Menggagas Politik Berwajah Feminis

Judul       : Politik Berparas Perempuan
Editor     : Joni Lovenduski
Penerbit  : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan  : I, 2008
Tebal      : 340 halaman.

Diratifikasinya beberapa dokumen penting tentang perempuan merupakan tanda bahwa negara-negara di dunia menginginkan agar tata politik tak lagi menciptakan ruang diskriminasi terhadap perempuan. Paling tidak ada tiga dokumen standar internasional dalam menganjurkan persamaan antara perempuan dan laki-laki. Pertama, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), kedua, Platform Aksi Beijing PBB, dan yang terakhir Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325. Ketiga dokumen ini menjadi kekuatan untuk mendorong partisipasi perempuan di berbagai institusi sosial dan politik.
Wacana kuota adalah wacana yang tak bisa dilepaskan begitu saja ketika akan membicarakan tentang kaiatan politik dan perempuan. Dalam hal ini sudah ada kebijakan tentang partisipasi politik perempuan di parlemen. Untuk kasus Indonesia secara teori sudah dijamin dalam pelbagai peraturan. Namun pada praktiknya masih jauh dari harapan, apalagi jika mengetahui perwakilan perempuan dalam DPR hanya 9 % dari 51 % semua penduduk Indonesia.
Hal ini sangat ironis, karena persolan tersebut sudah diatur agar keterwakilan perempuan dalam dewan mencapai 30 %. Artinya secara kuantitatif keterwakilan perempuan dalam politik masih kurang. Bahkan di tingkat daerah perempuan hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Secara umum perempuan Indonesia sangat membutuhkan ruang yang lebih luas dalam mengakses hak politiknya, baik dalam ranah legislatif maupun eksekutif.
Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah mengapa partisipasi politik perempuan demikian rendah jika dibanding dengan laki-laki? Itulah pertanyaan yang akan dijawab dalam buku Politik Berparas Perempuan ini. Dengan referensi sekaligus data-data yang meyakinkan Joni Lovenduski, penulis buku ini berusaha menjawab persoalan seputar pertanyaan di atas. Secara umum alasannya terbagi dalam tiga hal.
Pertama, budaya patriarki yang belum sepenuhnya memberikan ruang secara luas kepada perempuan dalam bidang politik. Secara umum tradisi yang berkembang adalah yang memandang bahwa perempuan secara kodrati harus selalu dipimpin oleh laki-laki, bukan sebaliknya.
Kedua struktur yang tidak memberikan ruang akses pada perempuan. Bahkan struktur politik yang berkembang sekarang adalah struktur politik bias gender (laki-laki), sehingga secara salah menempatkan perempuan tak lebih sebagai kommplementer saja. Orang kebanyakan masih enggan memberikan kesempatan secara luas pada perempuan untuk berkarir di bidang politik.
Dan terakhir dan yang tidak disinggung penulis dalam buku ini adalah soal tafsir agama yang bias gender, sehingga banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan, kecuali keimanan yang membedakannya seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika menyerahkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!
Buku ini menurut penulisnya dimaksudkan menjadi suatu intervensi perdebatan-perdebatan mengenai politik perumpuan. Tujuannya adalah, pertama, menguji lagi argumen-argumen kesetaraan perwakilan politik antara perempuan dan laki-laki. Kedua, untuk melukiskan dan menjelaskan gerakan-gerakan dan pengaturan-pengaturan untuk meningkatkan perwakilan politik kaum perempuan di Inggris. Ketiga, untuk menempatkan perkembangan Inggris dalam konteks yang lebih luas, dengan meminta perhatian pada perkembangan serupa di negara-negara dan wilayah-wilayah lain di dunia ini. Tujuan keempat adalah menunjukkan fungsi yang tetap penting yang dimainkan lembaga-lembaga untuk menentukan hakikat perwakilan politik dan kemungkinan-kemungkinannya. Akhirnya, penulis meminta perhatian para ilmuwan politik akan pentingnya gender bagi studi politik. Saya harap campur tangan ini tidak hanya memberi inf ormasi dan memperluas diskusi mengenai metode-metode yang paling efektif untuk mencapai kesetaraan perwakilan perempuan dan menyediakan sumber daya-sumber daya bagi para pendukungnya, tetapi juga menambah tekanan untuk memasukkan gender ke dalam jalur utama ilmu politik. (Hal 29)
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Joni, buku ini menggunakan pendekatan bersifat diskursif yang berisi eksplorasi mengenai bagaimana memikirkan feminisasi politik. Konteksnya adalah konteks di mana klaim-klaim oleh kaum perempuan atas kehadirannya dalam perwakilan lebih sering terjadi, tersebar lebih luas dan lebih efektif, di mana kebijakan-kebijakan diskriminasi yang positif berkembang dan di mana sekurang-sekurangnya sejumlah kecil negara telah menikmati perwakilan politik yang seimbang antara perempuan dan laki-laki.
Menurut Joni lagi, untuk memahami feminisasi politik diperlukan memahami lembaga-lembaga di mana proses-proses itu terjadi. Eksplorasi Joni dirinci dalam sejumlah pertanyaan yang sejajar dengan proses-proses representatif. Dalam Bab 2 misalnya Joni membicarakan arti feminisasi politik, bagaimana kaum perempuan terlibat dalam politik dan bagaimana kita dapat mengharapkan perempuan membuat perbedaan. Dalam Bab 3, Penulis mempertimbangkan rintangan-rintangan bagi peningkatan jumlah perempuan dalam politik, dengan memperhatikan terutama contoh kasus di lnggris.
Dalam Bab 4 Joni membuat garis besar mengenai strategi-strategi yang telah digunakan untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut. Bab berikut penulisnya coba memperluas diskusi tersebut ke suatu laporan mengenai pengambilan kuota di Inggris dan Perancis. Serta bagian terakhir Penulis membicarakan akibat-akibat dari feminisasi politik dan menyimpulkan dengan meninjau ulang pertanyaan mengenai apa yang akan terjadi ketika jumlah perempuan meningkat.
Akhirnya dengan segala kelibihan buku buku ini Karena terbitnya di Inggris secara otomatis mebuat contoh kasusnya pun di Inggris, sehingga ada jarak antara realita yang terjadi di Inggris dan Indonesia. Walaupun penulisnya sudah bersusah payah untuk mengkontekkan dengan beberapa negara, tapi tetap saja membuat buku ini kehilangan relevansinya ketika mau dikonetkkan di Indonesia.
Terlepas dari kekuranganya, buku ini tetap menjadi referensi utama untuk kajian perempuan dan politik ke depan. Dengan analisis yang tajam penulis bisa melacak gerakan feminis perempuan gelombang pertama sampai ketiga. Kekuatan buku ini juga terasa pada analisisi sejarahnya. Sepertinya penulis benar-benar menguasai apa yang ditulisnya. Namun begitu faktor terjemahan sepertinya menjadi kendala tersendiri bagi ringan-tidaknya sebuah buku. Selamat membaca…!

*Akhmad Kusairi adalah Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan peneliti Pada The Al-Falah Institute Yogyakarta.


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger