Wajah Sepak Bola Kita

Judul   : SEPAK BOLA TANPA BATAS
Pengarang  : Anung Handoko
Terbit  : 29-11-2007
ISBN  : 978-979-21-1772-1
Harga  : Rp. 25.000,-
Isi : 160 Halaman


Tim nasional sepak bola Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri, menjadi tim Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia FIFA pada tahun 1938. Saat itu mereka masih membawa nama Hindia Belanda dan kalah 6-0 dari Hungaria, yang hingga kini menjadi satu-satunya pertandingan mereka di turnamen final Piala Dunia. Indonesia, meski merupakan negara besar dengan jumlah penduduk yang juga sangat besar, tidak termasuk jajaran tim-tim terkuat di AFC.

Di kancah Asia Tenggara sekalipun, timnas belum pernah berhasil menjadi kampiun Piala AFF (dulu disebut Piala Tiger). Prestasi tertinggi timnas 'hanya'-lah tempat kedua di tahun 2000, 2002, dan 2005. Di ajang SEA Games pun kita jarang meraih medali emas, yang terakhir diraih tahun 1991.

Di kancah Piala Asia, timnas meraih kemenangan pertama pada tahun 2004 di China setelah menaklukkan Qatar 2-1. Yang kedua diraih ketika mengalahkan Bahrain dengan skor yang sama tahun 2007, saat menjadi tuan rumah turnamen bersama Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Raihan 3 angka dari jumlah pertandingan yang sama (2-1 melawan Bahrain, 1-2 Arab Saudi, dan 0-1 Korea Selatan), terbukti tidak cukup untuk mengantar tim asuhan Ivan Kolev ini ke babak perempat final. Namun, perjuangan luar biasa anak-anak Tim Merah Putih dalam semua pertandingan patut diajungi jempol. Terutama saat melawan Arab Saudi (yang pada akhirnya meraih tempat kedua setelah Irak) dan Korea Selatan, dua tim langganan Piala Dunia yang notabene kekuatannya jauh di atas timnas.

Namun, sayangnya timnas tidak mampu lolos ke fase ketiga kualifikasi Piala Dunia 2010 setelah takluk secara mengecewakan di tangan Suriah dengan agregat 1-11. Timnas U-23 pun juga mengalami kegagalan di SEA Games ke-24 di Thailand; setelah takluk dari Thailand di pertandingan babak penyisihan grup yang terakhir.

Koreksi
Semangat nasionalisme terhadap suatu negara dan sepakbola acap kali berjalan berdampingan. Coba lihat saja, tatkala kesebelasan Inggris bertemu kesebelasan Argentina pada kejuaraan sepabola dunia misalnya, bisa dipastikan aroma nasionalisme menyeruak di sana. Duel musuh bebuyutan itu jelas akan mengingatkan kenangan dasyatnya perang Falkland ataupun Perang Malvinas (Bahasa Spanyol: Guerra de las Malvinas) di tahun 1982.

Jika Argentina berhasil menekuk kesebelasan Inggris misalnya, maka bisa dipastikan jutaan rakyat Argentina akan memadati jalan-jalan di Buenos Aires untuk merayakan kemenangan itu. Mereka akan menggibarkan bendera biru-putih dan menyanyikan lagu kebangsaan negeri Tanggo, seakan mereka merayakan kemenangan pasukan perang negaranya.

Tidak masuk akal memang, tapi itulah realitas yang terjadi, sepakbola kadang mampu menjadi sihir yang mampu membakar api semangat nasionalisme dalam jiwa manusia. Bahkan di Jerman, sepakbola mampu membangkitkan kembali semangat patriotisme dan nasionalisme banyak rakyat Jerman yang selama ini merasa inferior dengan ke-Jermanan-nya. Mereka malu dan super minder dengan sejarah kelam Nazi pimpinan Adolf Hitler yang demikian rasis itu. Tapi kini, setelah Jerman cukup perkasa di ajang sepakbola sejagat itu, mulai merambat rasa percaya diri rakyat Jerman.

Jutaan rakyat Indonesia lainnya, sangat merindukan suasana seperti yang dirasakan jutaan rakyat Jerman itu. Saya merindukan timnas sepakbola Indonesia mampu menggetarkan jiwa nasionalisme dan patriotisme 210 juta rakyat dari Sabang sampai Merauke ini, seperti yang dirasakan jutaan rakyat Jerman ketika melihat timnas sepakbolanya bertanding atas nama negara.

Mungkin saja kerinduan itu, juga menjadi kerinduan rakyat Indonesia lainnya. Namun jika melihat kenyataan mutu timnas sepakbola kita saat ini yang belum layak untuk dibanggakan. Jangankan untuk bersaing di ajang piala dunia, bersaing di tingkat Asean saja belum tentu berjaya timnas Indonesia.

Kualitas timnas memang tidak bisa mutu pemain-pemain yang ada di klub-klub sepakbola saat ini. Siapa pun sudah tahu hampir semua klub di Indonesia selalu mengandalkan APBD untuk kelangsungan hidupnya mengikuti kompetisi, sehingga untuk dijadikan sebagai klub sepakbola yang dikelola secara profesional masih sangat sulit.***


*) Peresensi adalah pemain sepakbola di kampung, penggila Futsal, aktivis K.H. Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT), Jakarta.


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger