Menelusuri Sejarah Ide Ide

Judul   : SEJARAH IDE-IDE
Pengarang  : Kevin O'Donnell
Terbit  : 9/12/2009
ISBN  : 978-979-21-1770-7
Harga  : Rp. 75.000,-
Halaman  : 160

Sekitar 27 abad silam, di daratan Yunani, manusia mulai meraba-raba dengan nalarnya, mencoba untuk menjelaskan realitas terciptanya kosmos melalui pengetahuan. Secara geografis, Yunani terletak di pusat route perdagangan ke Timur dan Laut Mediteran. Ide-ide dan riwayat darinya melalang buana dalam bentuk transformasi masyarakat yang hampir kosmopolitan. Pada abad itu, manusia bangkit kembali dari kegelapan dengan satu nama yaitu Renaisans Intelektual.

Dulunya, orang Yunani kuno cenderung mengungkap idenya dalam bentuk mitologi. Salah satunya Hesiodos (Abad ke-8 SM). Dalam Theogony-nya ia bercerita tentang relasi para dewa dan kosmos. Menurutnya, dewa adalah representasi kekuatan fisik. Hesiodos menjelaskan bahwa dunia terbagi dalam empat zaman: emas, perak, perunggu, dan besi. Zaman emas adalah zaman sempurna di mana manusia adalah eksisten suci. Setelah itu, terjadi degradasi gradual pada zaman berikutnya. Epikurus (341-270 SM) balik kefilsafat karena kecewa pada penjelasan Hesiodos. Ia mengajukan pertanyaan “mengapa” yang membuat risau para gurunya (hal 22).

Peoses upaya menghasilkan pikiran rasional, Yunani adalah pintu gerbang pertama yang membuka jalan keluar berbagai lahirnya ide-ide besar. Ide sangat berkuasa, tapi ia sesuatu yang sangat “halus” dan abstrak. Fyodor D. dalam “Crime and Punishment”, meriwayatkan bahwa, warga Raskolnikov hanya berpikir membedakan diri mereka dengan hewan lain. Berpikir adalah satu bentuk pekerjaan, ide yang dimiliki manusia sebagai dasar naluriyah, telah banyak merubah cara hidup mereka.

Filsafat “cinta kebijaksanaan”, bertutur tentang berpikir jelas dan rasional. Muncul darinya tiga pertanyaan dasar yang mengusik pikiran manusia. Dari pertanyaan tersebut kemudian menciptakan ide-ide baru. Yaitu; terbuat dari apakah alam semesta? Apa makna kehidupan? Dan bagaimana kita harus hidup? (hal 7)
Salah seorang Filsof, Thales, beride bahwa Airlah yang sebagai sumber utama terciptanya kosmos, sebab air dapat mengambil berbagai macam bentuk. Ia bisa menjadi cairan, uap, dan es yang keras. Dalam idenya, Thales memandang sesuatu itu berasal dari air sebagai substansi dasar. Ia mangamati bahwa benda tertentu dapat mengapung di atas air, ia berspekulasi bahwa bumi terapung atas cara yang sama. Ia juga mengatakan bahwa magnet itu hidup dan menghasilkan gerak.

Anaximenes berbeda dengan Thales. Idenya yang masyhur, bahwa udara sebagai materi dasar terciptanya kosmos. Ia memahami bahwa udara sebagai napas kehidupan. Api merupakan bentuk paling “tipis” dan murni. Gunung adalah representasi bentuk udara yang terpadat. Anaximenes melihat bumi sebagai piring ceper yang mengambang di udara, dan bintang-bintang adalah cakram yang begitu terang, sehingga mereka bersinar seperti matahari. Menurutnya, halilintar adalah angin yang lolos dari awan yang tebal.

Berbeda juga dengan Anaximander. Ia mengembangkan ide bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh cincin atau roda api. Cincin itu sendiri dikelilingi oleh kabut yang di setiap ruangnya terdapat lubang. Lubang itu membiarkan api bercahaya keluar. Ia melihat titik-titik cahaya tersebut sebagai bintang-bintang dan matahari. Menurutnya dunia tidak bertengger di atas apapun. Ia berada di pusat universum yang melingkar dan bertumpu pada keseimbangan.

Penemuan ide-ide rasional tentang penciptaan kosmos, bertitik kisar pada kejenuhan manusia terhadap mitologi yang menyelimuti dunia Yunani selama berabad-abad. Kepercayaan terhadap dewa-dewa, dianggap tidak lagi relevan dengan rasionalitas. Mereka mencoba menarik diri dari kubangan mitologi, dan menciptakan suatu ide-ide baru dari pengamatan terhadap alam, sebagai jalan membebaskan diri dari mitologi yang mengajak manusia untuk beronamtisme dalam kegelapan.

Rumusan lain dari ide, Plato berbicara tentang sebuah gua dalam Republik. Ia membayangkan bahwa manusia dirantai dalam gua, wajah mereka diarahkan ke dinding di mana mereka melihat bayangan yang terpantul oleh sinar matahari di belakangnya. Mereka tidak mengetahui sesuatu yang lain dan berpikir bahwa bayangan itu adalah realitas. Pada suatu hari ada seorang yang lolos dan berbalik menghadapi cahaya matahari untuk pertama kalinya.

Menurut Plato, pada umumnya manusia hidup dalam bayangan. Mereka tidak melihat realitas yang mencerahkan. Manusia yang bijaksana menanggapi bahwa ada bentuk yang ideal di balik penampilan hidup yang berubah-ubah. Cahaya matahari yang terang adalah cahaya rasio yang dapat ditemukan oleh manusia dalam imortalitas jiwa (hal 37).

Buku ini memberikan panduan cukup jelas, dapat diakses darinya pokok bahasan penting tentang perjalanan panjang ide-ide manusia. Di dalamnya terdapat pikiran-pikiran kunci sepanjang sejarah peradaban, untuk memperoleh pemahaman yang mampu merubah dan melahirkan ide-ide dalam membedakan menusia dengan yang lainnya. Buku setebal 160 halaman ini, menelusuri secara akurat asal-usul ide mulai dari zaman purba sampai abad 21 ini, yang berkomposisi komparasi ihwal filsafat, agama, spiritualitas, dan etika.

Buku ini diracik secara sistematis dan ekslusif. Desain layout yang menarik dan foto-foto berwarna, diterapkan sesuai tema diseluruh lampiran buku. Pembahasan setiap tema habis diuraikan secara padat tiap dua halaman penuh. Teks-teks substantif dapat mudah dicerna, karena ditulis dalam bentuk-bentuk penggalan-penggalan yang siap kunyah. Buku berat ini menjadi ringan dibaca. Penulis sengaja membuat dengan lugas dan tuntas per bab serta bahasa yang mendukung. Tidak ketinggalan juga kutipan kata-kata bijak selalu manjadi hiasan setiap sudut halaman, sehingga memberi warna berbeda pada buku ini.  


Peresensi: F. Hasan  

Peresensi adalah pecinta buku, Tinggal di Yogyakarta

Membaca Krisis yang Tak Kunjung Pergi

Judul   : SATU DEKADE PASCA-KRISIS INDONESIA, Badai Pasti Berlalu?
Pengarang  : Sri Adiningsih dkk
Terbit  : 12/12/2007
ISBN  : 978-979-21-1781-3
Harga  : Rp. 36.000,-
Halaman  : 200

Tahun 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.

Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.

Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.

Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.

Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.

Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu.

Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.

Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.

Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.

Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.


Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.

Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.

Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.

Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.

Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.

Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.

Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.

Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.

Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.

Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya penerimaan.

Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.

Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.

Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.

Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.

Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.***

*) Peresensi adalah pengamat sosial, aktivis K.H. Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT).

Mengkritisi Kemurungan Pendidikan Kita

Judul   : BELAJAR SEJATI VS KURIKULUM NASIONAL, Kontestasi
Pengarang  : Y. Dedy Pradipto
Terbit  : 16-02-2007
ISBN  : 978-979-21-1583-3
Harga  : Rp. 45.000,-
Halaman  : 272

Setiap kali kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada tanggal 2 Mei, kita selalu diajak merenung dan berhenti pada satu pertanyaan sudah seberapa jauh kemajuan dunia pendidikan di negeri ini?

Semua Warga Negara Indonesia,mulai dari pejabat hingga orangtua kalangan berpunya sampai si miskin papa selalu menjawab serupa bahwa pendidikan sangat dibutuhkan, terutama untuk mengangkat harkat dan martabat serta kemajuan negara.

Anehnya meskipun semua orang sudah berpikir sama tentang makna pendidikan dan pentingnya ilmu bagi kalangan generasi bangsa untuk membangun masa depan Indonesia, tapi tetap saja negeri ini bagai tak perduli terhadap peningkatan peranan pendidikan di dalam negeri.

Toh negara masih belum mampu memberikan apresiasinya sebagaimana perintah GBHN untuk memberikan porsi 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk anggaran pendidikan.

Meski pemerintah melalui Mendiknas pada saat memperingati Hardiknas menyatakan untuk memajukan dunia pendidikan di tanah air telah berjuang dan bekerja keras untuk mengatasi berbagai persoalan, namun kenyataan hingga hari ini kualitas pendidikan kita masih sangat jauh tertinggal dibandingkan negara-negara yang sedang berkembang, terutama di lingkup negara-negara ASEAN.

Berdasarkan survey Political and Economic Risk (PERC) kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Menyedihkan lagi ternyata posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Memprihatinkan lagi, hasil survey tahun 2007 World Competitiveness Year Book memaparkan daya saing pendidikan kita dari 55 negara yang disurvey Indonesia berada pada urutan 53.

Dampak rendahnya mutu pendidikan Indonesia itu secara tidak langsung ternyata ikut mempengaruhi berbagai sisi kehidupan di negeri ini. Misalnya terhadap sumber daya manusia Indonesia sangat jelas jauh tertinggal.Hal ini dapat dilihat dari hasil reset Ciputra yang menyatakan bahwa Indonesia hanya mempunyai 0,18 persen pengusaha dari jumlah penduduk.

Padahal sesuai syarat untuk menjadi negara maju minimal 2 persen dari jumlah penduduk harus ada pengusaha. Sebagaimana Singapura yang kini memiliki 7 persen dan AS 5 persen dari jumlah penduduknya adalah pengusaha.

Dampak lain akibat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dapat dilihat dari Human Development Indeks (HDI) Indonesia sebagaimana laporan UNDP, HDI pada 2007 dari 177 negara yang dipublikasikan HDI, Indonesia berada pada urutan ke-107 dengan indeks 0,728, hingga menempati urutan ke-7 dari sembilan negara ASEAN di bawah Vietnam dan di atas Kamboja dan Myanmar.

Berdasarkan data yang ada terbukti bahwa kualitas pendidikan Indonesia berada pada titik terendah. Rendahnya kualitas pendidikan di tanah air antara lain tidak terlepas dari rendahnya kualitas sarana fisik. Banyak gedung-gedung sekolah rusak, penggunaan media belajar yang rendah, buku perpustakaan tidak lengkap, laboratorium tidak standar serta pemakaian teknologi informasi yang tidak memadai.

Demikian pula kualitas guru rendah yang ditandai belum memiliki profesionalisme memadai. Rendahnya kesejahteraan guru juga ikut memacu rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Idealnya seorang guru sebagaimana hasil penelitian federasi guru independen bergaji tiap bulan Rp3 juta, tapi nyatanya rata-rata bergaji Rp1,5 juta, guru bantu Rp460 ribu dan honorer Rp10 ribu per jam. Akibatnya dengan gaji yang rendah banyak guru bekerja sampingan.***

Selain itu biaya pendidikan yang mahal juga ikut menurunkan kualitas pendidikan. Padahal di negara-negara maju banyak sekolah-sekolah bermutu namun biaya pendidikan rendah. Bahkan di beberapa negara pendidikan digratiskan, karena menjadi tanggungjawab negara. Di Indonesia, pemerintah berkilah akibat keterbatasan dana. Padahal Malaysia tak gentar menganggarkan 35 persen dari APBNnya untuk biaya pendidikan. Bagaimana Indonesia???


*) Peresensi adalah bergiat di Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT) poros Jabodetabek.

Manusia Paradoks


Judul   : ANTROPOLOGI FILSAFAT MANUSIA, Paradoks dan Seruan
Pengarang  : Adelbert Snijders, OFM Cap.
Terbit  : 24-12-2003
ISBN  : 978-979-21-0811-8
Harga  : Rp. 34.000,-
Halaman  : 208


Tak bisa disangkal bahwa munusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal, dan dinamis. Dinamika itu berhubungan dengan segala relasinya yang eksistensial. Sehingga manusia maju dengan membangun dunianya, menuju diri sejati dengan memurnikan relasi dengan sesamanya. Juga menuju keunikan sebagai pribadi dengan mempererat hubungannya dengan Tuhan. Oleh karena itu, dinamika manusia berbeda dengan dinamika yang khas di dunia alam. Jika di dunia alam berlaku diterminisme, maka dinamika manusia ada di tangan manusia sendiri. sebab, manusia bebas dan bertanggungjawab, tapi dalam kebebasan itu hadir suatu dorongan metafisis, suatu orientasi dasariah untuk menuju diri yang sejati.

Lantas manakah kekhasan manusia di tengah-tengah makhluk lainnya? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah manusia, bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi. Pandangan atas manusia pun beranekaragam. Keanekaragaman pandangan ini tampak dalam keanekaragaman definisi. Definisi paling terkenal datang dari Ariestoteles yang menyatakan: “Manusia adalah mahluk animal rational”(hewan yang berakal budi). Hal ini menurut logika Ariestoteles bagian pertama, suatu definisi harus meneyebut jenisnya yang paling dekat (dalam hal ini animal), sedangkan bagian kedua harus menyebut hal yang spesifik (di sini berakal budi).

Rumusan semacam itu banyak muncul dalam filsafat manusia. sehingga manusia menjadi pokok bahasan banyak ilmu. Tiap ilmu mempunyai kekhasannya sendiri. eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat dewasa ini disamping aliran filsafat lain, seperti filsafat analitik, bahasa, dan filsafat strukturalisme. Perbedaan antara aliran yang satu dengan yang lainnya disebabkan oleh titik pangkal yang berbeda. Materialisme, misalnya, melihat materi sebagai dasar segala apa yang ada (material reductionesm). Bagi Spiritualisme, roh adalah kenyataan satu-satunya (spiritual reductionism).

Atas dasar itu, Adelbert Snijders, dalam buku berjudul Antropologi Filsafat, Manusia Paradoks dan Seruan ini menyatakan bahwa eksistensialisme dapat disebut fenomenologi eksistensial kerena merupakan suatu gabungan antara eksistensialisme Kierkegaard (1813-1855) dan fenmenologi Edmund Husserl (1859-1938). Gaya berfilsafat seperti ini kemudian dikembangkan Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1873), M. Merleau Ponty (1908-1961), yang masing-masing dengan caranya sendiri. Dan dalam perkembangan selanjutnya dibahas oleh orang-orang seperti F. Copleston di Inggris, Jean Wahl di Paris, A. Dondeyne di Louvain, W.A. Luijpen dan R. Barker di Belanda  (halaman 24.)

Namun demikian, eksistensialisme bukan merupakan suatu kesatuan, melainkan merupakan suatu gaya filsafat. Pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya yang khas di tengah-tengah makhluk lainnya.  Kekhasan manusia ini mereka tekankan berhadapan dengan Materialisme dan Spiritualisme. Sebab, pangkal dan jiwa eksistensialisme adalah pandangan atas manusia sebagai eksistensi. Hal ini, menurut kaum eksistensialis menjadi pengalaman asasi karena menunjukkan kedudukan khas manusia di tengah-tengah makhluk yang lain.

Maka, salah satu cara untuk mendekati eksistensi sebagai pengalaman asasi adalah dengan mengintensifkan kehadiranku pada diriku yang berbadan. Karena, badanku menjadi badan kerena kesatuannya dengan aku. Jika badanku sakit akulah yang sakit. Jika kakiku mendaki gunung, akulah yang mendaki gunung, jika mataku yang terbuka, akulah yang memandang. Jika badanku disentuh, akulah yang disentuh. Akan tapi, jika bajuku sobek, bukan aku yang sobek. Tidak ada manusia tanpa dunia karena semua yang dikatakan tentang dunia mengandaikan kehadiran manusia. suatu  dunia tanpa kehadiran manusia, tak dapat dipikirkan sebab dunia mengandaikan manusia yang berfikir. Suatu dunia tanpa manusia tak dapat dibicarakan sebab dunia telah mengandaikan manusia berbicara. Maka, dunia ini tanpa manusia tidaklah diketahui sebab saat diketahui manusia yang tahu itu telah ikut hadir.

Dalam konteks ini, dunia yang dihayati, ditanyakan, dibicarakan, diselidiki dan dibahas berbagai macam ilmu selalu mengandaikan kehadiran manusia yang menghayatinya, yang bertanya, yang membicarakan, dan yang membahasnya.  Lalu, jenis studi yang bagimanakah yang dapat menulong untuk menjawab pertanyaan ini? Apakah buku-buku kimia, matematika,  ataukah ilmu ukur?

Menurut Snijders, kita harus kembali kepada pengalaman asasi yang menjadi dasar segala ilmu.  Sebab, setiap penghayatan dan setiap ilmu mempunyai objektifitasnya yang korelatif dengan sikap tertentu dari manusia. apa lagi relatif itu tidak bertentangan dengan objektif, tetapi perlu disadari keterbatasan masing-masing ilmu. Jika tidak, bagi Snijders, akan muncul segala macam ekstrimisme.

Tapi sayang, ada orang yang berpendapat bahwa obejektivitas semakin tercapai bila kehadiran manusia sebagai subjek semakin “dieliminasikan”. Lalu, bagaimana sikap eksistensialisme dalam problematika ini? Eksistensialisme tidak hanya mengatakan bahwa tidak ada “aku” yang tersendiri dan terpisah dari dunia, tetapi juga “tidak ada dunia terlepas dari manusia”. mereka juga keberatan terhadap suatu pernyataan yang mengatakan, “Dunia ada sekiranya manusia tidak ada”. Menurut eksistensialisme, kalimat seperti ini tidak masuk akal kerena dengan ini diakui bahwa manusialah yang mengucapkan kalimat itu.

Begitu juga dengan ungkapkan Snijders dalam buku setebal 208 halaman ini. Menurut Snijders, pernyataan bahwa dunia ada sebelum manusia adalah suatu pernyataan yang tepat dan benar. Sebab, baginya, dalam pernyataan ini diakui kesendirian dunia terhadap subjek yang mengungkapkan kenyataan tersebut.

*) Mahasiswa Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Anda Haus akan Tuhan?

Judul   : ADA SURGA DI BENING MATANYA
Pengarang  : F. Rudi D. Wibawa & Theo Riyanto
Terbit  : 21-12-2009
ISBN  : 978-979-21-2418-7
Harga  : Rp. 17.000,-
Halaman  : 96

Menurut teologi Katholik, surga senantiasa dikaitkan dengan Kerajaan Allah yang dipahami sebagai suatu suasana. Di dalamnya ada kasih, kedamaian, persahabatan, dan kerukunan, karena Allah adalah Sang Sumber semua suasana itu. Jika surga dipahami demikian, maka aneka pertanyaan seputar surga terjawab sudah. Surga ternyata ada di antara kita.

Buku kecil nan sederhana buah permenungan Rudi D. Wibawa dan Theo Riyanto ini menghadirkan penegasan adanya surga. Penulis buku memberikan penegasan itu dalam empat ranah perbuatan serta satu prasyarat muncul dan hadirnya surga.

Keempat ranah perbuatan yang dimaksud yakni ranah cinta dan persahabatan, empati, cinta dan keluarga, serta cinta pada negeri. Adapun syarat bagi muncul dan hadirnya surga nampak dalam sikap yang menuruti jalan Tuhan.

Ulasan akan tema surga ini terperi dalam 21 buah permenungan. Contoh pribadi yang mampu menuruti jalan TUHAN adalah kanak-kanak. Seorang kanak-kanak yang dengan kepolosan dan ketulusan cintanya menyambut setiap peristiwa hidup dengan penuh syukur dan keterbukaan akan penyertaan Tuhan. Dalam sikap inilah, kedua penulis, dengan menggunakan bahasa tutur nan sederhana menempatkan surga dalam kehidupan nyata.

Surga itu hadir dan amat dekat dengan kita. Contoh sekaligus bukti nyata akan hal ini diberikan oleh kedua penulis ketika memberikan pemahaman mengenai persahabatan. Persahabatan yang tulus dan suci senantiasa mendatangkan buah-buah keselamatan, kedamaian, dan persaudaraan yang ada, serta dialami oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Buah permenungan ini amat cocok bagi kita semua yang tengah haus akan Tuhan dan memberi inspirasi penuh syukur dalam memandang hidup dan mengamini penyertaan Tuhan dalam setiap langkah kehidupan. Selamat membaca dan merenungkan.


MH. Wikarta

Menimbang Wacana Pluralisme di Indonesia


Judul   : HIRUK PIKUK WACANA PLURALISME DI YOGYAKARTA
Pengarang  : Imam Subkhan
Terbit  : 6/10/2007
ISBN  : 978-979-21-1750-9
Harga  : Rp. 25.000,-
Halaman  : 142


Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.

Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.

Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.

Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti:
  • pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
  • pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
  • pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.

Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.

Belakangan, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non asimilasi, hal ini di-salah-paham-i sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan
  1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanyasaja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.
  2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
  3. Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnaah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
  4. Sekualisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesame manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan social.
Kedua : Ketentuan Hukum
  1. Pluralism, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
  2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
  3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
  4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah social yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan social denga pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Yang penting, pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu menghargai prinsip pluralisme keagaman dan kebebasan beragama. Karena hal itu adalah potensi yang baik untuk membangkitkan negeri ini dari tirani sekelompok orang dan korupsi yang merajalela. Prinsip kebebasan, persamaan, dan keadilan sosial mesti ditegakkan melampaui sekat-sekat golongan, agama, dan paham keagamaan. Kita semua harus berdoa dan berusaha agar tidak ada lagi kekerasan di negara ini!***

*) Peresensi adalah pengamat sosial, aktivis K.H.. Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT).

Lebih Bijak Mematuhi Aturan Jalan Raya

Judul   : Negara Di Persimpangan Jalan Kampusku
Pengarang  : Hani Raihana
Terbit  : 6/10/2007
ISBN  : 978-979-21-1749-3
Harga  : Rp. 25.000,-
Halaman  : 156


Sudah bukan rahasia lagi kalau saat ini kita bisa menyaksikan situasi lalu lintas di jalan raya, terutama jalan-jalan di kota besar nampak sangat padat. Kepadatan terjadi bukan hanya pada jam-jam tertentu tapi juga pada hampir sepanjang hari selama tujuh hari dalam seminggu. Bahkan bagi masyarakat yang tinggal di Jakarta, sering menemui kepadatan dan kemacetan pada malam hari.

Seorang kawan saya yang tinggal di daerah Ciputat misalnya, selalu mengeluhkan situasi jalan raya pada malam hari, karena walaupun sudah larut malam tapi kemacetan toch tetap saja terjadi. Pemandangan kemacetan panjang bukan hanya terjadi di jalan-jalan biasa tetapi juga di jalan bebas hambatan (tol).

Bisa kita lihat pada jam kerja di jalur bebas hambatan Jln Prof Dr Ir Sediatmo , Jakarta kemacetan sering nampak amat parah. Antrian kendaraan di jalan bebas hambatan ini bisa mencapai beberapa kilometer, sehingga para pengguna jalan harus sabar berjam-jam di dalam kendaraan.

Alasan kemacetan ini bisa bermacam-macam, seperti, traffic-light rusak, aksi Pak Ogah, jalan berlubang, kendaraan mogok di tengah jalan, terlalu banyaknya kendaraan di jalan, dan sekian banyak alasan lainnya.

Dari hari ke hari pelanggaran rambu-rambu lalu lintas semakin memprihatinkan. Selain bisa kita amati sendiri perkembangannya setiap hari, kecenderungan berkurangnya ketertiban pengguna jalan bisa kita lacak dari maraknya surat-surat pembaca di media massa yang isinya mengeluhkan keadaan ini.

Peraturan pada dasarnya dibuat dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan manusia. Coba kita bayangkan bila di jalanan tidak ada peraturan, tidak ada rambu-rambu lalu lintas, dapat dipastikan setiap pengguna jalan akan berbuat seenaknya sendiri tanpa mau mengindahkan kepentingan orang lain.

Setelah peraturan dibuat ternyata tidak ada jaminan bahwa peraturan tersebut akan dipatuhi. Coba kita lihat kondisi di Indonesia. Rambu-rambu lalu lintas seakan hanya menjadi hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Praktis hanya lampu lalu lintas saja yang di patuhi, itupun pada ruas jalan tertentu saja. Perilaku yang tidak tertib ini diperparah dengan pertambahan jumlah kendaraan yang sulit dibendung sementara jumlah pertambahan ruas jalan tidak mampu mengimbanginya.

Jika memang peraturan dibuat untuk mempermudah kehidupan manusia pertanyaan besar yang muncul adalah: "Mengapa peraturan tersebut sering dilanggar?".

Manusia memang individu yang kompleks sehingga perilakunya juga tidak sederhana. Perilaku manusia tidak sekedar memperhitungkan untung dan rugi saja. Bisa jadi perilaku yang tampak merugikan dimata seseorang akan dianggap menguntungkan bagi orang lain. Bagaimana seseorang berperilaku, secara garis besar bisa dijelaskan melalui penguatan kontigensi (contigency of reinforcement) ..

Perilaku manusia melibatkan tiga komponen utama yaitu kondisi lingkungan tempat terjadinya perilaku tersebut, perilaku itu sendiri dan konsekuensi dari perilaku tersebut. Berulang atau tidak berulangnya suatu perilaku dipengaruhi oleh keadaan tiga komponen tersebut.

Penjabarannya dalam perilaku berkendaraan di jalan raya cukup sederhana. Misalkan seorang pengendara berada di persimpangan jalan yang sepi (kondisi lingkungan) kemudian ia memutuskan untuk melanggar lampu lalu lintas (perilaku). Konsekuensi dari perilaku ini adalah perjalanan yang lebih cepat.

Selain itu pengendara tersebut juga tidak ditangkap petugas karena memang tidak ada petugas di persimpangan jalan tersebut. Perilaku pelanggaran seperti ini akan cenderung diulangi karena mendapat penguatan positif atau hadiah yaitu proses perjalanan yang lebih cepat dan tidak tertangkap oleh petugas.

Skenario yang muncul akan berbeda bila situasinya berbeda pula. Pada situasi persimpangan jalan yang dijaga oleh petugas (kondisi lingkungan) seorang pengendara berkeputusan untuk melanggar lampu lalu lintas. Konsekuensinya ia akan ditangkap oleh petugas dan mendapatkan surat tilang. Perilaku pelanggaran seperti ini akan cenderung tidak diulangi karena mendapatkan penguatan negatif (hukuman) yaitu berupa surat tilang yang tentu saja bermuara pada denda yang harus dibayar.

Bagi semua pengguna kendaraan bermotor pasti sudah paham betul arti dari rambu-rambu lalu lintas yang ada dijalanan. Walaupun demikian ternyata pemahaman ini belum cukup untuk mendorong pengguna jalan mematuhi rambu-rambu tersebut. Ada berbagai hal yang menyebabkan pengendara gagal untuk mematuhi rambu-rambu tersebut.

Penyebab kegagalan kepatuhan terhadap peraturan dari segi kondisi lingkungan bisa di jabarkan dalam skenario berikut ini. Suatu ketika pengendara tersebut mencoba menggunakan helm, namun keadaan yang ia hadapi adalah bahwa banyak pengendara lain yang ternyata tidak menggunakan helm tidak mendapat sanksi apa-apa, selain itu ia juga merasa tidak nyaman ketika memakai helm karena terasa gerah.

Keadaan ini menggambarkan adanya konsekuensi negatif ketika pengendara tersebut berusaha mematuhi peraturan dengan menggunakan helm. Konsekuensi negatif tersebut berasal dari rasa tidak nyaman dan umpan balik sosial yang memperlihatkan bahwa tidak menjadi masalah bila pengendara tidak menggunakan helm.

Contoh lain, (maaf ya) abdi dalem keraton Jogja, Solo, dan beberapa daerah lain yang hanya pake blangkon, kupluk, atau anak kyai yang pake sorban, atau suster yang hanya pake separo “jilbab” seliweran di jalan raya kok tidak ditilang? Apa Pak Polisi takut kualat? Hukum harus tetap ditegakkan.

Tidak boleh pandang bulu siapapun pengendara dan pengguna jalan raya. Satu lagi, kenapa kalau pejabat lewat sudah tahu ada lampu merah tapi tetap didahulukan? Kalau ambulan saya kira masih bisa dimaklumi. Ajari para pejabat itu untuk mematuhi lampu merah juga dong! Kenapa sih mesti tergesa-gesa di jalan? Selamat berkendara dan hati-hati di jalan!

*) Peresensi adalah pengguna jalan raya yang ramah lingkungan, betah nongkrong di Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT) poros Jabodetabek.

Masih Harumkah Pulau Dewata?

Judul   : BALI YANG HILANG, Pendatang, Islam & Etnisitas di Bali
Pengarang  : Yudhis M.Burhanuddin
Terbit  : 19-07-2008
ISBN  : 978-979-21-1946-6
Harga  : Rp. 40.000,-
Halaman  : 216

Pada 14 Juni lalu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono membuka agenda tahunan pemerintah Propinsi Bali, Pesta Kesenian Bali (PKB). Dalam sambutannya, SBY mengatakan bahwa Bali adalah The Island of God, The Island of Thousands Temples, The Paradise Island, dan The Last Paradise di depan tamu-tamu penting dalam dan luar negeri.

Dalam konteks ini, Presiden tentu tidak mengada-ngada. Sebab, banyak kalangan, baik akademisi, seniman, maupun pengusaha memuji Bali demikian. Pujian ini terutama menyangkut kenyataan praktik dan kultur.  Clifford Geertz misalnya, terkagum-kagum dengan praktek ritual upacara keagamaan di Bali.

Menurutnya, “Orang Bali, yang terus-menerus mengangkat sesaji dari janur yang canggih, menyiapkan makanan-makanan yang rumit, menghiasi segala macam pura, berbaris dalam perarakan-perarakan massal, dan jatuh ke dalam trans tiba-tiba, tampak sangat sibuk mempraktikkan agama mereka daripada memikirkan (atau mencemaskan) agama itu sendiri.

Lalu apa yang membuat Bali memiliki taksu (kekuatan magis dari dalam) sehingga hampir semua kalangan terkagum-kagum? Kemudian, apa yang menyebabkan Bali terlihat lain dari yang lain, seperti Toraja, Yogyakarta, Manado, atau Papua sehingga turis-turis selalu berdatangan?

Salah satu yang membuat Bali unik adalah praktik ke-Hinduan-nya (Hindu Siwa-Siddhanta). Sebab, aset kultural ini—sebagian kecil sebagamana telah disebut di atas—membuat orang-orang seperti Spies, Geertz, Presiden, SBY dan turis-turis lainnya, terkagum-kagum. Karena itu, tidak heran jika Andrian Vickers, Akademisi University of Sydny, mengatakan bahwa Bali adalah kombinasi antara keindahan pantai dan iklim tropis yang dimiliki Tahiti di Pasifik Selatan dengan kelekan Timur dan ke-Hindu-an yang dimiliki bumi Bharata India.

Bukan Cuma itu, Rabindranath Tagore, sastrawan India lewat Gitanjali-nya meraih hadiah Noble Sastra 1913, konon pernah mengatakan ketika berkunjung ke Bali; “saya merasakan India, tapi saya tidak melihat India di sini”. Ungkapan Tagore ini menandakan bahwa meski Bali dilingkupi nilai-nilai Hindu, tapi ke-Hindu-an di Bali telah menyatu dengan kondisi alam dan sosiologi budaya masyarakatnya.

Ini disebabkan oleh  kemampuan masyarakat Bali menyerap, menyaring, dan memperbaharui  ide-ide yang datang dari luar sesuai dengan kondisi dirinya.Namun sayang, aset kultural berlandasan agama Hindu tersebut kemudian menyebabkan pembangunan dan pengembangan Pariwisata di Bali, sehingga (orang) Bali saat ini seolah-olah beridiri di dua kaki.

Jika kaki yang satu tetap menginjak di dunia religi, tradisi, dan kultur yang menjiwai agama Hindu. Sementara kaki yang satunya harus menginjak dunia modern dengan segala konsekuensinya. Akibatnya, pariwisata Bali saat ini lebih banyak berorientasi industrialisasi, meninggalkan pesan pendahulunya. Hal itu ditunjukkan Yudhis M. Burhanuddin dalam buku berjudul Bali Yang Hilang, Pendatang Islam dan Etnisitas Bali ini.

Menurut Yudhis, perkembangan Pariwisata, mau tidak mau, “mengundang” banyak orang untuk datang kepulau Bali. mereka berasal dari berbagai kalangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Diantara sekian yang datang itu, banyak diantaranya yang ingin mengais rezeki dari putaran roda ekonomi-pariwisata. dan lambat-laun, jumlah yang datang pun semakin menumpuk.

Menumpuknya orang yang datang ke Bali tersebut membuat pulau ini menjadi hetorigen. Namun demikian, Bali secara internal (dalam masyarakat Bali sendiri) juga bisa dibilang hetorigen. Pendapat ini dikemukakan Nengah Bawa Atmadja, Guru Besar Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.

Menurut Atmadja (2008), heterogenisitas masyarakat Bali ditandai dengan kenyataan banyaknya perbedaan soroh (garis keturunan) atau pun kasta (warna) kerena tidak sedikit lak-laki yang mengawini perempuan dari etnis dan agama lain, maupun perempuan Bali yang dikawini oleh etnis dan agama lain.

Maka, faktor kawin-mengawini inilah secara evolutif membuat masyarakatnya menjadi hetorigen.Secara global, Yudhis M. Burhanuddin membagi kontak budaya antara masyarakat Bali dengan masyarakat pendatang dalam buku setebal 213 halaman ini ke dalam tiga fese.

Fase pertama terjadi pada masa-masa awal datangnya utusan Majapahit yang terus berlangsung pada masa Pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan sampai ke masa pemerintahan Dalem Waturenggong dan sesudahnya. Selain itu, kontak budaya pada masa-masa Kerajaan Klungkung pun masih terjadi misalnya, pada periode Kerajaan Badung. Fese kedua terjadi pada masa-masa kolonial. Dan fese ketiga, terjadi pada masa-masa setelah kemerdekaan sampai booming-nya sektor kepariwisataan hingga sekarang.

Melihat realitas realitas kesejarahan itu, Bali adalah pulau yang terbuka bagi etnis, kultur, dan agama lain. sebab, masyarakatnya pun selalu bersikap inklusif. Dan selama ini, belum terdengar adanya gesekan-gesekan social antara masyarakat lokal dengan para pendatang yang berlatarbelakang etinis, kultur, maupun agama. Tapi, masyarakat lokal berinteraksi dengan baik dengan penduduk pendatang.

Orang Bali misalnya mnyebut orang islam dengan sebutan nyama selam (saudara islam). Selain itu, perbedaan-perbedaan yang ada tidak menjadi penting dengan adanya nilai lokal yang dipraktekkan masyarakat Bali salah satunya, menyamabraya: hidup berkerabat dan bermasyarakatYang terjadi justru sebaliknya. Bahwa masyarakat Bali yang bersikap inklusif tehadap pendatang itu, secara internal (sesama orang Bali ) seringkali terdengar berseteru, dan tidak jarang diakhiri dengan aksi saling serang.

Lihat saja misalnya, perkelahian antar pemuda yang menelan korban jiwa pada malam tahun baru 2008 di Dee Jay Music, Kuta, bentrok massa antarpendukung calon bupati (cabup) di Sukawati, Gianjar, yang meilbatkan salah seorang anggota Dewan  2008 lalu. Dan konflik-konflik terbuka lainnya (konflik adat), seperti pada malam Nyepi 2007 dan pada malam Nyepi 2008, atau konflik terbuka yang disebabkan afilisiasi partai tertentu, sebagaimana yang terjadi di Buleleng pada 2004 lalu.

Atas dasar fenomena di atas, bagi Yudhis, pariwisata Bali saat ini sangat tergantung pada keamanan, kedamaian, dan ketentraman. Syarat utama ini sekarang berada di pundak masyarakat Bali. Selain itu, masyarakat Bali juga dituntut untuk mempertahankan, melestarikan, dan menjaga (proteki) aset kultural (agama, tradisi, dan kebudayaan) yang menjadi kebudayaan dan diminati banyak turis. Bagaimana tidak, tradisi Hindu-Majapahit yang sudah menjadi fosil di Jawa kerena tergusur Islamisasi Kerajaan Demak, justru di Bali tradisi itu hidup dan lestari.

Atas dasar itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bila ingin melihat bagaimana kehidupan masyarakat Hindu-Majapahit dahulu, kurang-lebihnya lihatlah Bali sekarang.

*) Mahasiswa ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

Mendalami Ensiklik Paus Benediktus XVI

Judul : Gereja dan Pelayanan Kasih
Penulis : Telesphorus Krispurwana Cahyadi, SJ
Penerbit : Kanisius, 2010
Isi : 256 halaman
ISBN : 978-979-21-1497-3


Joseph Ratzinger ketika dipilih menjadi paus baru, menggantikan almarhum Yohanes Paulus II, baru mengeluarkan ensiklik (surat ajaran) pertamanya setelah 300 hari menduduki tahta kepausan. Ratzinger, yang kemudian dikenal sebagai Benediktus XVI, secara resmi mengeluarkan ensiklik pertamanya yang berjudul Deus Caritas est pada 25 Januari 2006.
Rupanya hal tersebut menjadi tanda tanya di antara sejumlah kalangan. Mereka penasaran, mengapa Benediktus XVI yang dikenal mempunyai pengaruh kuat di Vatikan sampai butuh waktu lama untuk mengeluarkan ensiklik? Padahal Yohanes Paulus II cukup membutuhkan waktu sekitar 130 hari untuk mengeluarkan ensiklik. Pertanyaan lain, mengapa ensiklik tersebut baru dikeluarkan selang satu bulan setelah ditandatangani Paus pada hari raya Natal, 25 Desember 2005?
Telesphorus Krispurwana Cahyadi, SJ, penulis buku Gereja dan Pelayanan Kasih ini, mengakui secara tegas bahwa tidak ada jawaban yang jelas terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebab menurutnya, hal itu dianggap bukan sebagai persoalan penting. Sehingga muatan buku ini lebih ditujukan untuk mendalami isi ensiklik dan Gereja.
Keseluruhan isi buku ini disajikan dalam tiga bagian pokok. Pada bagian pertama, tersaji teks ensiklik Deus Caritas est, yang diakui oleh penulis buku bahwa teks tersebut bukan merupakan terjemahan resmi. Bagian kedua berisi komentar yang mengupas ensiklik tersebut dengan meninjau ulang gagasan dan penggembalaan Yohanes Paulus II, gagasan Ratzinger sebelum menjadi paus, dan arah penggembalaannya sebagai Paus Benediktus XVI. Pada bagian ketiga, penulis buku mengajak pembaca untuk melihat bagaimana kiranya jika ensiklik tersebut diaplikasikan dalam kehidupan menggereja di Asia dan terutama di Indonesia.
Sebagai warga Gereja yang dipimpin oleh Paus Benediktus XVI, semestinya buku ini layak kita baca dan miliki, baik dalam lingkup keluarga, komunitas, institusi, maupun secara pribadi. 

Willy Putranta

Panduan Sederhana Tentang Iman Kristiani

Judul : User’s Guide to Christian Belief
Penulis : Mark Stibbe
Penerjemah : Rm. Hasto, Fr. Bagyo, Fr. Dimas
Penerbit : Kanisius, 2009
Isi : 140 halaman
ISBN : 978-979-21-2430-9


Bagaimana cara umat awam yang ingin mempelajari dan memahami Allah, Yesus, Roh Kudus, penciptaan, dosa, kebangkitan, makna salib, serta akhir zaman? Haruskah mereka mengikuti kuliah teologi atau membaca buku-buku tentang iman Kristiani yang belum tentu mudah dipahami?
Sepertinya tidak. Sebab saat ini banyak diterbitkan buku-buku Kristen yang praktis, menggunakan bahasa sederhana, dan dikemas secara menarik.
Salah satu buku tersebut adalah User’s Guide to Christian Belief yang ditulis oleh Mark Stibbe. Menurut Stibbe, buku ini menjadi suatu pengantar sederhana tentang iman dan kepercayaan orang Kristen. Selain itu, buku ini memang ditujukan bagi umat awam serta menjadi panduan bagi pemula untuk belajar tentang iman dan kepercayaan Kristen yang mendasar.
Sembilan bab dalam buku ini membahas tentang pewahyuan, Allah, penciptaan, kejatuhan manusia, Yesus, salib, kebangkitan, Roh Kudus, dan hal-hal terakhir (akhir zaman).
Sesuai judulnya, buku ini dapat disebut sebagai sebuah buku panduan. Maka tidak heran jika dikemas secara menarik. Bahasa yang digunakan benar-benar ringan dan mudah dimengerti. Bagian akhir buku dilengkapi indeks yang memudahkan untuk mencari kata-kata kunci.
Pemilihan kertas jenis art paper dan gambar ilustrasi berwarna yang menghiasi sejumlah besar halaman, membuat buku ini terkesan eksklusif. Namun tidak diimbangi dengan pemilihan desain sampul yang terkesan kontemplatif, seperti buku renungan. Padahal buku ini sejatinya lebih seperti ensiklopedi.
Namun seperti ungkapan jangan melihat buku dari sampulnya, isi buku ini pun sangat layak untuk dibaca serta dimiliki setiap umat Kristiani yang ingin memahami iman dan kepercayaannya.

Willy Putranta

Inspirasi Fransiskus Asissi

Judul         : Gerakan Awal Kongregasi Peniten Rekolek
Editor        : Antonius Eddy Kristiyanto, OFM
Penerbit     : Kanisius, 2009
Isi              : 238 halaman
ISBN        : 978-979-21-2481-1


Fransiskus Asissi adalah tokoh yang mengguncang dunia. Betapa tidak, semangat hidupnya menjadi banyak inspirasi bagi berbagai kongregasi Fransiskan seluruh dunia yang tidak terhitung jumlahnya. Sejarah mencatat empat kongregasi (FCh, FSE, KSFL, SFS) ternyata bersaudara dan berada di bawah satu payung semangat Peniten Rekolek yang diwariskan oleh Theresia Saelmaekers.
Peniten Rekolek dalam sejarah gereja hanya dipeluk oleh empat kongregasi perempuan. Tidak ada laki-laki yang memeluk spiritualitas ini. Hal ini menunjukkan Fransiskanisme tidak bisa dipahami tanpa kehadiran perempuan. Kombinasi ini menjauhkan penganutnya dari narsisme spiritual. Semangat Peniten Rekolek merupakan semangat pertobatan terus-menerus yang didasari oleh sikap hening.      
     Buku yang ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami menawarkan khazanah sejarah keempat kongregasi yang ternyata bersaudara dan mengupas habis semangat Peniten Rekolek warisan Theresia Saelmaekers yang seharusnya menjadi semangat kita semua. Selain itu juga berisi tentang identitas historis Fransiskan Peniten Rekolek serta reinterpretasi spiritualitas Peniten Rekolek di Indonesia.
    Isi buku ini sungguh fenomenal dan merupakan gerakan awal dari keempat kongregasi (FCh, FSE, KSFL, SFS) yang menyadari diri sebagai saudara. Buku ini cocok dibaca untuk semua kalangan khususnya yang berminat pada bidang sejarah dan spiritualitas.


Sr. Fransita, FCh
Jl. Taman Siswa 110 Yogyakarta 55151
email: fransitafch@yahoo.com

Memahami Rencana Allah

Judul buku      : The Wise Lesson & Inspiring Words
Penulis            : Yance Chan
Penerbit          : Kanisius, 2009
Isi                   : 148 halaman
ISBN              : 978-979-21-2382-1

Pengalaman hidup manusia kadang terasa pahit. Sering kali kita mengutuk atau meratapi nasib yang sedang terpuruk. Terkadang kita melihat dengan mata hati tertutup bahwa diri kita adalah orang yang gagal, sial, dan tidak berguna.
Kita pun lupa bahwa dalam penderitaan yang dialami ada rencana atau maksud Tuhan yang tersembunyi. Kita perlu melihat dan memahami, kehendak Tuhan memang tidak sama dengan rencana kita, meski itu terasa berlawanan dan sepertinya Tuhan tidak sedang memihak kita.
Apapun yang terjadi, hidup hanya perlu dijalani dengan bersyukur, memaknai hidup secara positif, menjalani hidup dengan menerima apa yang sudah Tuhan anugerahkan. Sekalipun di mata orang lain terasa pahit, namun di mata kita hendaknya diterima sebagai sebuah berkat.
Kisah ayah-anak Rick dan Dick Hoyt kiranya layak menjadi teladan. Meski Dick menderita cerebral palsy (kelumpuhan otak), Rick setia mendampingi anaknya itu untuk mengikuti berbagai lomba olahraga. Walau mempunyai kekurangan, dengan kerja sama yang baik apa pun bisa mereka lakukan. Hambatan sebesar dan sesulit apa pun bisa diterjang dengan penuh keyakinan dan tujuan mulia.    
Buku The Wise Lesson & Inspiring Words ini hadir untuk memotivasi dan menginspirasi kita bahwa Allah punya rencana dan Ia tidak pernah meninggalkan kita. Bahkan salib yang kita pikul adalah penolong kita untuk sampai kepada-Nya, seperti tertulis dalam kisah pada halaman 51.
Yance Chan menulis buku ini dengan bahasa yang ringan dan tidak meledak-ledak. Ada sejumlah kisah-kisah kecil, sebagian sudah sangat familier, yang cukup mampu menyentuh hati yang haus akan sisi positif sebuah penderitaan.
Membaca buku ini, rasanya sangat cocok jika ditemani secangkir teh hangat dan alunan lembut musik instrumental.

Willy Putranta

Berpastoral Lewat Internet

Judul buku      : Merasul Lewat Internet, Kaum Berjubah dan Dunia Maya
Penulis            : Reynaldo Fulgentio Tardelly SX
Penerbit          : Kanisius, 2009
Isi                   : 176 halaman
ISBN              : 978-979-21-2029-5




   Kehadiran internet sudah merambah di berbagai tempat, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Media komunikasi interaktif ini pun sudah menjangkau semua anggota Gereja, baik di kalangan umat maupun para klerus dan religius. Buku karya Reynaldo Fulgentio Tardelly SX ini lebih menyoroti kehadiran internet di tengah-tengah kaum religius.

    Banyak kesan yang muncul sehubungan dengan masuknya internet ke dalam biara. Pada awalnya, kesan yang muncul lebih bernada negatif dengan berbagai alasan yang cukup masuk akal. Kesan negatif yang muncul umumnya dilatarbelakangi anggapan bahwa internet merupakan barang duniawi yang hanya akan mengganggu persembahan diri para religius. Sebab itu, internet masih dianggap tabu di kalangan religius. Akan tetapi kesan itu semakin melunak, terlebih dengan berbagai segi positif yang didapatkan dari internet. Banyak kaum religius saat ini menggunakan internet sebagai penunjang karya mereka.

    Buku ini mencoba menyajikan pengalaman penulis berhadapan dengan internet yang dibagi dalam lima bagian. Pertama, disajikan sejumlah informasi tentang internet. Kedua, disajikan sebuah tinjauan kritis terhadap internet sebagai sebuah dunia baru yang mempengaruhi pengalaman manusia, yang mencakup aspek positif-negatif serta tantangannya. Ketiga, penulis mencoba melihat sebuah peluang baru dari internet sebagai sarana kerasulan bagi para religius. Keempat, penulis menawarkan kiat-kiat praktis dan strategis melalui manajemen proyek website sebagai sarana pewartaan iman dan kerasulan. Kelima, penulis mengungkapkan pengalaman pribadinya dalam memanfaatkan internet sebagai sarana pewartaan iman.

Akhirnya, diharapkan bahwa kehadiran internet bukan lagi menjadi sebuah hambatan bagi pewartaan iman, khususnya kaum berjubah, melainkan sebuah peluang besar bagi pewartaan kabar gembira.

St. Sigit Pranoto, SCJ
Skolastikat SCJ
Jl Kaliurang Km 7,5
Yogyakarta

 

 

Memahami Pembaharuan Karismatik Katolik

Judul   : PEMBAHARUAN KARISMATIK KATOLIK, Rahmat dan Tantangan
Pengarang  : Rm. Yoh. Indrakusuma, O.Carm
Kategori  : Keagamaan
Tanggal Terbit  : 5/12/2009
ISBN  : 978-979-21-2512-2
Harga  : Rp. 30.000,-
Ukuran  : 135x200
Halaman  : 176


Dewasa ini dalam Gereja Katolik berkembang kelompok Pembaharuan Karismatik Katolik (PKK). Kelompok yang dimulai di Pittsburgh, Amerika Serikat pada 19 Februari 1967 ini sebenarnya berawal dari sekelompok kecil berjumlah sekitar 30 orang yang mempunyai keprihatinan terhadap kemerosotan semangat kerohanian yang melanda Gereja Katolik setelah Konsili Vatikan II.

Dalam waktu yang relatif singkat, kelompok ini berkembang begitu pesat hingga dewasa ini dan menyebar hampir di seluruh belahan dunia.

Keberadaan PKK di Indonesia sebenarnya dimulai di dua tempat, yakni Malang pada 1975 dan Jakarta pada 1976. Itu pun juga dari sebuah kelompok kecil namun akhirnya juga berkembang luas di berbagai daerah lain. Saat ini hampir bisa dipastikan di setiap keuskupan di Indonesia terdapat kelompok tersebut.

Kendati keberadaan PKK sudah menyebar, tetapi belum semua orang mengetahui seluk-beluk kelompok ini. Tidak jarang ada pandangan negatif terhadap kelompok ini. Memang, kehadiran PKK di berbagai keuskupan di Indonesia mendapat tanggapan berbeda-beda. Ada keuskupan yang terbuka, namun juga ada keuskupan yang tertutup.

Secara lengkap, informasi seputar Pembaharuan Karismatik Katolik disajikan dalam buku ini. Penulis buku ini, Rm Yohanes Indrakusuma O.Carm, yang merupakan pioner dari kelompok ini menuturkannya secara lengkap. Mulai dari sejarah dan perkembangan, dimensi teologis PKK, hakekat dan tujuan PKK, kharisma-kharisma, serta tantangan dan peluang dari PKK. Pembaca juga diajak mengenal lebih dekat Putri Karmel, CSE, dan Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM) yang didirikannya.

Buku ini cocok dibaca siapa saja yang ingin mengenal lebih dalam dan lengkap tentang Pembaharuan Karismatik Katolik (PKK). Melalui penjelasan di dalamnya, pembaca dapat memberikan penilaian terhadap PKK secara lebih obyektif. Demikian juga bagi mereka yang sudah menjadi bagian dari PKK akan semakin memperdalam pengetahuannya tentang PKK secara pribadi.


St Sigit Pranoto SCJ
Skolastikat SCJ
Jl Kaliurang Km 7,5
Yogyakarta

Menghentikan Kekerasan dalam Pacaran

Judul   : TEEN DATING VIOLENCE, Stop Kekerasan dalam Pacaran
Pengarang  : Sony Set
Kategori  : Humaniora
Tanggal Terbit  : 30-01-2009
ISBN  : 978-979-21-1797-4
Harga  : Rp. 25.000,-
Ukuran  : 125x190
Halaman  : 150

Setiap remaja pasti mengenal kata pacaran (dating). Kata ini begitu populer karena memang hampir setiap remaja mengalaminya. Mereka menyebutnya sebagai masa bercinta, pacaran, hubungan romantis, dan seabreg kata lainnya yang menggambarkan sebuah pola ketertarikan antartubuh yang melibatkan segenap emosi jiwa dan raga.

Sebagai pasangan yang belum menikah para remaja menganggap hubungan cinta sebagai hal yang serius yang biasanya dibumbui dengan rasa sayang, sedih, duka, haru, nyaman, serta segala perasaan lain laiknya sepasang kekasih. Ada perasaan saling melindungi, menjaga, atau rasa takut untuk berpisah walau hanya sesaat.

Namun rasa cinta dan sayang itu bisa hancur ketika ada kondisi hubungan dominan yang tidak seimbang. Biasanya sebagian besar kaum remaja laki-laki melakukan dominasi terhadap pasangannya. Ketika dominasi terjadi cepat atau lambat akan muncul kondisi yang disebut dating violence, kekerasan dan pelanggaran etika fisik maupun psikis dalam hubungan cinta.

Pihak perempuan yang tidak menyadari akan menganggap bahwa ia hanyalah makhluk yang harus menuruti segala perintah sang kekasih. Kemudian, deraan dan siksaan yang lebih keras akan terjadi, baik secara fisik maupun mental. Ironsnya tidak ada satu pun early warning system yang bisa dijadikan panduan untuk mengetahui dan menghindari kekerasan dalam pacaran.

Masalah selanjutnya kemudian adalah tidak banyak remaja perempuan yang mengerti tanda-tanda dating violenve. Berikut ini macam-macam tanda dating violence. Pertama adalah intimidasi yaitu perlakuan menakut-nakuti dan menggertak pasangan dengan cara merusak benda, bertindak ceroboh saat mengendarai kendaraan, atau bergaya seolah seorang preman yang setiap waktu mengawasi gerak-gerik pacarnya. (Hal 45)

Kedua melanggar privasi yaitu menerobos area pribadi dan mengacak-acak segala rahasia diri pasangan. Perilaku ini ditandai dengan mengambil alih catatan pribadi, SMS pada handphone hingga men-sweeping isi tas. Si Pelaku menganggap bahwa orang lain tidak berhak mencampuri urusan cintanya. (hal 45)

Ketiga adalah tindakan ancaman yang lebih serius dan lebih menakutkan. Si pe衍aku sering memaksa korban untuk menuruti kemauannya dengan ancaman bunuh diri, memutuskan hubungan cinta, hingga mengancam menyebarkan foto-foto dan video pribadi yang dibuat bersama kekasihnya. (hal 45)

Keempat menggunakan hak istimewa laki-laki. Biasanya pelaku selalu menggambarkan dirinya sebagai jagoan, laki-laki yang perkasa. Ia selalu berusaha mengalahkan cara pikir perempuan dan tidak mau menerima argumen apa pun. Dalam tahap ini, laki-laki telah menguasai perempuan untuk melakukan apa pun kehendaknya. (hal 46)

Kelima membatasi kebebasan. Pelaku mengurung kebebasan kekasihnya dengan cara mengatur penampilan sesuai kehendaknya. Ia juga mengatur teman-teman yang harus dijauhi atau didekati, memaksakan pengaruh rokok dan minuman keras pada kekasihnya, serta membatasi pergaulannya. Pada saat itu, si pelaku bahkan bisa mengatur beragam rencana kekasihnya, termasuk rencana pendidikan, masa depan, dan pekerjaan. (Hal 46)

Keenam penghinaan yaitu tindakan mempermalukan nama baik sang kekasih di depan umum. Perilaku ini ditandai dengan cara mernperlakukan sang pacar dengan tidak manusiawi. (hal Hal 46)

Ketujuh pengasingan. Tindakan mengisolasi segala bentuk hubungan keluarga, pertemanan, sekolah, dan masyarakat dari kekasihnya sendiri. Jenis tindakan seperti ini, seolah-olah seperti memenjara sang kekasih dan memutuskannya dari komunikasi dunia luar.(hal 47)

Ketujuh gangguan. Bentuk gangguan yang dilakukan pelaku dalam berbagai macam aktivitas yang dilakukan kekasihnya. Bahkan, meskipun hubungan cinta telah berhenti, ben負uk gangguan ini tetap berlangsung. Pelaku berusaha masuk ke dalam pergaulan sosial pi-hak perempuan, meskipun tidak diundang atau dilarang sekalipun.(hal 48)

Dari macam-macam kekerasan di atas kita bisa tahu bahwa Dating violence adalah masalah yang harus cepat diselesaikan secara serius. Kita tidak bisa menghentikannya sendirian, semua orang harus bersama-bersama menghentikannya. Tidak semua laki-laki memiliki perangai yang kasar dan kejam terhadap pasangannya. Masih banyak laki-laki yang bermata jernih dan tidak mengumbar rayuan, tetapi mencintai dan menghormati pasangannya.

Dating violence bisa datang setiap saat dalam kehidupan cinta kita. Jangan pernah salah memilih pasangan dan jangan pernah menunda untuk menghentikan segala pola kekerasan yang mungkin ditemui di sekitar lingkunganmu. Keluarga adalah pondasi pertama untuk menghentikan kegilaan ini, lalu teman-teman terdekat yang mendukung adalah tempat kita meminta tolong. Jangan percaya terhadap cinta yang menuntut pengorbanan dan digantikan dengan kekerasan. Rasa saling menghormati dan menyayangi adalah landasan utama.

Buku ini merupakan buku pan苓uan yang berisi cara-cara menangani keadaan dating violence yang terjadi pada pasangan perempuan. Buku ini bisa dijadikan  sebagai pertolongan pertama tindakan pencegahan atau pengobatan bila terjadi kasus dating violence, kekerasan di masa pacaran remaja yang me-nimpa jutaan remaja di Indonesia. Jutaan? Semoga kamu semua yang mencoba membaca buku ini tidak menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi pada perempuan (remaja putri khususnya) yang bisa kita ketahui setiap hari melalui koran, majalah, dan berita kriminal.

Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Begitu pula dengan masalah dating violence. Peran serta siapa saja termasuk guru, pengamat pendidikan, institusi sekolah, orang tua, keluarga, remaja, dan masyarakat untuk bersama-sama memikirkannya. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa telah melakukan perhatian yang terintegrasi bagi perkembangan masa depan anak mudanya. Mereka berupaya menghentikan akibat negatif dari dating violence. Mereka telah mendengar suara-suara anak muda yang mulai belajar untuk terbuka dan menyatakan segenap perasaannya.

Mari kita bersama melakukan hal yang serupa di Indonesia. Mari kita satukan tekad demi masa depan kita dan Indonesia yang lebih baik. Kami berjanji untuk menghentikan masalah kekerasan di kalangan remaja. Mari kita hentikan dating violence di negeri ini!

*) Akhmad Kusairi adalah Mahasiswa Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Peneliti pada Jaringan Islam Kampus.

Peperangan Bukan Karena Agama

Judul : BENARKAH AGAMA BERBAHAYA?
Pengarang : Keith Ward
Kategori : Keagamaan
Tanggal Terbit  : 31-08-2009
ISBN : 978-979-21-2300-5
Harga : Rp. 40.000,-
Ukuran : 125x200
Halaman : 272


Bukankah hidup kita akan lebih baik jika tidak ada agama di dunia ini? Inilah sebuah pertanyaan yang menyiratkan keprihatinan terhadap situasi relasi antar umat beragama pada saat ini.

Konflik-konflik horizontal yang terjadi di tengah masyarakat seringkali mengatasnamakan agama. Selain itu muncul pula kelompok-kelompok fundamentalis yang dibangun atas dasar kebencian. Mereka berusaha melawan ketidakadilan, ateisme, dan sekularisme dengan cara kekerasan tanpa pandang bulu.

Dalam beberapa situs berita atau blog, jika ada berita atau artikel yang berkaitan dengan unsur keyakinan, bisa dipastikan ada banyak posting komentar yang masuk dari pembaca. Komentar-komentar tersebut biasanya berisi argumentasi yang merujuk pada ayat-ayat kitab suci, perdebatan, bahkan saling tuding. Inilah representasi sikap segelintir umat yang berusaha “membela” agamanya.

Peperangan dan konflik yang terjadi dalam sejarah umat manusia sebenarnya bukan disebabkan oleh agama. Unsur agama biasanya tergabung dengan unsur non agama, yaitu sosial, etnis, atau politik yang menyebabkan terjadinya konflik atau peperangan.

Lantas apa yang salah dengan agama? Keith Ward antara lain menyebutkan tulisan-tulisan religius (kitab suci) dapat disalahgunakan dan diyakini untuk memperoleh dukungan moral atas kebencian dan intoleransi. Keyakinan yang salah pun bukanlah disebabkan oleh agama, melainkan sikap kebencian, keinginan berkuasa, dan pengabaian terhadap sesama makhluk hidup.

Penulis buku ini pun dengan tegas menyatakan bahwa agama tidak menuntun pada sesuatu yang tidak baik, sifat manusialah yang sebenarnya menuntun pada keburukan.

Willy Putranta

HERStory, Perjalanan Sejarah Payudara

Judul : HERStory, Sejarah Perjalanan Payudara 
Pengarang  : Naning Pranoto
Terbit : 17-04-2010
ISBN : 978-979-21-2606-8

Mengungkap Sisi Terang dan Sisi Gelap Perempuan
Secara fisik, yang membedakan perempuan dan laki-laki adalah payudara dan vagina. Dua hal itu melahirkan sejumlah persoalan semua perempuan
Buku ini karya Dra. Naning Pranoto, MA – merupakan tulisan reflekstif yang sangat unik. Dibaca sekilas terasa seperti kita sedang menikmati sebuah karya fiksi. Tetapi di dalamnya sangat sarat fakta yang diangkat dari kejadian-kejadian faktual dan historis.
Proses menulisnya, selain  hasil pengamatan lapangan dari kancah kehidupan konkrit masyarakat, ia pun melakukan penelitian literatur. Maka hasilnya adalah buku yang sangat mementingkan fakta, tetapi dipadu dengan semangat memotivasi kaumnya. Harapannya, kaum perempuan berhenti menangis dan merengek dan bangkit melakukan perlawanan demi pembebasan. Naning Pranoto sangat merindukan satu bentuk masyarakat di mana perempuan bukan lagi objek, tetapi subjek yang otonom dan bermartabat.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang sangat ekspresif dan komunikatif.

Sides Sudyarto DS
Sastrawan/Budayawan

 Terbit  dan Beredar 17 April 2010


Agenda Launching Buku


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger