Mendengar Suara Tapol 65

Judul   : PENYAM(B)UN(G) LIDAH RAKYAT
Pengarang  : Budi Susanto, S.J. (editor)
Kategori  : Humaniora
Terbit  : 11/9/2008
ISBN  : 978-979-21-1983-1
Harga  : Rp. 45.000,-
Ukuran  : 155x225
Halaman  : 220


Setiap peristiwa politik yang terjadi di suatu bangsa telah mendasari perubahan yang signifikan bagi tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Tidak hanya di negara-negara dunia pertama, melainkan juga di negara-negara baru berkembang. Salah satunya adalah peristiwa politik pada 1965-1966 di Indonesia.

Dari banyak buku pelajaran sejarah di sekolah baik pada tingkat Dasar, Menengah dan Atas menunjukkan bahwa dalang dari peristiwa  (Gestok) G-30-S/PKI ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Kerena itu, tidak heran jika ribuan orang tak bersalah dan tidak mengetahui menjadi korban dari peristiwa tersebut.

Tidak hanya para lapisan negara, seperti Jendral pahlawan revolusi, mantan presiden Soekarno, melainkan juga rakyat-rakyat jelata baik tua, muda, laki-laki dan perempuan yang hidup di pelosok-pelosok desa Indonesia. Peritiwa itu tentu sangat menyakitkan bagi keluarga korban dan keturunannya (seperti anak, famili dan cucunya) kerana bagaimana tidak, orang tak bersalah dan tidak atau apa-apa bisa diciduk, kemudian dimasukkan kedalam dipenjara selama 5 tahun.

Ada dua perempuan, yakni Sumarah dan Jamilah yang “diciduk” dari desa kelahirannya, kabupaten Magelang (Jawa Tengah). Sebagian besar tahanan lainnya adalah keluarga dekat, sanak-saudara, termasuk lurahnya. Hal ini terjadi karena mereka berdua (Sumarah, Jamilah) sama-sama aktifis organisasi politik, yaitu Pemuda Rakyat (PR). Dan kemudian “didakwa kudeta” dan ikut terlibat bersama pejabat desa terhadap G 30 S/PKI. Mungkin berangkat dari dakwaan semacam itulah, para pemuda dari berbagai unsur seperti Pemuda Marhaen, Muhammadiyah dan Pemuda Ansor menjemput dan memberlakukan kasar terhadap keduanya.

Ketiga elemen ini digerakkan oleh RPKAD dan kepolisian setempat. Ada dua bentuk instrument proses penjemputan terhadap orang-orang yang dianggap ikut terlibat pada G 30 S itu. Pertama, proses kedatangan, penggeledahan dan pengarakan menuju kantor desa Candi Mulyo.

Kemudian ke kantor kecamatan pada malam harinya dan dibawa kepolisisan Muntilan dan ditahan semalam dipenjara Muntilan. Kedua, proses pemenjaraan di Dinas Sosial Kota Magelang.Bukan hanya Sumarah dan Jamilah, satu minggu sebelumnya, tokoh laki-laki yang banyak tergabung dalam Pemuda Rakyat juga dipanggil oleh kantor kecamatan untuk menghadiri rapat melalui surat panggilan.

Kali pertama yang dipanggil adalah Slamet, Daryanto, Sadjono, Abdul (kakak Sumarah). Seminggu kemudian Lurah Pandan Retno, Mulyo Sadiro, dan menantunya yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh di kali Progo Secang. Magelang, Yuso Admajo (paman Sumarah). Tentu beberapa korban politik tersebut hanyalah sebagian kecil dari daftar korban peristiwa politik 65 “Dari Sabang Sampai Merauke” di bawah kekuasaan Orde Baru.

Kita bisa menyebut hampir semua korban politik saat itu mengalami nasib yang sama sebagaimana yang ditunjukkan para penulis muda dalam buku berjudul Penyam(b)ung Suara Rakyat ini. Para penulis buku ini adalah orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap masa lalu dan masa depan bangsa (bukan menemukan, merumuskan dan memaparkan apa keinginan, cerita dan cita-cita kehidupan orang-orang yang mereka wawancarai, tetapi berusaha mengungkap bagaimana beberapa rakyat sebangsanya itu membayang (bayangkan) sendiri beragam jenis hasrat kemanusiaan-sebagai seorang rakyat biasa) Indonesia.

Menurut Budi Susanto, editor buku setebal 220 halaman ini, suara atau kata-kata yang keluar dari “lidah”  rahyat  tersebut layaknya sebuah hasrat kebangsaan Indonesia. namun demikian, inti dari sebuah hasrat bukan sekedar mengangan-angankan tetang sesuatu hal, tetapi sesuatu kewaspadaan dari ketidak-mampuan manusia untuk memiliki seseorang atau barang yang sesungguhnya kita inginkan (halaman 11).

Dengan begitu, baginya, sebagian rakyat menjadi mampu memanfaatkan peluang-peluang kebudayaan (seni sastra, juranlisme, seni tari, pentas, organisasi atau berserikat) untuk menyuarakan dan mewujudkan kebebasan dalam menentukan nasib sendiri demi suatu masa depan bersama, dalam arus globalisasi masa kini.

Sebab, modernitas global mempercepat dan mendekatkan warga masyarakat menatap (ketika) terjadinya peperangan, datangnya manusia pengungsi dan terusir, pasar dan konsumsi gaya hidup global.Dengan pendekatan kajian poskolonial, kehadiran buku ini tampaknya menjadi “jalan tengah” atau “musyawarah” antara proses sejarah dan peran tulis-menulis, sastra kesenian.

Oleh karena itu, buku ini layak disambut dan dibaca oleh khayak. Sebab, kisah-kisah masa lalu bangsa yang pernah terjadi, baik di Yogyakarta, Magelang, Blora, Gorontalo dan Madura bukan sebuah hasil kebetulan, atau sebuah kemungkinan buta, tatapi juga kisah (dan cita-cita) aksi rasional kerakyatan menghadapi perhantuan (traumatis) yang bikin lidah keluh dan membisukan selama 32 tahun orde baru berkuasa.

Akhirnya, semoga sastra, tarian dan kesenian rakyat tentang masa lalu, dengan buku ini mampu berperan secara mendasar untuk sebuah reorientasi sejarah politik ekonomi Indonesia di masa depan. Harapan seperti itu pernah dianjurkan presiden Soekarno “Penyambung Lidah Rakyat”  yang mengatakan bahwa para pemimpin bangsa Indonesia harus berani tampil sejajar di depan dunia modern global.[]


Hurri Rf *) (30/01/2009 - 05:27 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja),
*) Mahasiswa Uhuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger