Menelusuri Sepak Terjang Teror(isme)

Judul   : POLITIK PARA TERORIS
Pengarang  : Mutiara Andalas
Terbit  : 19-12-2009
ISBN  : 978-979-21-2475-0
Harga  : Rp. 25.000,-
Isi : 132 Halaman



Sepertinya bangsa ini tidak pernah dapat lepas dari aksi terorisme. Mulai dari peledakan bom di berbagai wilayah Indonesia hingga latihan militer, sebagaimana di Aceh baru-baru ini. Teroris akan terus menyebarkan pahamnya dengan berbagai jalan yang mereka yakini kebenarannya.

Romo P. Mutiara Andalas sembari mengutip John Horgan menyatakan, kita pertama-tama berjumpa dengan drama peristiwa teror bom. Drama peristiwa dapat sedemikian dahsyat sehingga kita berubah dari penonton menjadi pelibat aktif di dalamnya (personalization of even). Horgan mengingatkan kita agar jangan berhenti pada drama tragedi. Kita perlu beranjak dari drama tragedi ke uraian sistematis untuk memahami terorisme.

Horgan mengakui bahwa kata terorisme termasuk di antara konsep yang alot pendefinisiaan dan pendeskripsiannya. Kesulitannya bukan pertama-tama berkaitan dengan semantik. Kita kewalahan untuk mendefinisikan atau mendeskripsikan terorisme karena konsepnya secara inhern politis.

Horgan melihat kebutuhan untuk mencermati subyek politik yang mendefinisikan dan mendeskripsikannya. Ia memandang teror sebagai eksploitasi atau ancaman penggunaan kekerasan sebagai instrumen untuk mencoba meraih efek tertentu dalam konteks politik. Penyebaran teror melalui kekerasan menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif untuk perubahan atau gejolak politik. Pemboman, penembakan, atau serangan fisik membangkitkan dan kemudian menjaga tingkat ketakutan (hal 34-35).

Maka dari itu, perlu langkah-langkah prefentif agar bangsa ini tidak selalu menjadi sasaran dan sarang teroris. Dalam buku Politik Para Teroris ini dijelaskan setidaknya tiga tugas penting yang meminta keterlibatan komunitas kebangsaan dan keagamaan pasca teror bom. Komunitas-komunitas ini hendaknya mengungkapkan imannya akan keesaan Allah terutama melalui bela rasa dengan korban. Mereka memiliki panggilan bersama untuk melawan terorisme sebagai rezim anti-kemanusiaan kontemporer.

Media massa mengutip janji pemerintah untuk menanggung pengobatan para korban yang luka dalam tragedi bom. Namun penderitaan korban seringkali masih berlanjut setelah masa perawatan di rumah sakit. Trauma seringkali menyertai penderitaan fisik korban dan tergambar dalam bekas luka pada tubuh korban.

Kepeduliaan juga hendaknya terulur kepada mereka yang pernah mengalami masa tahanan karena dakwaan keterkaitan dengan jaringan teroris. Masyarakat seringkali mengucilkan mereka karena dakwaan berkomplot dengan jaringan teroris di masa lalu. Masyarakat seringkali rendah toleransinya menerima warga, yang pernah berurusan dengan aparat keamanan karena dakwaan terlibat dengan teroris, untuk hidup di tengah-tengah mereka. Atas nama membersihkan wilayah mereka dari sebutan sarang persembuniyan teroris, mereka mengusir warga yang rumahnya menjadi tempat singgah mereka yang didakwa aparat keamanan sebagai teroris.

Tugas selanjutnya adalah mendorong pembacaan dan penafsiran kritis terhadap teks-teks suci agama yang sepintas membenarkan teror kekerasan. Hermeneutika terhadap teks suci agama perlu untuk membongkar kedok jaringan teroris yang seringkali menyelubungi aksi-anti kemanusiaannya dengan baju teks Kitab Suci. Pernyataan pemuka agama bahwa pelaku membajak Kitab Suci perlu berlanjut dengan pembacaan dan penafsiran terhadap teks-teks yang rentan terhadap pembelokan makna.

Dalam beberapa aksi teror di Indonesia, pelaku menjadikan teks-teks suci agama untuk menyucikan aksi anti-kemanusiaannya. Teks-teks suci yang menyimpan problematika menjadi lahan bersarang aman bagi jaringan teroris. Pengkaji Kitab Suci hendaknya menafsirkan teks-teks tersebut dalam terang pandangan yang semakin positif terhadap komunitas beriman lain. Mereka hendaknya juga keluar dari paradigma pertarungan agama dan peradaban sebagaimana pernah dinubuatkan Samuel P. Huntington. Kita perlu memperhatikan konteks ketidakadilan global dalam membaca dan menafsirkan teks Kitab Suci.

Tugas ketiga adalah mengangkat terorisme anti-kemanusiaan sebagai bahan wacana kebangsaan dan dialog antar-agama. Kita mensyukuri kelahiran gerakan-gerakan cinta bangsa, seperti Indonesia Unite, pasca-tragedi teror bom. Di tengah kepanikan masyarakat pasca-tragedi, seperti aksi hening kemanusiaan pasca-tragedi Madrid, mereka berseru lantang, “Kami tidak takut!” kita mendorong gerakan-gerakan kebangsaan untuk melihat terorisme sebagai tantangan berketuhanan yang maha esa di Indonesia sekarang ini.

Kita juga mendorong mereka untuk berinteraksi langsung dengan korban atau keluarga korban. Spiritualitas mereka bersumber dari perjumpaan dengan korban dan keluarga korban yang melahirkan bela rasa. Komunitas-komunitas agama juga berhadapan dengan ilah kekerasan sebagai berhala kontemporer yang mengancam keesaan Allah. Komunitas-komunitas dialog antar-agama hendaknya sampai pada pemahaman berhala kekerasan dalam aksi teroris menyerang kemanusiaan bersama (hal 96-99).

Menurut Trias Kuncahyono dalam komentarnya, banyak orang sudah demikian akrab dengan kata “terorisme” dan “teroris”. Tetapi buku ini memberikan pemahaman baru tentang terorisme, teroris, dan mengapa orang mau menjadi teroris? Latar belakang penulis, yang menggeluti filsafat dan teologi, membuat buku ini sangat menarik dan berbeda dengan buku-buku lain tentang terorisme. Buku ini sangat layak dibaca oleh para ilmuwan, mahasiswa, wartawan, kaum agamawan, dan aparat keamanan yang ingin memperoleh pemahaman baru tentang terorisme.

Pada akhirnya, buku kecil ini merupakan bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin mengetahui secara lebih jelas sepak terjang teroris. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

 

Jurnal Nasional, Minggu 2 Mei 2010


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger