Mendobrak Kebuntuan Proses Demokratisasi

Judul   : MELAMPAUI NEGARA HUKUM KLASIK, Locke, Rousseau, dan Habermas
Pengarang  : Reza A.A. Wattimena
Terbit  : 3/11/2007
ISBN  : 979-21-1586-2
Harga  : Rp. 40.000,-
Isi : 240 Halaman

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 meninggalkan banyak persoalan. Salah satunya adalah kesejahteraan masyarakat yang semakin terabaikan. Hal ini dikarenakan, bangsa Indonesia sedang mencari format yang tepat mengenai bentuk negaranya. Apakah negara hukum atau negara Islam sebagaimana yang akhir-akhir ini disuarakan oleh kelompok muslim puritan.

Bentuk negara hukum yang mendasarkan pada supremasi masyarakat sipil dan hukum yang dianut oleh Indonesia sekarang belum dapat menjamin berdiri negara yang berpihak kepada rakyat. Malah seringkali negara hukum klasik yang diterapkan di Indonesia menciderai proses politik dan demokratisasi. Hal ini jelas terlihat dengan banyaknya pejabat di negeri ini yang senang menumpuk kekayaan di atas penderitaan orang lain.

Keadaan ini tentunya harus segera dihentikan. Bangsa Indonesia membutuhkan format baru dalam bentuk atau sistem ketatanegaraannya. Yaitu sistem tatanegara atau negara hukum yang melampaui sistem negara hukum klasik.

Buku yang ditulis oleh staf pengajar di Universitas Atma Jaya Jakarta ini, ingin memberikan sumbang saran teoritis bagi kebuntuan proses demokratisasi di negara Indonesia. Hal ini menginggat begitu banyaknya persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Dalam konteks masyarakat majemuk seperti di Indonesia, menurut penulis buku yang sedang menyelesaikan studi S 2 di STF Driyarkara ini, filsafat politik dan hukum klasik sudah tidak dapat diterapkan, karena di satu sisi telah mereduksi otonomi individu pada kelompok atau komunitas tertentu, di sisi lain telah menekankan individu terlepas dari kelompoknya terlalu jauh sehingga yang tercipta adalah individu-individu yang egois.

Kedua kelemahan tersebut dapat ditemukan dalam paham republikanisme Rousseau, dan paham liberal yang dirumuskan oleh John Locke. Di samping itu paham hukum klasik belum secara jeli melihat deferensiasi kekuasaan seperti yang tengah terjadi dewasa ini. Negara kini hanyalah satu subsistem dari dua subsistem lainnya, yakni ekonomi bisnis kapitalis dan masyarakat sipil, yang ikut membentuk masyarakat majemuk.

Diferensiasi kekuasaan tersebut sungguh membuat variabel-variabel filsafat politik dan hukum klasik menjadi problematic untuk diterapkan. Adalah Jurgen Habermas yang kemudian memberikan terobosan teoritis bagi filsafat politik dan hukum klasik. Ia tetap setia dengan teori diskursusnya. Hanya kini teori diskursus tersebut, yang tadinya bergeraak di tataran teoretis etika umum diterjemahkan ke dalam konteks politik dan hukum.

Habermas berpendapat bahwa teori negara hukum klasik alam Plato tentang manusia besar (macro anthropos), tidak dapat lagi kita pegang karena masyarakat dewasa ini telah menjadi semakin kompleks dan terglobalisasi. Globalisasi ekonomi pasar menerjang batas-batas negara nasional.

Liberalisasi politik dan ekonomi menelurkan pluralitas gaya hidup dan orientasi nilai. Dengan kata lain, masyarakat menjadi sedemikian kompleks. Dalam situasi ini, negara mengalami situasi mirip seperti proses sekulerisasi yang dialami Gereja, yakni kehilangan monopolinya dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut publik.

Hal yang mau dikatakan dalam bagian ini sebenarnya adalah bahwa negara bukanlah satu-satunya pusat kedaulatan. Negara hanyalah salah satu pusat dari masyarakat kompleks dewasa ini (hlm. 137).

Lebih lanjut Habermas berpendapat negara harus dipandang bukan sebagai substansi kekuasaan yang menjadi penguasa seluruh masyarakat, melainkan dilihat sebagai komponen sistem sosial yang berdiri sejajar dengan komponen-komponen sistem lain dalam masyarakat, misalnya sistem kapitalistik.

Kehidupan sosial dewasa ini harus dilihat dalam tiga sudut yang sama kuat, yakni negara, pasar, dan masyarakat sipil. Pasar dan masyarakat sipil juga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan sosial sehingga tidak bisa seenaknya dipaksa tunduk di bawah regulasi-regulasi negara, bahkan dalam beberapa kasus, regulasi-regulasi negaralah yang tunduk di hadapan kepentingan pasar itu sendiri (hlm. 139-140).

Pemikiran cerdas Habermas mengenai negara hukum yang melampui negera hukum klasik dengan teori diskursusnya memang mampu menohok sistem negara hukum yang sudah ada. Akan tetapi, kritik Al. Andang dalam kata pengantarnya menyebutkan, pengandaian kosmologi Habermas bahwa dunia ini "banyak" atau plural tampak lebih sesuai dengan kenyataan zaman. Dunia tak lagi tunggal. Hanya saja, pengandaian kosmologi hukum Habermas tidak secara eksplisit mendobrak pengandaian hukum yang hierarkis.

Benar, consensus bisa menjadi legitimasi dari hukum yang berlaku, tetapi belum ditemukan jalan keluar bagaimana mengatasi ketegangan antara pengandaian kosmologi hukum yang hierarkis dengan pengandaian yang lebih bersifat "egaliter". Konkretnya, bagaimana misalnya mencari titik tengah dari pluralisme hukum yang ada di tengah masyarakat, yang setidaknya sementara ini lebih banyak menjadi kajian para antropolog. Teori Habermas pun belum secara tegas dan cukup tuntas memberi jawaban. (hlm. xx).

Walaupun demikian, buku yang didukung dengan teori filsafat yang cukup kaya ini layak untuk dibaca dan dikaji lebih lanjut.

*) Pembaca sedikit buku.

Jurnalnet.com (Jogja), 19/02/2008 - 16:23 WIB


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger