Mendobrak Kebuntuan Proses Demokratisasi

Judul   : MELAMPAUI NEGARA HUKUM KLASIK, Locke, Rousseau, dan Habermas
Pengarang  : Reza A.A. Wattimena
Terbit  : 3/11/2007
ISBN  : 979-21-1586-2
Harga  : Rp. 40.000,-
Isi : 240 Halaman

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 meninggalkan banyak persoalan. Salah satunya adalah kesejahteraan masyarakat yang semakin terabaikan. Hal ini dikarenakan, bangsa Indonesia sedang mencari format yang tepat mengenai bentuk negaranya. Apakah negara hukum atau negara Islam sebagaimana yang akhir-akhir ini disuarakan oleh kelompok muslim puritan.

Bentuk negara hukum yang mendasarkan pada supremasi masyarakat sipil dan hukum yang dianut oleh Indonesia sekarang belum dapat menjamin berdiri negara yang berpihak kepada rakyat. Malah seringkali negara hukum klasik yang diterapkan di Indonesia menciderai proses politik dan demokratisasi. Hal ini jelas terlihat dengan banyaknya pejabat di negeri ini yang senang menumpuk kekayaan di atas penderitaan orang lain.

Keadaan ini tentunya harus segera dihentikan. Bangsa Indonesia membutuhkan format baru dalam bentuk atau sistem ketatanegaraannya. Yaitu sistem tatanegara atau negara hukum yang melampaui sistem negara hukum klasik.

Buku yang ditulis oleh staf pengajar di Universitas Atma Jaya Jakarta ini, ingin memberikan sumbang saran teoritis bagi kebuntuan proses demokratisasi di negara Indonesia. Hal ini menginggat begitu banyaknya persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Dalam konteks masyarakat majemuk seperti di Indonesia, menurut penulis buku yang sedang menyelesaikan studi S 2 di STF Driyarkara ini, filsafat politik dan hukum klasik sudah tidak dapat diterapkan, karena di satu sisi telah mereduksi otonomi individu pada kelompok atau komunitas tertentu, di sisi lain telah menekankan individu terlepas dari kelompoknya terlalu jauh sehingga yang tercipta adalah individu-individu yang egois.

Kedua kelemahan tersebut dapat ditemukan dalam paham republikanisme Rousseau, dan paham liberal yang dirumuskan oleh John Locke. Di samping itu paham hukum klasik belum secara jeli melihat deferensiasi kekuasaan seperti yang tengah terjadi dewasa ini. Negara kini hanyalah satu subsistem dari dua subsistem lainnya, yakni ekonomi bisnis kapitalis dan masyarakat sipil, yang ikut membentuk masyarakat majemuk.

Diferensiasi kekuasaan tersebut sungguh membuat variabel-variabel filsafat politik dan hukum klasik menjadi problematic untuk diterapkan. Adalah Jurgen Habermas yang kemudian memberikan terobosan teoritis bagi filsafat politik dan hukum klasik. Ia tetap setia dengan teori diskursusnya. Hanya kini teori diskursus tersebut, yang tadinya bergeraak di tataran teoretis etika umum diterjemahkan ke dalam konteks politik dan hukum.

Habermas berpendapat bahwa teori negara hukum klasik alam Plato tentang manusia besar (macro anthropos), tidak dapat lagi kita pegang karena masyarakat dewasa ini telah menjadi semakin kompleks dan terglobalisasi. Globalisasi ekonomi pasar menerjang batas-batas negara nasional.

Liberalisasi politik dan ekonomi menelurkan pluralitas gaya hidup dan orientasi nilai. Dengan kata lain, masyarakat menjadi sedemikian kompleks. Dalam situasi ini, negara mengalami situasi mirip seperti proses sekulerisasi yang dialami Gereja, yakni kehilangan monopolinya dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut publik.

Hal yang mau dikatakan dalam bagian ini sebenarnya adalah bahwa negara bukanlah satu-satunya pusat kedaulatan. Negara hanyalah salah satu pusat dari masyarakat kompleks dewasa ini (hlm. 137).

Lebih lanjut Habermas berpendapat negara harus dipandang bukan sebagai substansi kekuasaan yang menjadi penguasa seluruh masyarakat, melainkan dilihat sebagai komponen sistem sosial yang berdiri sejajar dengan komponen-komponen sistem lain dalam masyarakat, misalnya sistem kapitalistik.

Kehidupan sosial dewasa ini harus dilihat dalam tiga sudut yang sama kuat, yakni negara, pasar, dan masyarakat sipil. Pasar dan masyarakat sipil juga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan sosial sehingga tidak bisa seenaknya dipaksa tunduk di bawah regulasi-regulasi negara, bahkan dalam beberapa kasus, regulasi-regulasi negaralah yang tunduk di hadapan kepentingan pasar itu sendiri (hlm. 139-140).

Pemikiran cerdas Habermas mengenai negara hukum yang melampui negera hukum klasik dengan teori diskursusnya memang mampu menohok sistem negara hukum yang sudah ada. Akan tetapi, kritik Al. Andang dalam kata pengantarnya menyebutkan, pengandaian kosmologi Habermas bahwa dunia ini "banyak" atau plural tampak lebih sesuai dengan kenyataan zaman. Dunia tak lagi tunggal. Hanya saja, pengandaian kosmologi hukum Habermas tidak secara eksplisit mendobrak pengandaian hukum yang hierarkis.

Benar, consensus bisa menjadi legitimasi dari hukum yang berlaku, tetapi belum ditemukan jalan keluar bagaimana mengatasi ketegangan antara pengandaian kosmologi hukum yang hierarkis dengan pengandaian yang lebih bersifat "egaliter". Konkretnya, bagaimana misalnya mencari titik tengah dari pluralisme hukum yang ada di tengah masyarakat, yang setidaknya sementara ini lebih banyak menjadi kajian para antropolog. Teori Habermas pun belum secara tegas dan cukup tuntas memberi jawaban. (hlm. xx).

Walaupun demikian, buku yang didukung dengan teori filsafat yang cukup kaya ini layak untuk dibaca dan dikaji lebih lanjut.

*) Pembaca sedikit buku.

Jurnalnet.com (Jogja), 19/02/2008 - 16:23 WIB

Teruslah Bercerita

Judul   : MENYEBERANGI SUNGAI AIR MATA, Kisah Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi
Pengarang  : A. Sumarwan, S.J.
Terbit  : 22-05-2007
ISBN  : 978-979-21-1499-7
Harga  : Rp. 68.000,-
Isi : 408 Halaman



"Marilah kita terus berkisah", demikian tulis Elie Wiesel, "semua yang lain bisa menunggu. Marilah kita berkisah- itulah tugas utama kita.. sehingga kita ingat betapa rapuh manusia ketika berhadapan dengan kejahatan yang mengepung dari berbagai penjuru. Marilah kita berkisah sehingga para eksekutor tidak dibiarkan menjadi pemilik kata terakhir. Kata terakhir adalah milik korban. Terserah pada para saksi untuk menangkapnya, membentuknya, menyebarkannya, dan mengkomunikasikannya kepada yang lain."  (hal. 380)

Itulah yang kiranya dilakukan Antonius Sumarwan bersama beberapa temannya di dalam buku Menyeberangi Sungai Air Mata, Kisah Tragis Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi. Suatu buku yang dengan detil mendeskripsikan sekaligus mengajukan analisis terhadap pengalaman korban peristiwa negatif pasca G30S/1965.

Memang, salah satu tindakan yang paling sulit dilakukan oleh manusia adalah menghadapi trauma masa lalu yang pernah mencengkramnya, memasungnya, dan membuat dia seolah-olah menjadi tak berdaya lagi. Walaupun sulit dan penuh dengan duri, hal ini tetaplah mutlak diperlukan, karena hanya dengan dihadapilah suatu trauma akibat peristiwa negatif di masa lalu bisa direlakan.

Satu pendekatan yang menurut saya istimewa di dalam buku ini adalah bahwa Sumarwan menuliskan pengalaman korban, menganalisisnya, menulis refleksi pribadinya, dan mengajukan tuntutan etis moral atas semuanya itu dengan gaya yang sangat indah, lentur, lincah, dan seolah dekat dengan kita. Memang, bukan argumentasi yang ketat dan analisis yang rigor yang ingin dicapai penulis disini, tetapi kemampuan untuk menyentuh hati pembaca untuk mau ambil bagian dari perjuangan yang panjang dan berat, tetapi mutlak harus dilakukan. (hal. 11).

Seperti yang ditulis St. Sunardi di dalam pengantarnya, “buku ini menawarkan penulisan ulang sejarah atau kisah tidak secara kering, melainkan dengan keterlibatan penuh.” (ibid). Keterlibatan yang terkadang mengundang tangis dan penyesalan, tetapi merupakan pintu gerbang pembuka ke arah rekonsiliasi dan tanggung jawab yang tidak bisa ditawar menawar lagi.

Singkatnya, buku ini mengajak kita untuk bercerita. Bercerita mengungkap apa yang pernah terjadi namun, baik sengaja ataupun tidak, dilupakan begitu saja. Bercerita tentang apa? Tentang siapa?

Sebut saja namanya, Christina Sumarmiyati, Tin Wartinah, Surati yang salah ciduk, Cokrowiyono si kepala dusun, dan semua orang yang hidupnya pernah dalam satu titik aliran sungai sejarah disiksa oleh ketidakadilan rezim dan tuduhan politis yang tak manusiawi. Cerita mereka-mereka yang hampir tidak bisa melawan, ketika harus berhadapan dengan peristiwa yang sedikit pun tidak mereka kehendaki dan bayangkan akan pernah terjadi pada mereka. (hal. 55-159).

Ya, cerita para korban yang ditangkap, disiksa, dihukum tanpa pengadilan, dicap sebagai "setan", dan hampir tak ada satupun upaya nyata untuk mengembalikan harkat dan martabat mereka yang terinjak-injak oleh tangan berdarah rezim yang tak berperkemanusiaan. Membaca buku ini, saya jadi teringat refleksi Immanuel Kant, salah satu filsuf terbesar sepanjang sejarah filsafat, tentang filsafat moral.

Kant pernah menulis bahwa “bertindaklah selalu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia, baik dalam dirimu, maupun dalam diri segenap orang lain, selalu sekaligus sebagai tujuan, dan tak pernah semata-mata sebagai sarana” (Kant, Metaphysics of Morals, hal. 36). Artinya, setiap orang, siapapun dia, apapun latarbelakangnya, harus dipandang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan tidak pernah boleh digunakan sebagai alat bagi tujuan lain di luar orang itu sendiri.

Membaca buku tulisan Sumarwan ini, dan membandingkannya dengan kutipan yang langsung saya ambil dari tulisan Kant tersebut, hati saya jadi teriris rasanya. Narasi yang ada di dalam buku ini merupakan tanda bahwa kita selama ini masih memandang manusia sebagai alat untuk pencapaian kekuasaan, alat pembenaran tindakan kejam, sebagai alat untuk melanggengkan otoritas yang sebenarnya tidak sah, dan tidak pernah boleh menjadi sah selama darah dan daging manusia adalah harga yang harus dibayar.

Akan tetapi, janganlah kita terlarut dan terjebak dalam retorika penderitaan dan trauma negatif yang mungkin tidak ada ujungnya ini. 'Sahabatku', demikian tulis Sumarwan, “catatan ini tidak kumaksudkan untuk membawamu larut di dalam kesedihan” (hal. 207), tetapi mengajak kita untuk berjuang dengan hati, pikiran, kaki dan tangan kita untuk menjawab harapan para korban, mendampingi, dan berjuang untuk mereka.

Sumarwan mengajak kita untuk berani berharap menghadapi tantangan yang menghalangi di dalam proses perjuangan mengungkap kebenaran dan mewujudkan cita-cita rekonsiliasi serta akuntabilitas atas semua peristiwa pelanggaran HAM, terutama korban ’65. Namun, api di dalam dada haruslah tetap berkobar dan dijaga nyalanya dengan terus menerus tanpa kenal lelah menceritakan kisah-kisah korban yang terlupakan (hal. 380). Harapan indah yang butuh terus direalisasikan oleh kita semua, pembacanya.(*)

*) Peminat buku tinggal di Yogyakarta

Jurnalnet.com (Jogja), 20/02/2008 - 18:28 WIB

Memecah Kebuntuan Demokrasi Liberal

Judul   : MELAMPAUI NEGARA HUKUM KLASIK, Locke, Rousseau, dan Habermas
Pengarang  : Reza A.A. Wattimena
Terbit  : 3/11/2007
ISBN  : 979-21-1586-2
Harga  : Rp. 40.000,-
Isi : 240 Halaman



Sepeninggal Orde Baru, 21 Mei 1998, Indonesia segera memasuki fase yang disebut dengan "liberalisasi politik awal". Inilah fase yang ditandai oleh serba ketidakpastian dan karenanya dinamai secara teoritis oleh O’Donnell dan Schimitter –dalam bukunya Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian-- kurang lebih sebagai fase "transisi dari otoritarianisme entah menuju ke mana".

Ternyata, penerapan system Demokrasi liberal (liberalisasi politik) pasca lengsernya Orba, belum juga mampu menuntaskan berbagai problem kebangsaan yang kini melanda bangsa kita. Di samping itu, aspirasi rakyat pun tidak tersalurkan secara utuh. Sebab, prinsip dasar demokrasi liberal –sebagaimana yang diandaikan konsep Negara hokum klasik—adalah individu, masyarakat, ekonomi, dan kebudayaan harus berada di bawah (tunduk pada) kekuasaan negara. Jadi, kebebasan mereka masih terkungkung oleh dominasi Negara.

Karena itu, tak heran apabila persoalan-persoalan kebangsaan datang silih berganti. Mulai dari krisis moneter 1997, gesekan antar golongan/agama/suku, kenaikan BBM, bencana alam, pemanasan global, dan lain-lain. Semua persoalan itu mengindikasikan bahwa demokrasi liberal telah gagal (mengalami kebuntuan) untuk memecahkan persoalan bangsa dalam masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia ini.

Jika demokrasi liberatif sudah tidak mampu lagi memecah persoalan kebangsaan, maka Pertanyaannya adalah; demokrasi seperti apa mampu melakukannya?

Jawabannya hanya satu, yakni demokrasi deliberatif sebagaimana yang tersaji dalam buku ini. Buku berjudul Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-Habermas yang ditulis oleh Reza A. A. Wattimena, ini menyajikan konsep demokrasi deliberatif Jurgen Habermas secara komprehensif dan detil. Buku ini menawarkan demokrasi deliberatif yang di gagas Habermas sebagai solusi untuk memecah kebuntuan demokrasi liberal di negeri ini. Yang menjadi titik tolak penulis terhadap pandangan filsafat politik Habermas adalah Buku Jurgen Habermas yang berjudul Between Fact and Norms: Contribution to A Discourse Theory of Law and Democeacy yang menjadi sumber utama buku terbitan Kanisius ini.

Demokrasi deliberatif merupakan sebuah bentuk demokrasi yang menempatkan Negara dan masyarakat sebagai subjek, bukan objek sebagaimana konsep demokrasi liberal. Jadi, antara Negara dan warganya tidak ada yang memiliki otoritas paling besar. Keduanya memiliki atau memegang porsi kekuasaan yang sama. Kebijakan politis yang diambil pun harus melalui tindakan komunikatif antar keduanya. Itulah yang diandaikan Habermas dalam teori diskursusnya.

Dalam pengantarnya, penulis menjelaskan bahwa buku ini merupakan upaya penulis untuk memberikan sumbang saran teoritis bagi kebuntuan proses demokratisasi di Negara kita. Pada realitasnya, belakangan ini Indonesia mengalami begitu banyak persoalan yang sangat kompleks. Berbagai pesoalan tersebut, secara tidak langsung mengancam keutuhan NKRI. Bangsa Indonesia kini tengah berada di tengah-tengah badai krisis multidimensi yang berakibat pada terciptanya disintegrasi bangsa. (hlm v)

Menurut Reza, sudah saatnya bangsa Indonesia menggeser filosofi hukum Negara, dari demokrasi liberalis ke demokrasi deliberatif. Penulis berkeyakinan bahwa Konsep demokrasi deliberatif Jurgen Habermas mampu menciptakan integrasi social dalam ruang kemajemukan. Habermas, yang kita kenal sebagai penerus teori kritis mazhab Frankfurt dan juga penerus tradisi kritis marxisme, berusaha menerapkan tindakan komunikatif dalam proses demokrasi di Negara modern. Dengan metode diskursus yang ditawarkannya, Habermas berhasil melahirkan konsep filosofi hukum Negara yang lebih adil, jujur, dan seimbang; yakni demokrasi deliberatif.

Habermas dalam bukunya the Theory of Communicative Action mengandaikan bahwa kebijakan-kebijakan politis harus dilandasi dengan tindakan komunikatif. Demokrasi deliberatif adalah proses demokratisasi politis yang melibatkan semua pihak dalam mengambil kebijakan. Deliberasi yang diandaikan Habermas di sini adalah rasionalitas publik.

Dengan model demokrasi deliberatif bagi Negara hukum demokratis modern ini, Habermas telah menyumbangkan suatu model pemerintahan demokratis, yang legitimasinya diraih dari pengunaan rasio secara public oleh seluruh warga Negara. (hlm 170).

Bagi Habermas, Negara tidak hanya bertugas sebagai pengontrol hak-hak warga negaranya sebagaimana yang diandaikan Locke dalam "Negara kecilnya" atau Negara sebagai pemegang otoritas tertinggi sebagaimana Hobbes mengandaikannya dalam konsep "Negara besar". Tetapi, Negara dan rakyat adalah dua elemen yang memiliki hubungan erat. Di mana kebijakan dihasilkan dari proses komunikatif antar keduanya (demokrasi deliberatif).

Dalam filsafat politik dan hukumnya, Habermas lebih menekankan pada tindakan komunikatif (teori diskursus). Artinya, pemerintah dan masyarakat harus duduk bareng (musyawarah) untuk menentukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dengan begitu, kemajemukan dalam suatu bangsa tidak lagi menjadi hambatan bagi terciptanya integrasi social.

Di samping itu, Habermas juga berupaya mereformasi tatanan negara hukum demokratis, yang diandaikan sudah ada, melalui partisipasi dengan prinsip kesamaan dan otonomi social masyarakat sipil dalam proses penentuan kebijakan public berlandaskan teori dikursus. (hlm 6).

Buku ini sangat penting untuk di baca semua kalangan, baik akademisi, ahli politik dan kenegaraan, maupun masyarakat sipil. Sebab, pengandaian dasar Habermas, titik pijaknya, cakrawala, serta jalan keluar yang diusulkannya sehubungan probelmatika kebangsaan dipaparkan secara gamblang dan komprehensif oleh Reza dalam buku ini sebagai suatu sharing pengetahuan.

Akhirnya, semoga wacana filosofi hukum Negara yang ditawarkan Reza dalam buku ini mampu meredam problem kebangsaan yang kini tengah melanda Indonesia, dan juga dapat menciptakan integrasi bangsa dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Selamat membaca!

Jurnalnet.com (Jogja), 27/03/2008 - 06:40 WIB

Ekspresi Trend Model 2008

Judul   : FASHION TENDANCE 2008 AN EXPRESSION
Pengarang  : APPMI DIY
Terbit  : 8/12/2007
ISBN  : 978-979-21-1761-5
Harga  : Rp. 95.000,-
Isi : 112

“Dinamika masyarakat Jogja yang inspiratif memunculkan berbagai gaya yang tertuang dalam perpaduan sederhana tetapi kaya nuansa, sedikit berlebihan di satu sisi namun bersih di sisi lain. Juga garis maskulin nan gagah namun tetap feminin. Ada nilai-nilai budaya yang ditonjolkan, kehidupan sehari-hari yang bersahaja tetapi semarak dengan nansa artistik dan asimetris. Berbaur dengan suasana sentimentil dan nostalgik, berpijak pad ajati diri namun tetap terbuka pada perubahan.”

Beberapa garis kata tersebut menggambarkan sebuah keragaman gaya yang terangkum secara apik dalam kecenderungan tren model 2008, yang meliputi gaya naturalness, naive art, commoners, classic dan artistic.

Dari judul buku ini, An Expression Fashion Tendance 2008, kita langsung dapat memahami maksud di baliknya yaitu bahwa ada kecenderungan mode(l) di tahun 2008 ini dalam bentuknya yang lebih bersifat lokalitas, lebih berani dan tampil sangat variatif.

Buku yang setiap halamannya menampilkan foto-foto para model muda Jogja ini diperkuat oleh pendasaran prognosis dan analisis dari berbagai sumber yang intinya lebih mengutamakan kekayaan alam dan budaya Indonesia yang bersifat lokal dan inspiratif yang saling menyatu dalam ujud yang lebih fashionable.

Terbitnya buku ini tidak lepas dari acara yang dibesut oleh BPD (Badan Pengurus Daerah) APPMI (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia) DIY yaitu sebuah pergelaran  “Jogja Fashion Tendance 2008” yang diselenggarakan pada tanggal 8 September 2007 lalu dan diikuti oleh 14 anggotanya.

Dalam ajang inilah setiap anggota mempresentasikan ide, gagasan, dan kepiawaian mereka lewat karya-karya yang digelar dalam bentuk fashion show. Momentum itu begitu istimewa karena seluruh karya difoto dan dibukukan. Selain mengacu pada tujuan organisasi, yaitu mendorong berkembangnya dunia mode Indonesia, bagi pengurus APPMI DIY, suatu gagasan memang harus disampaikan seluas-luasnya.

Beberapa perancang busana yang cukup terkenal di Kota Gudeg ini mencoba, dengan gayanya masing-masing, untuk menampilkan kekhasannya dengan kombinasi warna, corak dan tekstur yang variatif dan ekslusif. Begitu kentalnya warna-warna mewah yang dipadu dengan lokalitas, sehingga kesan glamour dan modern tak lagi bisa dibendung. Beberapa desainer di bawah ini membeberkan bukti-bukti tersebut.

Syakur, salah satu perancang mode ini berusaha mengguratkan kesan kalem dan penuh kelembutan. Beberapa model memperagakan gay yang eksotik dan ketimuran tetapi tetap mempesona dan indah karena tidak kehilangan nuansa kemodernannya. Inilah yang membuat para model terlihat tampil cantik dan anggun.

Lia Mustafa, mencoba menampilkan ragam budaya lokal dengan kekhasan kain batiknya, yang dikombinasikan dengan kesan gelap yang eksklusif dan memancarkan kemewahan. Model seksi sepertinya menjadi kesan tersendiri di balik rancangan modenya. Meski begitu, ia tetap berusaha mempertahankan kesan lokal, eksklusif dan modern. Sebuah kombinasi yang selaras.

Christy, perancang mode ini punya kelebihan lainnya. Ia mencoba mengekspresikan nuansa “keterbukaan”. Ya, model tampil sedikit terbuka dan berani menonjolkan unsur-unsur keseksiannya. Tampak dari rancangan yang ditampilkan, kita bisa menilai kesan yang kuat akan hal itu. Kesan lain yang tergambar adalah nuansa (ke-)Barat(-an) yang sangat dominan, karena (lihat pada halaman 80) bentuk lokalitas tidak begitu kelihatan, sehingga tidak terbantahkan lagi kalau rancangan ini bisa dibilang “terpengaruh” oleh ciri khas barat.

Manik Puspita mencoba menampilkan keglamouran dengan corak garis dan kembangan yang dipadu secara ekspresif dengan nuansa gelap eksklusif. Sedangkan Ramadhani mencoba mengedepankan lokalitas budaya yang sepertinya “bukan-khas-Jogja”. Paduan selaras warna hitam dan merah serta krem, memperkaya kesan yang “ramai” dan tetap berbobot.

Buku ini menyajikan 140 rangkaian karya adibusana dari empat belas perancang yang tergabung dalam APPMI DIY. Para desainer, dengan kekhasan masing-masing, telah mempresentasikan karya-karya terbaik mereka. Kepada para pembaca dipersilahkan menikmati lembar demi lembar prasmanan mode-model-perancang yang sangat menawan dan mempesona. Salam ekspresi mode!***


*) Pecinta mode dan pembaca buku, pegiat Komunitas Aksara Yogyakarta (KAY).

Jurnalnet.com 28/03/2008 - 05:46 WIB

Wajah Sepak Bola Kita

Judul   : SEPAK BOLA TANPA BATAS
Pengarang  : Anung Handoko
Tanggal Terbit  : 29-11-2007
ISBN  : 978-979-21-1772-1
Harga  : Rp. 25.000,-
Isi : 160 Halaman


Tim nasional sepak bola Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri, menjadi tim Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia FIFA pada tahun 1938. Saat itu mereka masih membawa nama Hindia Belanda dan kalah 6-0 dari Hungaria, yang hingga kini menjadi satu-satunya pertandingan mereka di turnamen final Piala Dunia. Indonesia, meski merupakan negara besar dengan jumlah penduduk yang juga sangat besar, tidak termasuk jajaran tim-tim terkuat di AFC.

Di kancah Asia Tenggara sekalipun, timnas belum pernah berhasil menjadi kampiun Piala AFF (dulu disebut Piala Tiger). Prestasi tertinggi timnas 'hanya'-lah tempat kedua di tahun 2000, 2002, dan 2005. Di ajang SEA Games pun kita jarang meraih medali emas, yang terakhir diraih tahun 1991.

Di kancah Piala Asia, timnas meraih kemenangan pertama pada tahun 2004 di China setelah menaklukkan Qatar 2-1. Yang kedua diraih ketika mengalahkan Bahrain dengan skor yang sama tahun 2007, saat menjadi tuan rumah turnamen bersama Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Raihan 3 angka dari jumlah pertandingan yang sama (2-1 melawan Bahrain, 1-2 Arab Saudi, dan 0-1 Korea Selatan), terbukti tidak cukup untuk mengantar tim asuhan Ivan Kolev ini ke babak perempat final. Namun, perjuangan luar biasa anak-anak Tim Merah Putih dalam semua pertandingan patut diajungi jempol. Terutama saat melawan Arab Saudi (yang pada akhirnya meraih tempat kedua setelah Irak) dan Korea Selatan, dua tim langganan Piala Dunia yang notabene kekuatannya jauh di atas timnas.

Namun, sayangnya timnas tidak mampu lolos ke fase ketiga kualifikasi Piala Dunia 2010 setelah takluk secara mengecewakan di tangan Suriah dengan agregat 1-11. Timnas U-23 pun juga mengalami kegagalan di SEA Games ke-24 di Thailand; setelah takluk dari Thailand di pertandingan babak penyisihan grup yang terakhir.

Koreksi

Semangat nasionalisme terhadap suatu negara dan sepakbola acap kali berjalan berdampingan. Coba lihat saja, tatkala kesebelasan Inggris bertemu kesebelasan Argentina pada kejuaraan sepabola dunia misalnya, bisa dipastikan aroma nasionalisme menyeruak di sana. Duel musuh bebuyutan itu jelas akan mengingatkan kenangan dasyatnya perang Falkland ataupun Perang Malvinas (Bahasa Spanyol: Guerra de las Malvinas) di tahun 1982.

Jika Argentina berhasil menekuk kesebelasan Inggris misalnya, maka bisa dipastikan jutaan rakyat Argentina akan memadati jalan-jalan di Buenos Aires untuk merayakan kemenangan itu. Mereka akan menggibarkan bendera biru-putih dan menyanyikan lagu kebangsaan negeri Tanggo, seakan mereka merayakan kemenangan pasukan perang negaranya.

Tidak masuk akal memang, tapi itulah realitas yang terjadi, sepakbola kadang mampu menjadi sihir yang mampu membakar api semangat nasionalisme dalam jiwa manusia. Bahkan di Jerman, sepakbola mampu membangkitkan kembali semangat patriotisme dan nasionalisme banyak rakyat Jerman yang selama ini merasa inferior dengan ke-Jermanan-nya. Mereka malu dan super minder dengan sejarah kelam Nazi pimpinan Adolf Hitler yang demikian rasis itu. Tapi kini, setelah Jerman cukup perkasa di ajang sepakbola sejagat itu, mulai merambat rasa percaya diri rakyat Jerman.

Jutaan rakyat Indonesia lainnya, sangat merindukan suasana seperti yang dirasakan jutaan rakyat Jerman itu. Saya merindukan timnas sepakbola Indonesia mampu menggetarkan jiwa nasionalisme dan patriotisme 210 juta rakyat dari Sabang sampai Merauke ini, seperti yang dirasakan jutaan rakyat Jerman ketika melihat timnas sepakbolanya bertanding atas nama negara.

Mungkin saja kerinduan itu, juga menjadi kerinduan rakyat Indonesia lainnya. Namun jika melihat kenyataan mutu timnas sepakbola kita saat ini yang belum layak untuk dibanggakan. Jangankan untuk bersaing di ajang piala dunia, bersaing di tingkat Asean saja belum tentu berjaya timnas Indonesia.

Kualitas timnas memang tidak bisa mutu pemain-pemain yang ada di klub-klub sepakbola saat ini. Siapa pun sudah tahu hampir semua klub di Indonesia selalu mengandalkan APBD untuk kelangsungan hidupnya mengikuti kompetisi, sehingga untuk dijadikan sebagai klub sepakbola yang dikelola secara profesional masih sangat sulit.***


*) Peresensi adalah pemain sepakbola di kampung, penggila Futsal, aktivis K.H. Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT), Jakarta.

Evaluasi Satu Dekade Pasca Krisis Moneter

Judul  
SATU DEKADE PASCA-KRISIS INDONESIA, Badai Pasti Berlalu?
Pengarang 
Sri Adiningsih dkk
Terbit 
12/12/2007
ISBN 
978-979-21-1781-3
Harga 
Rp. 36.000,-
Isi
200 Halaman
Tumbangnya rezim Orde Baru di tangan kaum reformis telah mengakhiri kekuasaan otoriter rezim orde baru yang telah memimpin selama kurang lebih 32 tahun.. Spirit reformasi tahun 1997 yang dinyalakan para mahasiswa telah membakar kekuasaan otoriter sehingga kran demokrasi terbuka "selebar-lebarnya", juga telah membuka aib kekuasaan yang telah terstruktur rapi selama 32 tahun.

Krisis ekonomi tak mampu lagi dibendung, krisis kepercayaan tak bisa lagi ditahan dan krisis lain berkembang bak jamur dimusim hujan, sehingga kemudian muncul krisis multi dimensi yang menggerogoti bangsa Indonesia.

Krisis moneter yang telah merambat pada krisis kepercayaan, politik, ekonomi, budaya dan pada akhirnya menampilkan sosok krisis multidimensi, telah menghimpit masyarakat ke lembah jurang kemiskinan, memporak-poranda tatanan, truktur dan sendi-sendi ekonomi yang telah (kelihatan) mapan.

Krisis tersebut juga telah menyebabkan hutang luar negeri melonjak naik, sektor riil dan keuangan ambruk total, sehingga muncul akronim "kristal" (krisis total) dan "krismon" (krisis moneter). Hal ini merupakan sebuah sebab akibat dari sebuah kondisi yang tidak stabil dan disharmonis.

Malalui buku "Satu Dekade Pasca Krisis Moneter: Badai Pasti Berlalu", Sri Adiningsih, dkk. Mencoba mengevaluasi dan menghadirkan kembali potret dan situasi bangsa Indonesia yang berada dalam krisis berkepanjangan ini, yaitu krismon dan kristal.

Berbagai kasus dan tindak pidana yang bisa dikategorikan sebagai tindak criminal terus bergulir setiap waktu. Kasus BLBI, bencana-bencana kemanusiaan dan lain sebagainya menjadi menu utama bangsa Indonesia.

Dosa waris sejarah yang diwariskan orde baru tidaklah bisa diselesaikan and dihapus dengan "seremonial" semata, tetapi butuh sinergitas antara "seremonial" dan aplikasi dari agenda-agenda besar untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Di sisi lain himpitan ekonomi-politik juga telah meminggirkan umat manusia ke situasi lemah yang terkoyak di semua lini kehidupan. Situasi paradoks tersebut kadang menampilkan perilaku manusia yang saling bermusuhan (antagonistik).

Kita bersemangat untuk serba ingin lebih baik atau bagus pada kulit luar, minus substansi, kehilangan kejujuran yang alami, sekaligus mengandung politisasi di ruang publik yang beraroma kemunafikan.

Satu dekade pasca krisis ekonomi tidak memperlihatkan keadaan yang membaik dan stabil, tetapi melah semakin menjadikan situasi yang serba kacau dan tidak membaik.

Kasus kemiskinan semakin menganga lebar, padahal kita hidup dalam limpahan kekayaan, kasus kematian, busung lapar dan kekurangan gizi semakin menjalar di seluruh Indonesia, kasus bahan pangan dan kasus skadal BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia) telah menjadi menu utama bangsa Indonesia dan masih banyak lagi kasus yang sedang menjerat dan melilit pemerintahan Indonesia.

Hal ini merupakan sebuah fakta sosial-budaya, ekonomi, politik dan pendidikan yang menuntut untuk segera dicarikan jalan keluar (problem solving), karena kalau tidak kita tinggal menunggu tanggal main kehancuran bangsa Indonesia.

Semua problem dan dinamika kehidupan yang terjadi saat ini, merupakan kepanjangan tangan dari proyek besar krisis moneter dan krisis total, Karena keduanya memiliki implikasi yang jelas terhadap keadaan bangsa Indonesia saat ini.

Spirit yang ada dalam buku ini adalah bagaimana kita bangkit dari keterpurukan, baik dari aspek ekonomi, politik dan lain sebagainya. Dengan menganggap bahwa badai pasti berlalu. Hal ini akan benar-benar terjadi kalau semua elemen yang terkait dengan kenegaraan bersatu melawannya.

Walapun tercatat bahwa pada tahun 2004 Indonesia pernah tumbuh 7%, namun secara umum masih menunjukkan bahwa keadaan ini masih tidak bias menembus pertumbuhan ekonomi yang lebih baik lagi, Karena tahun 2005, Indonesia kembali dihantam dengan instabilitas ekonomi makro dan mikro yang mencapi 17% yang secara ekplisit dan implisit sangat berpengaruh pada sector riil dan kehidupan bangsa Indonesia.

Berbagai motor penggerak telah banyak dilakukan, seperti investasi dan industri. Namun masih berjalan lamban dan tidak efektif. Kekuatan ekonomi masih banyak yang digerakkan oleh sektor keuangan dan sektor non tradeable.

Buku yang ditulis oleh enam orang ini memiliki sense, kepekaan dan sensitif terhadap permasalahan yang terjadi di indonsia dalam meneropong perkembangan yang terjadi di buminya sendiri. Para penulis cukup tajam menganalisis dinamika dan perkembangan ekonomi sejak terjadinya krisis ekonomi (1997) sampai satu dekade (2007).

Lewat buku ini kita akan mendapatkan diskripsi yang jelas dan cukup detail mengenai dampak yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1997 serta upaya-upaya yang akan dilakukan untuk memulihkan kembali keadaan yang semakin kronis dan berbagai kendala yang akan dialami dalam mengatasi problem kesejahteraan bangsa. Disamping itu, kita juga akan diajak "berdebat" dengan diri sendiri bagaimana membangun negara melalui diri sendiri.

Buku ini sudah bisa dikatakan sebagai buku yang cukup komprehensif dan sistematis dalam memaparkan dan akurat dalam penjelasannya, karena buku ini bukan hanya berupa spekulasi dan argumen nol data. Buku ini dilengkapi dengan berbagai table data dan sumber yang otoritatif.

Sati dekade telah berlalu, namun krisis ekonomi, politik dan lain semacamnya masih berlari kencang dan reformasi masih belum selasai. Berbagai permasalahan masih menghadag jalan. Sektor riil, aspek materil dan non-materil masih berjalan lamban, ditambah dengan kwalitas dan kuantitas pembangunan ekonomi yang juga memburuk.

Maka satu dekade pasca krisis ekonomi bangsa Indonesia harus mampu menjadi pelajaran dan hikmah yang berharga, arif dan bijaksana agar kebangkitan ekonomi dapat dicapai sesuai dengan yang diinginkan dan agar badai pasti berlalu. Segala hal yang berpotensi menimbulkan instabilitas ekonomi harus ditangani dengan serius properly and timely.

Jangan sampai lagi ada krisis di tanah air ini, agar bangsa ini benar-benar mencapai cita-cita kemerdekaan. Ekonomi stabil, rakyat sejahtera. berpolitik dengan hati nurani, negara aman dan stabil, dan lain semacamnya.***

*) Juma' Darmapoetra adalah Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Kordinator Kajian Sosial- ekonomi pada Hasyim Asy'ariy Institute, Yagyakarta.

Jurnalnet.com, 01/04/2008 - 06:47 WIB

Satu Teologi, Seribu Agama

Judul   : PENGANTAR TEOLOGI AGAMA-AGAMA
Pengarang  : Paul F. Knitter
Terbit  : 26-02-2008
ISBN  : 978-979-21-1755-4
Harga  : Rp. 55.000,-
Isi : 320 Halaman

Perlu diakui, Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut paham pluralisme dalam beragama. Pluralisme di sini, diartikan sebagai menjunjung tinggi dan bersikap toleran terhadap eksistensi agama-agama lain. Dengan kata lain, eksistensi (keberadaan) agama-agama diakui oleh undang-undang. Disamping itu, Pancasila pada sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa", adalah salah satu bukti pengakuan negara atas lebih dari satu agama.

Melihat realita seperti itu, tentu hubungan antar agama di Indonesia sangat menarik untuk disimak. Pasalnya, dari enam agama (Islam, Katolik, Pretestan, Hindu, Budha, dan Konghucu) resmi negara, Indonesia memiliki potensi untuk menciptakan suatu komunitas religius yang dialogis. Artinya, suatu komunitas yang mampu mengayomi perbedaan (teologis) dari setiap agama. Memang, konsep interreligius semacam ini masih imagined (meminjam istilah Bennedict Anderson), namun peluang terciptanya komunitas religius dialogis tersebut sangat terbuka lebar.

Pluralisme atau pluralitas – yang sampai detik ini masih memicu pro dan kontra—merupakan suatu konsep yang mengakui kebenaran semua agama (secara teologis). Sikap anti (penolakan) terhadap pluralisme telah memicu lahirnya konflik agama, baik intern maupun lintas agama (interreligius). Konflik semacam itu, tak jarang kita temui di tubuh bangsa ini. Misalnya, konflik Poso, Ambon, Maluku, dll adalah contoh konkret tantangan pluralisme di Indonesia.

Secara histories, konflik-konflik itu tak lepas dari pemahaman atau kesadaran minim masyarakat akan pentingnya kerjasama, toleransi, dan hidup berdampingan dengan agama lain. Untuk mengatasi masalah tersebut, kesadaran tentang pluralisme harus ditanamkan sejak dini. Menurut Paul F. Knitter, untuk menciptakan hubungan antar agama tanpa konflik hanya ada satu jalan, yaitu dengan interreligius dialog.

Lantas, apakah mungkin menciptakan suatu komunitas tunggal yang tidak mengenal perbedaan teologis? Bisakah konsep interreligius dialog itu lahir dalam konteks realitas Indonesia sekarang ini?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang berusaha dijawab oleh Paul F. Knitter-- Guru Besar Teologi di Xavier University-- dalam buku ini. Buku yang berjudul Pengantar Teologi Agama-Agama, ini berusaha memberikan solusi alternative bagi kemandegan toleransi agama-agama di Indonesia saat ini.

Menurut Paul F. Knitter, menciptakan satu komunitas besar dari berbagai komunitas religius bukan pekerjaan mudah. Sebab, untuk mencapai hal itu yang pertama-tama harus dilakukan adalah menyadarkan masyarakat bahwa toleransi, kerjasama, dan hidup berdampingan dengan agama lain adalah penting. Oleh karena itu, melalui buku ini, ia berusaha menyadarkan masyarakat Indonesia, khususnya umat kristiani, akan pentingnya hidup berdampingan dengan agama lain.

Paul F. Knitter mencoba membangun kesadaran pluralisme (pluralitas) dengan mengawali dari umat kristiani. Meskipun buku ini memiliki nuansa kristiani yang sangat kental, akan tetapi spirit yang diusung melebihi dari itu, yakni kesadaran toleransi bagi setiap agama, baik Kristiani, muslim, hindu, budha, dll. Oleh karena itu, kehadiran buku ini sangat penting mengingat kondisi kesadaran toleransi umat beragama di negeri ini mengalami degradasi.

Factor fundamental penyebab kemunculan konflik agama antara lain; sikap intoleransi, sentimen keagamaan, arogansi keagamaan, truth claim, dan fanatisme agama. Bagi Paul, factor-faktor tersebut dapat diminimalisasi atau bahkan dilenyapkan dengan menciptakan suatu komunitas religius yang dialogis. Dimana satu agama dengan agama lain hidup berdampingan, rukun dan bekerjasama.

Buku ini mengingatkan kita akan dua hal, yakni peringatan dan undangan. Pertama, buku ini mencoba mengingatkan umat kristiani (tetapi bukan hanya umat krisitani) akan adanya kewajiban untuk bersikap serius terhadap agama-agama lain, lebih memahami mereka, berdialog dengan mereka, dan bekerjasama dengan mereka.

Kedua, buku ini ingin menunjukkan berbagai keuntungan yang membuat hidup ini lebih bermanfaat dan iman makin diperkuat karena berkomunikasi dengan dan belajar dari sesama yang beragama lain. Untuk menapaki jalan imannya sendiri, seseorang perlu berjalan bersama umat lain.

Dalam pandangan Paul F. Knitter, agama-agama di dunia ini harus bersekutu (bersatu), bukan untuk membentuk suatu agama tunggal (absolut), tetapi suatu komunitas dialogis dari antara berbagai komunitas. Pasalnya, citra agama masa depan tidak hanya diperlihatkan dalam foto-foto kegiatan gereja, sinagoga, pura, dan masjid. Tetapi dalam apa yang dunia saksikan dan ribuan orang alami di Parlemen Agama-Agama Sedunia (World Parliament of Religions) di Chicago 1993 dan di Cape Town tahun 1999. Dalam kumpulan itu, para tokoh agama besar dunia menekankan akan pentingnya kerjasama antar agama-agama. (hlm. 9).

Secara teoritis, inti dari konsep yang ditawarkan Paul itu terletak pada dialog agama-agama. Tanpa dialog, mustahil akan terwujud suatu hubungan harmonis antar pemeluk agama. Untuk itu, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menciptakan suasana dialog dalam realitas pluralisme agama seperti Indonesia?

Menurut Leonard Swidier, ada beberapa prinsip dasar dialog yang harus diperhatikan, yakni menghilangkan pre-persepsi, kejujuran dan kesalingmengertian, tidak buruk sangka, terbuka, mampu menerima perbedaan (pendapat), par cum pari, mutual trust, self-critical, dan empati terhadap agama lain.

Prinsip-prinsip tersebut merupakan kunci bagi terwujudnya suatu komunitas religius yang dialogis sebagaimana diandaikan Paul F. Knitter. Untuk konteks Indonesia, buku ini perlu diapresiasi guna menumbuhkan kesadaran akan signifikansi kerjasama antar agama-agama.

Sungguh menarik membaca buku setebal 293 halaman ini. Selain menambah wacana (pengetahuan) tentang pluralisme agama, buku ini juga berusaha menjawab tantangan pluralisme agama itu sendiri, seperti konflik, intoleransi, truth claim, dan lain-lain. Untuk itu, buku ini penting dibaca guna mencari solusi bagi persoalan-persoalan pluralisme agama di negeri ini. Akhirnya, semoga kehadiran buku ini bisa mewujudkan agama masa depan tanpa konflik. selamat membaca!***

*) Alumnus PP Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Madura

Jurnalnet.com 30/04/2008 - 10:02 WIB

Mengembalikan Fitrah Agama

Judul   : AGAMA-AGAMA DUNIA
Pengarang  : Michael Keene
Terbit  : 31-08-2006
ISBN  : 979-21-1044-5
Harga  : Rp. 90.000,-
Isi : 196
Benarkah agama sering kali dijadikan alasan untuk berbuat kekerasan? Tidakkah pesan agama itu sampai dalam hati manusia? Masihkah agama mempunyai peran dan makna signifikan di zaman yang semakin sekuler seperti sekarang?

PADA dasarnya suatu agama mengkonstruksikan serangkaian gagasan, nilai, dan norma yang harus (wajib) diyakini dan dipraktekkan oleh umatnya. Ketiga unsur tersebut merupakan pengetahuan dalam kesadaran manusia yang berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan dunia kehidupannya, sehingga apa yang tampak dalam realitas obyektif menjadi suatu yang integral dan benar-benar menjadi realitas built in dalam kesadaran subyektifnya.

Agama adalah semesta makna, meminjam istilahnya Berger, kekuatan yang ikut mengkonstruksikan kesadaran dan pengetahuan manusia sehingga sesuai dengan isi kandungan nilai dan norma ajaran agama tersebut.

Selain itu, secara obyektif agama juga mengkonstruksikan kesadaran dalam diri manusia, yang merupakan sisi subyektif dari nilai dan norma agama, ke dalam bentuknya yang obyektif, yang terlepas dari eksistensi manusia. Dalam bentuknya yang obyektif ini, nilai, norma, dan segala gagasan yang ada dalam suatu agama mewujudkan dirinya dalam bentuk lembaga-lembaga social berkeadilan.

Saat ini terdapat enam agama dan lima kepercayaan besar di dunia, yaitu Hinduisme, Yudaisme, Buddhisme, Kristianitas, Islam, Sikhisme, Konfusianisme, Taoisme, Zoroastrianisme, Shintoisme, dan Kepercayaan Baha’i, di luar kepercayaan tradisional lain yang dianut oleh ribuan suku bangsa di berbagai pelosok bumi.

Tiga agama besar tertua, Hinduisme, Yudaisme, dan Buddhisme, eksis jauh sebelum zaman Masehi. Sementara Kristianitas, Islam, dan Sikhisme hadir kemudian. Seluruh agama besar tersebut tetap hidup hingga kini di tengah peradaban dunia yang kian sekuler akibat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sistem ekonomi global yang begitu cepat.

Masing-masing agama tersebut mempunyai pesan dasar yang berguna untuk membangun perdamaian dan keadilan sosial. Ajaran untuk berbuat baik bagi sesama, menjauhkan dari perbuatan nista. Kenistaan diartikan sebagai kerusakan bagi diri sendiri, orang lain, dan kerusakan bagi bumi tempat berpijak.

Namun dalam realitas kekinian, agama-agama tersebut yang mempunyai salam perdamaian, doa penuh kasih, serta ajaran cinta dan mengajarkan manusia untuk saling menghargai ini ternyata juga bisa memunculkan pengikut agama yang suka dengan kekerasan, bahkan menimbulkan konflik yang berkepanjangan antra-kelompok maupun agama. Bahkan pula, banyak nyawa manusia dan harta hilang karena konflik antar penganut aliran yang berbeda dalam satu agama yang sama.

Banyak faktor yang melatarbelakangi timbulnya konflik antar penganut agama itu, diantaranya; adanya ketimpangan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Ketimpangan-ketimpangan inilah yang seringkali mendorong manusia menggunakan agama sebagai dasar bertindak, termasuk agama dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan. Padahal secara asali, agama mengajarkan kepada pemeluknya pesan-pesan perdamaian dan toleransi antar-umat beragama. Dengan begitu, melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama jelas tidak dibenarkan oleh agama manapun.

Maka dari itu, kehadiran buku monumental karya Michael Keene, Agama-Agama Dunia ini menyajikan pesan-pesan agama dunia yang secara komprehensif memuat nilai ajarannya yang sangat kompleks. Dalam hal ini, benih-benih perbedaan dalam agama menurut Keene, merupakan karunia dari Tuhan yang harus disyukuri dan dilestarikan agar perdamain dunia dapat tercapai.

Bukan sebaliknya, kontraproduktif wacana mengenai keberagamaan dijadikan tameng kengerian hidup di dunia karena merebaknya konflik atas nama agama. Karen Amstrong dalam bukunya The Great Transformation menunjukkan bahwa pada dasarnya setiap insan di dunia tentu mendambakan kehidupan yang damai, bersifat religius dan spiritualistik. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang selalu merindukan sesuatu yang ada di luar keberadaannya sendiri. Sesuatu yang bersifat trandensental.

Dengan demikian, berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya konflik baik internal seagama maupun antar-umat beragama, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, implementasi dari faham keagamaan yang sempit. Pemahaman yang sempit itu makin dipicu dengan adanya berbagai ketimpangan; sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik. Ketimpangan ini yang menurut Karen harus dihilangkan agar tercipta masyarakat dunia yang harmoni.

Kedua, kurangnya kesadaran bersikap toleransi antar umat beragama. Sikap egoisme dan fanatisme berlebihan terhadap kepercayaan tertentu membuat pemeluk agama lupa bahwa dirinya adalah makhluk pribadi sekaligus insan sosial. Ketiga, Sifat kodrati manusia yang memang tak pernah puas terhadap apa yang telah diraihnya. Akibatnya, keserakahan telah menutup mata kemanusian makhluk yang bernama manusia. Tak heran jika kemudian di berbagai tempat tertentu kaum minoritas merasa "terpenjara" oleh keserakahan manusia yang gila akan kuasa.

Akhirnya, buku ini dapat mengantarkan kita pada pemahaman agama sebagai landasan pacu perdamaian. Michael Keene memperkenalkan berbagai agama dan kepercayaan besar yang dianut sebagian besar penduduk di dunia sebagai modal pembangunan perdamaian dunia. Apalagi di tengah ketegangan antara dunia Barat dan dunia Timur akhir-akhir ini yang mengarah pada “sentimen keagamaan”. Karena itu, disinilah kita berharap agar konflik yang mengatasnamakan agama harus segera dihentikan.

Kelebihan dari buku ini, selain pola penyajiannya yang begitu gampang dan mudah untuk dicerna oleh pembaca awam, juga menampilkan simbol-simbol ritual setiap agama. Membaca buku Keene tidaklah seruwet Huston Smith dalam menyajikan buku yang hampir sama berjudul Agama-Agama Manusia. Gaya tulisan Keene begitu lancar dan mengalir apa adanya dengan mengunakan bahasa keseharian. Selamat membac

*) Andi. Andrianto, PU LPM RHETOR, Mahasiswa KPI UIN Suka Yogyakarta

Jurnalnet.com (Jogja),(07/06/2008 - 11:08 WIB)

Counter Culture dalam Menumpas Bandit Berdasi

Judul   : BANDIT BERDASI KORUPSI BERJAMAAH, Merangkai Hasil Kejahatan Pasca-Reformasi
Pengarang  : Suhartono W. Pranoto
Tanggal Terbit  : 15-04-2008
ISBN  : 978-979-21-1810-0
Harga  : Rp. 37.000,-
Isi : 218 Halaman



Korupsi merupakan fakta sosial, ekonomi, politik dan budaya yang telah menggurita dalam kehidupan perpolitikan dunia, mendarah daging, sublim dan bagian dari kepribadian manusia (elit pemerintah).

Korupsi telah merusak seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa, mengahancurkan moral bangsa dan menimbulkan kemiskinan yang absolut dan terstruktur, karena korupsi tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal dan bahkan sampai di tingkat global. Korupsi juga telah menghambat upaya bangsa untuk meningkatkan peradaban (civilized) yang gemilang guna memiliki daya saing tinggi dengan bangsa lain di seluruh belahan bumi (dunia).

Korupsi tidak hanya memporak-porandakkan perekonomian bangsa, tetapi juga telah merusak moral masayarakat, korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan elit politik terhadap masyarakat. Para elit politik dalam semua lebel tingkatan telah mengajarkan rakyatnya untuk melakukan tindakan korupsi. Hal ini terlihat jelas ketika terjadi pemilihan-pemilihan umum, entah itu Pilkades, Pilkada, Pilgub Dan Pemilihan Presiden dan lain sebagainya.

Kalau peristiwa holocaust adalah peristiwa pembantaian, pemusnahan manusia (Yahudi) di masa silam, maka korupsi adalah pembantaian moral, pembunuhan kejujuran dan pemusnahan harapan bangsa di masa yang akan datang (masa depan).

Korupsi telah berdampak pada hilangnya sense of humanisme (rasa kemanusiaan) dan peradaban manusia terancam akan musnah, akal pikiran berpolitik rusak. Penyakit ini tidak hanya terjadi dalam satu negara an sich, tetapi gejala ini telah merata dan menjadi fenomena dan persoalan global atau internasional.

Dari tahun ke tahun, dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lain, tindak kriminal semakin mengalami perkembangan dan kemajuan bahkan semakin kuat mengakar. Maka jelas tampak bahwa kuatnya kejahatan korupsi terjadi karena adanya kombinasi dari born to corrupt dan creative to corrupt. Budaya korupsi memang sudah ada dan lebih banyak merupakan cultural heritage dan terlebih lagi dengan creative coruption sehingga korupsi bukan hanya biasa tetapi makin canggih sejalan dengan perkembangan budaya hal informasi teknologi tinggi.

Melalui buku "Bandit Berdasi; Korupsi Berjamaah" Suhartono W. Pranoto mencoba mendiskripsiskan dan menganalis kejahatan papan atas yang dalam istilah mutakhir disebut sebagai Bandit Berdasi (BB) atau white collar crime yang telah meresahkan semua pemerintahan selama republik ini berdiri sampai sekarang.

Kejahatan semacam ini merupakan kejahatan yang luar biasa ganasnya, dimana ada estimasi bahwa kejahatan semacam ini akan dapat melumpuhkan dan melemahkan semua sendi dan aspek kehidupan negara. Adanya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dipandang sebagai salah satu alasan dari terpuruknya keadaan negara yang tidak kunjung selasai menyelesaikan krisis multikompleks.

Tidak salah kemudian, kalau tahun 2003, IMF melalui ransparency Interntional (TI) di Berlin, menobatkan Indonesia sebagai negara dan bangsa terkorup no 6 di dunia dari 133 negara di dunia yang ditelitinya. Kemudian pada tahun 2004 bangsa Indonesia dinobatkan sebagai bangsa terkorup no 5 dari 146 negara yang diteliti TI.

Hal ini dilihat dari penyelesaian kasus KKN di Indonesia masih sangat lemah. Pemerintahan SBY-JK yang dalam program 100 hari katanya akan menyelesaikan kasus karupsi, tetapi tidak menunjukkan kejelasan yang pasti bahkan kejahatan dan KKN semakin meraja lela.

Fakta korupsi di Indonesia yang semakin menggurita dan semakin banyak terjadi telah menjadikan Indonesia menjadi negara terkorup no. 3 dunia dan no. 1 Asia (2007). Dalam hal ini, maka diperlukan perangkat yang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi, karena selama ini jalan hukum telah ditempuh namun hasilnya masih jauh, KPK seperti harimau tanpa taring.

Indonesia masih tereduksi oleh budaya yang namanya uang. Sehingga kemudian muncul istilah "Kasih Uang Habis Perkara" (KUHP). Hal ini dilihat dari fenomena yang selama in terjadi dimana ketika pencuri kelas bawah (blue collar crime) atau kejahatan kerah biru maka hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman yang sangat berat, tetapi ketika kejahatan itu dilakukan oleh orang yang "beruang" dan orang yang sudah berkaliber (white collar crime) maka mereka akan bebas tanpa ada hukuman yang setimpal.

Kejahatan yang dilakukan para bandit berdasi merupakan kejahatan yang diwariskan oleh budaya feodal yang kemudian dilestarikan oleh budaya neo-feodal, sehingga korupsi menjadi bagian yang integral dan terbesar dari para elit yang masih berkembang dan eksis sampai saat ini. Dimana budaya feodal telah menjustifikasi para elit politik dalam usaha meloloskan diri dari jeratan hukum. Dimana kejahatan para bandit berdasi merupakan kejahatan korporasi yang mencakup pengertian organizational crime, organized crime, business crime, sindicate crime, georganiseerdemisdaad, groepcriminaliteit, misdaad onderdeming.

Melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, maka pemahaman akan cakrawala korupsi yang dilakukan para bandit berdasi (BB) diperlukan perangkat pemahaman budaya bangsa yang holistik-komprehensif karena budaya korupsi sudah menjadi fondasi yang memiliki akar historis berabad-abad sebelumnya, sejak sebelum kemerdekaan sampai saat ini.

Oleh karena itu diperlukan budaya bersih dan disiplin tinggi. Kombinasi dan kolaborasi dari keduanya itu diperkirakan akan menjadi alternatif yang solutif dalam memberantas dan membersihakan penyakit korupsi yang diwariskan oleh para bandit sejak masa silam (dari kakek, ayah sampai ke anak-anaknya) yang telah menjadi penyakit kronis bangsa Indonesia.

Buku ini akan mendiskripsikan bagaimana memberantas warisan budaya korupsi dengan perspektif filsafat kebudayaan, karena mengingat bahwa kebudayaan hanya bisa dilawan dengan kebudayaan (counter culture) dan kejahatan hanya bisa dilawan dengan kejahatan, begitu seterusnya.

Penulis pada penutupnya akan memberikan jawaban atas pemberantasan korupsi melalui pendekatan budaya yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK dengan program 100 harinya. Buku ini akan sangat representatif terhadap bangsa indonesia yang "sakit kemiskinan" yaitu dalam rangka melepaskan diri dari budaya korupsi yang telah menyebabkan bangsa ini berada dalam krisis berkepanjangan yang kunjung menemukan jalan keluar.***

* Juma’ Darmapoetra adalah Kordinator Kajian Sosial- Ekonomi pada Hasyim Asy’ary Institute, Yagyakarta.
Jurnalnet.com (Jogja),(10/06/2008 - 04:31 WIB)

Wajah Sepak Bola Kita

Judul   : SEPAK BOLA TANPA BATAS
Pengarang  : Anung Handoko
Terbit  : 29-11-2007
ISBN  : 978-979-21-1772-1
Harga  : Rp. 25.000,-
Isi : 160 Halaman


Tim nasional sepak bola Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri, menjadi tim Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia FIFA pada tahun 1938. Saat itu mereka masih membawa nama Hindia Belanda dan kalah 6-0 dari Hungaria, yang hingga kini menjadi satu-satunya pertandingan mereka di turnamen final Piala Dunia. Indonesia, meski merupakan negara besar dengan jumlah penduduk yang juga sangat besar, tidak termasuk jajaran tim-tim terkuat di AFC.

Di kancah Asia Tenggara sekalipun, timnas belum pernah berhasil menjadi kampiun Piala AFF (dulu disebut Piala Tiger). Prestasi tertinggi timnas 'hanya'-lah tempat kedua di tahun 2000, 2002, dan 2005. Di ajang SEA Games pun kita jarang meraih medali emas, yang terakhir diraih tahun 1991.

Di kancah Piala Asia, timnas meraih kemenangan pertama pada tahun 2004 di China setelah menaklukkan Qatar 2-1. Yang kedua diraih ketika mengalahkan Bahrain dengan skor yang sama tahun 2007, saat menjadi tuan rumah turnamen bersama Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Raihan 3 angka dari jumlah pertandingan yang sama (2-1 melawan Bahrain, 1-2 Arab Saudi, dan 0-1 Korea Selatan), terbukti tidak cukup untuk mengantar tim asuhan Ivan Kolev ini ke babak perempat final. Namun, perjuangan luar biasa anak-anak Tim Merah Putih dalam semua pertandingan patut diajungi jempol. Terutama saat melawan Arab Saudi (yang pada akhirnya meraih tempat kedua setelah Irak) dan Korea Selatan, dua tim langganan Piala Dunia yang notabene kekuatannya jauh di atas timnas.

Namun, sayangnya timnas tidak mampu lolos ke fase ketiga kualifikasi Piala Dunia 2010 setelah takluk secara mengecewakan di tangan Suriah dengan agregat 1-11. Timnas U-23 pun juga mengalami kegagalan di SEA Games ke-24 di Thailand; setelah takluk dari Thailand di pertandingan babak penyisihan grup yang terakhir.

Koreksi
Semangat nasionalisme terhadap suatu negara dan sepakbola acap kali berjalan berdampingan. Coba lihat saja, tatkala kesebelasan Inggris bertemu kesebelasan Argentina pada kejuaraan sepabola dunia misalnya, bisa dipastikan aroma nasionalisme menyeruak di sana. Duel musuh bebuyutan itu jelas akan mengingatkan kenangan dasyatnya perang Falkland ataupun Perang Malvinas (Bahasa Spanyol: Guerra de las Malvinas) di tahun 1982.

Jika Argentina berhasil menekuk kesebelasan Inggris misalnya, maka bisa dipastikan jutaan rakyat Argentina akan memadati jalan-jalan di Buenos Aires untuk merayakan kemenangan itu. Mereka akan menggibarkan bendera biru-putih dan menyanyikan lagu kebangsaan negeri Tanggo, seakan mereka merayakan kemenangan pasukan perang negaranya.

Tidak masuk akal memang, tapi itulah realitas yang terjadi, sepakbola kadang mampu menjadi sihir yang mampu membakar api semangat nasionalisme dalam jiwa manusia. Bahkan di Jerman, sepakbola mampu membangkitkan kembali semangat patriotisme dan nasionalisme banyak rakyat Jerman yang selama ini merasa inferior dengan ke-Jermanan-nya. Mereka malu dan super minder dengan sejarah kelam Nazi pimpinan Adolf Hitler yang demikian rasis itu. Tapi kini, setelah Jerman cukup perkasa di ajang sepakbola sejagat itu, mulai merambat rasa percaya diri rakyat Jerman.

Jutaan rakyat Indonesia lainnya, sangat merindukan suasana seperti yang dirasakan jutaan rakyat Jerman itu. Saya merindukan timnas sepakbola Indonesia mampu menggetarkan jiwa nasionalisme dan patriotisme 210 juta rakyat dari Sabang sampai Merauke ini, seperti yang dirasakan jutaan rakyat Jerman ketika melihat timnas sepakbolanya bertanding atas nama negara.

Mungkin saja kerinduan itu, juga menjadi kerinduan rakyat Indonesia lainnya. Namun jika melihat kenyataan mutu timnas sepakbola kita saat ini yang belum layak untuk dibanggakan. Jangankan untuk bersaing di ajang piala dunia, bersaing di tingkat Asean saja belum tentu berjaya timnas Indonesia.

Kualitas timnas memang tidak bisa mutu pemain-pemain yang ada di klub-klub sepakbola saat ini. Siapa pun sudah tahu hampir semua klub di Indonesia selalu mengandalkan APBD untuk kelangsungan hidupnya mengikuti kompetisi, sehingga untuk dijadikan sebagai klub sepakbola yang dikelola secara profesional masih sangat sulit.***


*) Peresensi adalah pemain sepakbola di kampung, penggila Futsal, aktivis K.H. Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT), Jakarta.

Potret Multikulturalisme Asia Tenggara

Judul   : POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat Realitas Kebangsaan
Pengarang  : Robert W. Hefner
Terbit  : 30-05-2007
ISBN  : 978-979-21-1664-9
Harga  : Rp. 80.000,-
Halaman  : 500
Menurut Prof Dr. Bakdi Soemanto, Multikulturalisme adalah pandangan saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan dan bukan sekadar toleransi. Adalah sebuah Sikap yang sangat sulit terwujud dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia. Pasalnya, masyarakat kita belum siap secara mental menerima kemajemukan. Beragam gesekan atau konflik antar etnis, agama, gender,suku, maupun budaya yang masih berkelanjutan menjadi bukti ketidaksiapan masyarakat kita menerima perbedaan.

Perlu diakui, Indonesia, sebagai salah satu Negara multikultur di Asia Tenggara, telah mengundang banyak intelektual untuk meneliti, mengamati, dan mempelajari kehidupan pluralitas masyarakat kita. Mulai dari pluralitas etnis, agama, budaya, hingga kewarganegaraan.

Buku berjudul Politik Multikulturalisme, Menggugat Realitas Kebangsaan yang dieditori oleh Robert W. Hefner, ini memotret kehidupan masyarakat pluralis di tiga Negara majemuk di Asia Tenggara, yakni Singapura, Malaysia, dan Indonesia. kenapa tiga Negara ini dipilih? Alasannya sangat sederhana, yaitu karena Malaysia, Singapura, dan Indonesia memiliki sejarah perkembangan multikultur yang sangat pesat dan masing-masing mempunyai keunikan. Persinggungan antara orang-orang melayu "pribumi" versus cina "pendatang", menjadi keunikan tersendiri dalam kajian etnisitas dan etnoreligius di Negara tersebut.

Buku berbentuk bunga rampai ini, merupakan hasil dari proyek penelitian dan pelatihan yang diorganisir oleh Robert W. Hefner, dengan bantuan Ford Foundation dari tahun 1998 sampai 2000, dengan judul "Southeast Asian Pluralisms: Social Resource for Civility and Participation in Malaysia, Singapore, and Indonesia."

Menurut Robert W. Hefner, tujuan penelitian ini adalah untuk mendorong kaum intelektual di Malaysia, Singapura, dan Indonesia untuk merenungkan tantangan pluralisme etnis, religius, dan gender bagi kewarganegaraan dalam masyarakat mereka masing-masing. Penelitian ini dilaksanakan pada akhir 1998 dan paruh pertama 1999, yang para penelitinya diambil dari Negara-negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengetahuan mereka tentang "subjek" penelitian dalam bunga rampai ini tidak perlu diragukan lagi.

Dalam bunga rampai ini, kita disajikan realitas histories pluralitas etnis, religius, dan gender dari masa colonial sampai pasca-colonial di masing-masing Negara. Apa yang membuat pengalaman Negara-negara tersebut menjadi menarik untuk disimak adalah bahwa, terlepas dari masalah-masalah politis mereka, dari akhir 1960-an sampai awal krisis ekonomi Asia Timur pada bulan Agustus 1997, ketiga Negara tersebut menikmati salah satu periode ekspansi ekonomi paling mantap yang pernah disaksikan oleh dunia industri yang sedang berkembang.

Menurut R.W. Hefner, perkembangan multikulturalisme di Indonesia, Malaysia, dan Singapura mengalami semacam transisi cultural dari masa colonial ke pasca-kolonial. Adanya transisi cultural itu, mengindikasikan bahwa perkembangan pluralitas dalam masyarakat di tiga Negara tersebut sangat pesat. Di samping itu, intervensi kekuasaan (Negara) terhadap kewarganegaraan turut mempengaruhi lahirnya isu-isu etnisitas dan etnoreligius. Kekuasaan Lee Kuan Yew (Singapura), Mahatir Muhammad (Malaysia), dan Suharto (Indonesia), melahirkan isu etnisitas dan etnoreligius berbeda-beda.


Dalam sejarah kolonialnya, Singapura, Malaysia, dan Indonesia merupakan bagian dari semenanjung Malaya. Meskipun begitu, situasi cultural dan politik Singapura berbeda jauh dari Negara tetangganya. Jika Malaysia dan Indonesia didominasi oleh "pribumi" dan muslim, masyarakat yang mendominasi Singapura adalah orang-orang keturunan Cina. Dengan demikian, Isu etnisitas dan etnoreligius lebih banyak berkembang di Indonesia dan Malaysia, daripada di Singapura. Secara de facto, Kasus-kasus pembantaian etnis cina yang pernah terjadi di akhir pemerintahan Suharto, menjadi bukti betapa kuatnya etnisitas dan etnoreligius di Indonesia.

Sebagaimana dikhawatirkan oleh Geertz, proses transisi cultural dari masa kolonial ke pasca-kolonial, di satu sisi, telah memunculkan persaingan-persaingan yang menghancurkan sivilitas, tetapi di lain sisi, proses itu juga meyakinkan semakin banyak orang tentang arti penting mambangun politik sipil dan kewarganegaraan inklusif.

Di Indonesia, secara de jure, kesadaran membangun kewarganegaraan inklusif dan politik sipil sudah ada sejak dibangunnya bangsa ini. Akan tetapi, secara de facto, kesadaran tersebut belum tertanam dalam jiwa bangsa. Berbeda dengan Malaysia, di Negara ini, isu etnisitas dan etnoreligius lebih kecil. Sebagaimana yang disebutkan Hefner dalam bunga rampai ini, hubungan melayu-cina (pribumi-pendatang) di Malaysia lebih mapan daripada di Indonesia.

Di Malaysia misalnya, sejak krisis ekonomi melanda Negeri Jiran itu, pengusaha-pengusaha Mulayu-Cina bergotong-royong untuk keluar dari jalur krisis, dengan cara membantu usaha-usaha yang hampir bangkrut.

Di semua hal tersebut, kita melihat perbedaan yang mendasar antara Malaysia dengan Indonesia mengenai masalah pluralisme pasca-kolonial. Memang Gagasan membeda-bedakan kewarganegaraan mengikuti garis etnis, khususnya dalam hubungan "pribumi" versus "cina", dibahas panjang lebar pada pendirian Negara Indonesia. Namun pada realitasnya, Indonesia belum menjadi Negara multikultur seperti yang diharapkan.

Sungguh menarik membaca bunga rampai ini, selain kita disajikan problem-problem pluralitas kebangsaan yang sangat kompleks, buku ini juga menyuguhkan pandangan segar tentang masa depan multikulturalisme di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Oleh karena itu, buku ini perlu dibaca masyarakat luas guna merangsang tumbuhnya kesadaran untuk menghargai dan menghormati dalam perbedaan. Akhirnya, semoga kehadiran buku ini, menjadi bahan refleksi bagi spirit multikulturalisme di Indonesia. Selamat membaca!

*) Pengelola Blog: opiniliarku.blogspot.com, berdomisili di Jogja
Jurnalnet.com (Jogja),27/03/2008 - 14:20 WIB


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger