Counter Culture dalam Menumpas Bandit Berdasi

Judul   : BANDIT BERDASI KORUPSI BERJAMAAH, Merangkai Hasil Kejahatan Pasca-Reformasi
Pengarang  : Suhartono W. Pranoto
Tanggal Terbit  : 15-04-2008
ISBN  : 978-979-21-1810-0
Harga  : Rp. 37.000,-
Isi : 218 Halaman



Korupsi merupakan fakta sosial, ekonomi, politik dan budaya yang telah menggurita dalam kehidupan perpolitikan dunia, mendarah daging, sublim dan bagian dari kepribadian manusia (elit pemerintah).

Korupsi telah merusak seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa, mengahancurkan moral bangsa dan menimbulkan kemiskinan yang absolut dan terstruktur, karena korupsi tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal dan bahkan sampai di tingkat global. Korupsi juga telah menghambat upaya bangsa untuk meningkatkan peradaban (civilized) yang gemilang guna memiliki daya saing tinggi dengan bangsa lain di seluruh belahan bumi (dunia).

Korupsi tidak hanya memporak-porandakkan perekonomian bangsa, tetapi juga telah merusak moral masayarakat, korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan elit politik terhadap masyarakat. Para elit politik dalam semua lebel tingkatan telah mengajarkan rakyatnya untuk melakukan tindakan korupsi. Hal ini terlihat jelas ketika terjadi pemilihan-pemilihan umum, entah itu Pilkades, Pilkada, Pilgub Dan Pemilihan Presiden dan lain sebagainya.

Kalau peristiwa holocaust adalah peristiwa pembantaian, pemusnahan manusia (Yahudi) di masa silam, maka korupsi adalah pembantaian moral, pembunuhan kejujuran dan pemusnahan harapan bangsa di masa yang akan datang (masa depan).

Korupsi telah berdampak pada hilangnya sense of humanisme (rasa kemanusiaan) dan peradaban manusia terancam akan musnah, akal pikiran berpolitik rusak. Penyakit ini tidak hanya terjadi dalam satu negara an sich, tetapi gejala ini telah merata dan menjadi fenomena dan persoalan global atau internasional.

Dari tahun ke tahun, dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lain, tindak kriminal semakin mengalami perkembangan dan kemajuan bahkan semakin kuat mengakar. Maka jelas tampak bahwa kuatnya kejahatan korupsi terjadi karena adanya kombinasi dari born to corrupt dan creative to corrupt. Budaya korupsi memang sudah ada dan lebih banyak merupakan cultural heritage dan terlebih lagi dengan creative coruption sehingga korupsi bukan hanya biasa tetapi makin canggih sejalan dengan perkembangan budaya hal informasi teknologi tinggi.

Melalui buku "Bandit Berdasi; Korupsi Berjamaah" Suhartono W. Pranoto mencoba mendiskripsiskan dan menganalis kejahatan papan atas yang dalam istilah mutakhir disebut sebagai Bandit Berdasi (BB) atau white collar crime yang telah meresahkan semua pemerintahan selama republik ini berdiri sampai sekarang.

Kejahatan semacam ini merupakan kejahatan yang luar biasa ganasnya, dimana ada estimasi bahwa kejahatan semacam ini akan dapat melumpuhkan dan melemahkan semua sendi dan aspek kehidupan negara. Adanya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dipandang sebagai salah satu alasan dari terpuruknya keadaan negara yang tidak kunjung selasai menyelesaikan krisis multikompleks.

Tidak salah kemudian, kalau tahun 2003, IMF melalui ransparency Interntional (TI) di Berlin, menobatkan Indonesia sebagai negara dan bangsa terkorup no 6 di dunia dari 133 negara di dunia yang ditelitinya. Kemudian pada tahun 2004 bangsa Indonesia dinobatkan sebagai bangsa terkorup no 5 dari 146 negara yang diteliti TI.

Hal ini dilihat dari penyelesaian kasus KKN di Indonesia masih sangat lemah. Pemerintahan SBY-JK yang dalam program 100 hari katanya akan menyelesaikan kasus karupsi, tetapi tidak menunjukkan kejelasan yang pasti bahkan kejahatan dan KKN semakin meraja lela.

Fakta korupsi di Indonesia yang semakin menggurita dan semakin banyak terjadi telah menjadikan Indonesia menjadi negara terkorup no. 3 dunia dan no. 1 Asia (2007). Dalam hal ini, maka diperlukan perangkat yang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi, karena selama ini jalan hukum telah ditempuh namun hasilnya masih jauh, KPK seperti harimau tanpa taring.

Indonesia masih tereduksi oleh budaya yang namanya uang. Sehingga kemudian muncul istilah "Kasih Uang Habis Perkara" (KUHP). Hal ini dilihat dari fenomena yang selama in terjadi dimana ketika pencuri kelas bawah (blue collar crime) atau kejahatan kerah biru maka hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman yang sangat berat, tetapi ketika kejahatan itu dilakukan oleh orang yang "beruang" dan orang yang sudah berkaliber (white collar crime) maka mereka akan bebas tanpa ada hukuman yang setimpal.

Kejahatan yang dilakukan para bandit berdasi merupakan kejahatan yang diwariskan oleh budaya feodal yang kemudian dilestarikan oleh budaya neo-feodal, sehingga korupsi menjadi bagian yang integral dan terbesar dari para elit yang masih berkembang dan eksis sampai saat ini. Dimana budaya feodal telah menjustifikasi para elit politik dalam usaha meloloskan diri dari jeratan hukum. Dimana kejahatan para bandit berdasi merupakan kejahatan korporasi yang mencakup pengertian organizational crime, organized crime, business crime, sindicate crime, georganiseerdemisdaad, groepcriminaliteit, misdaad onderdeming.

Melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, maka pemahaman akan cakrawala korupsi yang dilakukan para bandit berdasi (BB) diperlukan perangkat pemahaman budaya bangsa yang holistik-komprehensif karena budaya korupsi sudah menjadi fondasi yang memiliki akar historis berabad-abad sebelumnya, sejak sebelum kemerdekaan sampai saat ini.

Oleh karena itu diperlukan budaya bersih dan disiplin tinggi. Kombinasi dan kolaborasi dari keduanya itu diperkirakan akan menjadi alternatif yang solutif dalam memberantas dan membersihakan penyakit korupsi yang diwariskan oleh para bandit sejak masa silam (dari kakek, ayah sampai ke anak-anaknya) yang telah menjadi penyakit kronis bangsa Indonesia.

Buku ini akan mendiskripsikan bagaimana memberantas warisan budaya korupsi dengan perspektif filsafat kebudayaan, karena mengingat bahwa kebudayaan hanya bisa dilawan dengan kebudayaan (counter culture) dan kejahatan hanya bisa dilawan dengan kejahatan, begitu seterusnya.

Penulis pada penutupnya akan memberikan jawaban atas pemberantasan korupsi melalui pendekatan budaya yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK dengan program 100 harinya. Buku ini akan sangat representatif terhadap bangsa indonesia yang "sakit kemiskinan" yaitu dalam rangka melepaskan diri dari budaya korupsi yang telah menyebabkan bangsa ini berada dalam krisis berkepanjangan yang kunjung menemukan jalan keluar.***

* Juma’ Darmapoetra adalah Kordinator Kajian Sosial- Ekonomi pada Hasyim Asy’ary Institute, Yagyakarta.
Jurnalnet.com (Jogja),(10/06/2008 - 04:31 WIB)


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger