HAM Bertanya kepada Gereja?

Judul buku    : Gereja dan Penegakan HAM
Penulis          : George J. Aditjondro dkk.
Penerbit        : Kanisius Yogyakarta
Cetakan       : 1, 2008
Tebal            : 251 halaman

Gereja, sebagai persekutuan orang-orang yang percaya pada keilahian Yesus Kristus, seringkali dilihat sebagai sumber segala yang baik, yang sesuai dengan firman Tuhan. Ketika terjadi bencana alam, orang lari ke gereja. Penduduk yang tergusur proyek raksasa, lari ke gereja. Penduduk dari daerah konflik, lari ke gereja. Sebagai tempat yang mendapatkan "stempel ilahi", gereja menjadi tempat suci dalam membebaskan ragam kejahatan kemanusiaan. Gereja "dipercaya" untuk membuka jalan pencerahan bagi warganya.

Jalan pencerahan dan pembebasan yang dijalankan "rumah suci" (bait al-muqoddas), dalam babakan sejarah agama-agama, telah membuka embrio lahirnya pemikiran keagamaan dalam merespon tantangan global (global challengge). Respon atas fakta, dalam tradisi pemikiran keagamaan, merupakan bentuk tafsiran teks kitab suci. Ada ragam tafsir yang terus hadir; ada yang bersifat literer, ada juga yang kritis dan visioner.

Buku bertajuk "Gereja dan Penegakan HAM" mencoba mengurai secara kritis tafsir hak asasi manusia (HAM) dalam tradisi literer gereja. Baik gereja dan teks kitab suci yang membentuk ritus gereja menghadirkan sejumlah pergolakan makna dan tafsir yang kontroversial. Tafsir kontroversial, kadangkala, menghadirkan sejumlah perangkat kerja pemikiran baru yang bisa menjawab ragam soal hak asasi manusia (HAM) yang terpasung dalam berbagai tragedi kemanusiaan.

Gugatan dalam tafsir tersebut, terlihat sekali dikemukakan oleh George J. Aditjondro ketika melihat gereja ternyata menyimpan luka mendalam di tengah tragedi. Gereja yang dianggap suci, mistis, eksotik, dan penuh pahala, ternyata juga menyisakan kejahatan HAM yang memilukan. Gereja, bagi George, adalah organisasi bentukan manusia yang dihuni dan dijalankan manusia, maka gereja tak akan luput dari kesalahan kemanusiaan. Sangat manusiawi kalau gereja terjebak dalam kesalahan khas manusiawi sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus manipulasi bantuan jemaat Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) untuk para korban tsunami Aceh dan Nias (hal. 204).

George berusaha menjadikan berbagai kasus pelanggaran kemanusiaan dan pelanggaran HAM secara umum sebagai pelajaran berarti pihak geraja dalam menata kembali tata nilai teologis dan tata kelola kehidupan secara religius. Justru dari berbagai kasus itulah sebenarnya gereja akan mampu merumuskan strategi baru dan tafsir kritis baru dari pihak gereja dalam menjawab ragam soal kejahatan HAM yang terjadi dalam tragedi di berbagai belahan dunia.

Potret buram penegakan HAM dalam jerat kuasa "rumah tuhan" selalu menghiasi gerak langkah agama. Bukan hanya gereja, masjid juga demikian. Masjid Jerusalem, misalnya, bukannya menjadi tempat "pertemuan agung" masyarakat agama dalam menggelorakan spirit perdamaian dan penegakan HAM. Di Jerusalem justru menjadi tempat pertumpahan darah yang tragis. Di situlah justru umat beragama merayakan kehancuran dan kenistaan yang melibatkan jutaan figuran sebagai korban kebiadaban.

Di "rumah tuhan" itulah masyarakat agama melegalkan runtuhnya HAM dan hancurnya tata nilai kemanusiaan universal. Tragis! Tetapi itulah fakta sejarah berbicara. Bahkan sampai detik ini, perayaan demi perayaan ihwal penumpahan darah terus mengalir. Arogansi nafsu kuasa terua hadir dalam jantung kehidupan umat beragama. Tidak salah kalau malaikat pernah protes kepada Tuhan bahwa manusia adalah aktor penumpahan darah di muka bumi. Manusia adalah aktor utama kejahatan HAM yang akan terus datang silih berganti di berbagai belahan dunia.

Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tragedi pembakaran "rumah tuhan" menjadi ritual yang terus menumpahkan darah saudara sendiri. Bahkan menyulut konflik berdarah antar agama dan etnis yang menyeruak di berbagai pojok Nusantara. Kasus Maluku, Situbondo, Jakarta, Papua, Sukabumi, dan lainnya adalah saksi hidup bahwa pembakaran "rumah tuhan" telah melecutkan konflik berkepanjangan yang tak kunjung usai.

Gereja sendiri, dalam pandangan Olaf Schumann, pada awalnya tidak begitu concern ihwal penegakan HAM. Bagai Olaf, pemikiran tentang HAM dikembangkan dalam ruang pemikiran filsafat, dan dengan demikian, gereja a priori lepas dan bebas dari pengaruh langsung yang bermakna dari teologi Kristiani. Baru setelah Perang Dunia II (1939-1945) teologi Kristiani umumnya dan gereja-gereja menaruh perhatian serius pada masalah HAM. Lihat saja pada datum yang menetapkan sikap yang baru dari gereja Katolik, yakni Konsili Vatikan II (1963-1965). Terbentanglah kemudian wacana penegakan HAM dalam teologi Kristen yang dikembangkan dalam gereja (hal. 32).

Lebih tegas dikemukakan oleh Emanuel Gerrit Singgih yang melihat sumber HAM bukan berasal dari paham sekuler. Wawasan HAM dalam gereja, lanjut Singgih, telah tertancap dalam dasar-dasar teologi Kristen yang diajarkan oleh Yesus. Teologi Kristus dan jejak langkah Yesus yang terus mengumandangkan kasih sayang dan menolak secara tegas berbagai tregedi kemanusiaan adalah bukti konkrit bahwa gereja mempunyai akar teologis yang kuat dalam menegakkan HAM. Kalau sebagian kalangan justru mengalamatkan gereja sebagai salah satu aktor penumpasan HAM, maka bukanlah ajaran gereja yang salah. Tetapi itu adalah oknum yang tidak tuntas belajarnya dalam ajaran gereja, atau memanfaatkan "rumah tuhan" untuk mengobarkan tragedi kemanusiaan.

"Rumah tuhan" dalam agama apapun, termasuk gereja, selalu mengumandangkan gelora perdamaian dan penegakan HAM. Ragam tragedi kemanusiaan yang terjadi dewasa ini harus menjadi tanggungjawab para wakil tuhan dan penjaga amanah ilahi dalam meredam dan mengupayakan langkah terbaik dalam menegakkan kembali HAM. Potret buram penegakan HAM yang telah terjadi, sebagaimana dikatakan George, harus menjadi pelajaran berharga menata tata kehidupan yang religius dan manusiawi.

*Aktifis LPM ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger