Masih Harumkah Pulau Dewata?

Judul   : BALI YANG HILANG, Pendatang, Islam & Etnisitas di Bali
Pengarang  : Yudhis M.Burhanuddin
Terbit  : 19-07-2008
ISBN  : 978-979-21-1946-6
Harga  : Rp. 40.000,-
Halaman  : 216

Pada 14 Juni lalu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono membuka agenda tahunan pemerintah Propinsi Bali, Pesta Kesenian Bali (PKB). Dalam sambutannya, SBY mengatakan bahwa Bali adalah The Island of God, The Island of Thousands Temples, The Paradise Island, dan The Last Paradise di depan tamu-tamu penting dalam dan luar negeri.

Dalam konteks ini, Presiden tentu tidak mengada-ngada. Sebab, banyak kalangan, baik akademisi, seniman, maupun pengusaha memuji Bali demikian. Pujian ini terutama menyangkut kenyataan praktik dan kultur.  Clifford Geertz misalnya, terkagum-kagum dengan praktek ritual upacara keagamaan di Bali.

Menurutnya, “Orang Bali, yang terus-menerus mengangkat sesaji dari janur yang canggih, menyiapkan makanan-makanan yang rumit, menghiasi segala macam pura, berbaris dalam perarakan-perarakan massal, dan jatuh ke dalam trans tiba-tiba, tampak sangat sibuk mempraktikkan agama mereka daripada memikirkan (atau mencemaskan) agama itu sendiri.

Lalu apa yang membuat Bali memiliki taksu (kekuatan magis dari dalam) sehingga hampir semua kalangan terkagum-kagum? Kemudian, apa yang menyebabkan Bali terlihat lain dari yang lain, seperti Toraja, Yogyakarta, Manado, atau Papua sehingga turis-turis selalu berdatangan?

Salah satu yang membuat Bali unik adalah praktik ke-Hinduan-nya (Hindu Siwa-Siddhanta). Sebab, aset kultural ini—sebagian kecil sebagamana telah disebut di atas—membuat orang-orang seperti Spies, Geertz, Presiden, SBY dan turis-turis lainnya, terkagum-kagum. Karena itu, tidak heran jika Andrian Vickers, Akademisi University of Sydny, mengatakan bahwa Bali adalah kombinasi antara keindahan pantai dan iklim tropis yang dimiliki Tahiti di Pasifik Selatan dengan kelekan Timur dan ke-Hindu-an yang dimiliki bumi Bharata India.

Bukan Cuma itu, Rabindranath Tagore, sastrawan India lewat Gitanjali-nya meraih hadiah Noble Sastra 1913, konon pernah mengatakan ketika berkunjung ke Bali; “saya merasakan India, tapi saya tidak melihat India di sini”. Ungkapan Tagore ini menandakan bahwa meski Bali dilingkupi nilai-nilai Hindu, tapi ke-Hindu-an di Bali telah menyatu dengan kondisi alam dan sosiologi budaya masyarakatnya.

Ini disebabkan oleh  kemampuan masyarakat Bali menyerap, menyaring, dan memperbaharui  ide-ide yang datang dari luar sesuai dengan kondisi dirinya.Namun sayang, aset kultural berlandasan agama Hindu tersebut kemudian menyebabkan pembangunan dan pengembangan Pariwisata di Bali, sehingga (orang) Bali saat ini seolah-olah beridiri di dua kaki.

Jika kaki yang satu tetap menginjak di dunia religi, tradisi, dan kultur yang menjiwai agama Hindu. Sementara kaki yang satunya harus menginjak dunia modern dengan segala konsekuensinya. Akibatnya, pariwisata Bali saat ini lebih banyak berorientasi industrialisasi, meninggalkan pesan pendahulunya. Hal itu ditunjukkan Yudhis M. Burhanuddin dalam buku berjudul Bali Yang Hilang, Pendatang Islam dan Etnisitas Bali ini.

Menurut Yudhis, perkembangan Pariwisata, mau tidak mau, “mengundang” banyak orang untuk datang kepulau Bali. mereka berasal dari berbagai kalangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Diantara sekian yang datang itu, banyak diantaranya yang ingin mengais rezeki dari putaran roda ekonomi-pariwisata. dan lambat-laun, jumlah yang datang pun semakin menumpuk.

Menumpuknya orang yang datang ke Bali tersebut membuat pulau ini menjadi hetorigen. Namun demikian, Bali secara internal (dalam masyarakat Bali sendiri) juga bisa dibilang hetorigen. Pendapat ini dikemukakan Nengah Bawa Atmadja, Guru Besar Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.

Menurut Atmadja (2008), heterogenisitas masyarakat Bali ditandai dengan kenyataan banyaknya perbedaan soroh (garis keturunan) atau pun kasta (warna) kerena tidak sedikit lak-laki yang mengawini perempuan dari etnis dan agama lain, maupun perempuan Bali yang dikawini oleh etnis dan agama lain.

Maka, faktor kawin-mengawini inilah secara evolutif membuat masyarakatnya menjadi hetorigen.Secara global, Yudhis M. Burhanuddin membagi kontak budaya antara masyarakat Bali dengan masyarakat pendatang dalam buku setebal 213 halaman ini ke dalam tiga fese.

Fase pertama terjadi pada masa-masa awal datangnya utusan Majapahit yang terus berlangsung pada masa Pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan sampai ke masa pemerintahan Dalem Waturenggong dan sesudahnya. Selain itu, kontak budaya pada masa-masa Kerajaan Klungkung pun masih terjadi misalnya, pada periode Kerajaan Badung. Fese kedua terjadi pada masa-masa kolonial. Dan fese ketiga, terjadi pada masa-masa setelah kemerdekaan sampai booming-nya sektor kepariwisataan hingga sekarang.

Melihat realitas realitas kesejarahan itu, Bali adalah pulau yang terbuka bagi etnis, kultur, dan agama lain. sebab, masyarakatnya pun selalu bersikap inklusif. Dan selama ini, belum terdengar adanya gesekan-gesekan social antara masyarakat lokal dengan para pendatang yang berlatarbelakang etinis, kultur, maupun agama. Tapi, masyarakat lokal berinteraksi dengan baik dengan penduduk pendatang.

Orang Bali misalnya mnyebut orang islam dengan sebutan nyama selam (saudara islam). Selain itu, perbedaan-perbedaan yang ada tidak menjadi penting dengan adanya nilai lokal yang dipraktekkan masyarakat Bali salah satunya, menyamabraya: hidup berkerabat dan bermasyarakatYang terjadi justru sebaliknya. Bahwa masyarakat Bali yang bersikap inklusif tehadap pendatang itu, secara internal (sesama orang Bali ) seringkali terdengar berseteru, dan tidak jarang diakhiri dengan aksi saling serang.

Lihat saja misalnya, perkelahian antar pemuda yang menelan korban jiwa pada malam tahun baru 2008 di Dee Jay Music, Kuta, bentrok massa antarpendukung calon bupati (cabup) di Sukawati, Gianjar, yang meilbatkan salah seorang anggota Dewan  2008 lalu. Dan konflik-konflik terbuka lainnya (konflik adat), seperti pada malam Nyepi 2007 dan pada malam Nyepi 2008, atau konflik terbuka yang disebabkan afilisiasi partai tertentu, sebagaimana yang terjadi di Buleleng pada 2004 lalu.

Atas dasar fenomena di atas, bagi Yudhis, pariwisata Bali saat ini sangat tergantung pada keamanan, kedamaian, dan ketentraman. Syarat utama ini sekarang berada di pundak masyarakat Bali. Selain itu, masyarakat Bali juga dituntut untuk mempertahankan, melestarikan, dan menjaga (proteki) aset kultural (agama, tradisi, dan kebudayaan) yang menjadi kebudayaan dan diminati banyak turis. Bagaimana tidak, tradisi Hindu-Majapahit yang sudah menjadi fosil di Jawa kerena tergusur Islamisasi Kerajaan Demak, justru di Bali tradisi itu hidup dan lestari.

Atas dasar itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bila ingin melihat bagaimana kehidupan masyarakat Hindu-Majapahit dahulu, kurang-lebihnya lihatlah Bali sekarang.

*) Mahasiswa ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger