaan”, bertutur tentang berpikir jelas dan rasional. Muncul darinya tiga pertanyaan dasar yang mengusik pikiran manusia. Dari pertanyaan tersebut kemudian menciptakan ide-ide baru. Yaitu; terbuat dari apakah alam semesta? Apa makna kehidupan? Dan bagaimana kita harus hidup? (hal 7)
Salah seorang Filsof, Thales, beride bahwa Airlah yang sebagai sumber utama terciptanya kosmos, sebab air dapat mengambil berbagai macam bentuk. Ia bisa menjadi cairan, uap, dan es yang keras. Dalam idenya, Thales memandang sesuatu itu berasal dari air sebagai substansi dasar. Ia mangamati bahwa benda tertentu dapat mengapung di atas air, ia berspekulasi bahwa bumi terapung atas cara yang sama. Ia juga mengatakan bahwa magnet itu hidup dan menghasilkan gerak.

Anaximenes berbeda dengan Thales. Idenya yang masyhur, bahwa udara sebagai materi dasar terciptanya kosmos. Ia memahami bahwa udara sebagai napas kehidupan. Api merupakan bentuk paling “tipis” dan murni. Gunung adalah representasi bentuk udara yang terpadat. Anaximenes melihat bumi sebagai piring ceper yang mengambang di udara, dan bintang-bintang adalah cakram yang begitu terang, sehingga mereka bersinar seperti matahari. Menurutnya, halilintar adalah angin yang lolos dari awan yang tebal.

Berbeda juga dengan Anaximander. Ia mengembangkan ide bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh cincin atau roda api. Cincin itu sendiri dikelilingi oleh kabut yang di setiap ruangnya terdapat lubang. Lubang itu membiarkan api bercahaya keluar. Ia melihat titik-titik cahaya tersebut sebagai bintang-bintang dan matahari. Menurutnya dunia tidak bertengger di atas apapun. Ia berada di pusat universum yang melingkar dan bertumpu pada keseimbangan.

Penemuan ide-ide rasional tentang penciptaan kosmos, bertitik kisar pada kejenuhan manusia terhadap mitologi yang menyelimuti dunia Yunani selama berabad-abad. Kepercayaan terhadap dewa-dewa, dianggap tidak lagi relevan dengan rasionalitas. Mereka mencoba menarik diri dari kubangan mitologi, dan menciptakan suatu ide-ide baru dari pengamatan terhadap alam, sebagai jalan membebaskan diri dari mitologi yang mengajak manusia untuk beronamtisme dalam kegelapan.

Rumusan lain dari ide, Plato berbicara tentang sebuah gua dalam Republik. Ia membayangkan bahwa manusia dirantai dalam gua, wajah mereka diarahkan ke dinding di mana mereka melihat bayangan yang terpantul oleh sinar matahari di belakangnya. Mereka tidak mengetahui sesuatu yang lain dan berpikir bahwa bayangan itu adalah realitas. Pada suatu hari ada seorang yang lolos dan berbalik menghadapi cahaya matahari untuk pertama kalinya.

Menurut Plato, pada umumnya manusia hidup dalam bayangan. Mereka tidak melihat realitas yang mencerahkan. Manusia yang bijaksana menanggapi bahwa ada bentuk yang ideal di balik penampilan hidup yang berubah-ubah. Cahaya matahari yang terang adalah cahaya rasio yang dapat ditemukan oleh manusia dalam imortalitas jiwa (hal 37).

Buku ini memberikan panduan cukup jelas, dapat diakses darinya pokok bahasan penting tentang perjalanan panjang ide-ide manusia. Di dalamnya terdapat pikiran-pikiran kunci sepanjang sejarah peradaban, untuk memperoleh pemahaman yang mampu merubah dan melahirkan ide-ide dalam membedakan menusia dengan yang lainnya. Buku setebal 160 halaman ini, menelusuri secara akurat asal-usul ide mulai dari zaman purba sampai abad 21 ini, yang berkomposisi komparasi ihwal filsafat, agama, spiritualitas, dan etika.

Buku ini diracik secara sistematis dan ekslusif. Desain layout yang menarik dan foto-foto berwarna, diterapkan sesuai tema diseluruh lampiran buku. Pembahasan setiap tema habis diuraikan secara padat tiap dua halaman penuh. Teks-teks substantif dapat mudah dicerna, karena ditulis dalam bentuk-bentuk penggalan-penggalan yang siap kunyah. Buku berat ini menjadi ringan dibaca. Penulis sengaja membuat dengan lugas dan tuntas per bab serta bahasa yang mendukung. Tidak ketinggalan juga kutipan kata-kata bijak selalu manjadi hiasan setiap sudut halaman, sehingga memberi warna berbeda pada buku ini.  


Peresensi: F. Hasan  

Peresensi adalah pecinta buku, Tinggal di Yogyakarta

Membaca Krisis yang Tak Kunjung Pergi

Judul   : SATU DEKADE PASCA-KRISIS INDONESIA, Badai Pasti Berlalu?
Pengarang  : Sri Adiningsih dkk
Terbit  : 12/12/2007
ISBN  : 978-979-21-1781-3
Harga  : Rp. 36.000,-
Halaman  : 200

Tahun 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.

Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.

Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.

Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.

Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.

Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu.

Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.

Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.

Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.

Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.


Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.

Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.

Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.

Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.

Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.

Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.

Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.

Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.

Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.

Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya penerimaan.

Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.

Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.

Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.

Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.

Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.***

*) Peresensi adalah pengamat sosial, aktivis K.H. Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT).


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger