Membaca Cermin Buruk Negara

Judul buku    : Negara di Persimpangan Jalan Kampusku
Penulis          : Hani Raihana
Penerbit        : Kanisius Yogyakarta
Cetakan        : 1, 2008
Tebal            : 158 halaman

Wajah Indonesia di tengah transisi reformasi masih menyisakan problem yang belum tuntas. Tragedi demi tragedi terus hadir membungkam esensi kemanusiaan dan persaudaraan. Proses marginalisasi kaum pinggiran terus berjalan secara kolosal, jerat pemiskinan struktural semakin ganas menerkam kaum terlantar, dan praktek dehumanisasi secara universal terjadi di semua sektor kehidupan. Melihat wajah Indonesia, dari sisi semua, yang hadir adalah kebopengan, kemunafikan, ketertindasan, dan kehilangan identitas kebangsaan. Wajah Indonesia adalah wajah suram yang dipenuhi gejolak darah, gejolak intrik, gejolak korupsi, dan gejolak diskriminasi sosial lainnya.

Gejolak demi gejolak itu telah melupakan esensi dasar kemanusiaan dalam ruang hidup kewargaan (citizenship). Esensi dasar citizenship adalah co-existence, bahwa ananging siro mergo ono niro, bahwa keberadaan "saya" sebagai "aku" karena keberadaan yang lain (liyan). Buku ini hadir untuk memotret runtuhnya tragedi runtuhnya nilai kemanusiaan yang sedang menerpa bangsa Indonesia di berbagai jalan raya. Penulis berusaha membaca wajah Indonesia dari perilaku warga dalam tata kehidupan di jalan raya pada masyarakat kota. Perbuatan ugal-ugalan terus mewarnai jalan raya, sehingga kemacetan, kerusuhan, bahkan sampai targedi kematian sering mewarnai kelalian manusia dalam beretika di jalan raya.

Penulis buku ini menyuguhkan racikan fakta sosial masyarakat pengguna jalan raya. Disana ada peminta-minta yang hidupnya digantungkan di jalan. Ada penjual Koran yang menjajakkan korannya untuk menyambung hidup. Ada pengguna sepeda ontel yang geram dengan mobil yang terus merangsek. Ada pengguna sepeda motor yang arogan, asal serobot, dan rentan membuat kecelakaan. Ada mobil mewah yang dihuni kaum kaya, berdasi, yang lupa kepada saudara yang meminta-minta. Ada para truk bus dan truk barang yang mengemudi asal-asalan, berlomba mengejar setoran. Merekalah wajah pengguna jalan yang diracik dalam sebuah light research yang memotret pertarungan kekuasaan yang melibatkan manusia, alat transportasi, ruang, hingga menjadi refleksi atas peran Negara dan identitas karakter bangsa.

Pertautan itulah yang dijadikan penulis untuk melakukan analisis fakta sosial masyarakat di jalan raya. Dalam analisisnya, penulis melihat Negara di persimpangan jalan yang menyesakkan. Karakter anak bangsa banyak dihuni manusia arogan yang main serobot sendiri, tanpa menyisakan ruang toleransi bagi saudaranya. Bagi penulis ini sangat naïf, karena jalan raya merupakan salah satu simpul idealisme mencipta masyarakat menjadi berperadaan. Banyaknya ragam masyarakat yang menjejakkan kaki di kota, melahirkan perbedaan sikap, perilaku, dan pandangan hidup. Jalan raya menjadi pertemuan semua karakter tersebut, dan manusia diatur dengan aturan lalu lintas. Mereka yang berperadaban (civilized) pasti memanfaatkan jalan raya sebagai bentuk strategi menyusun peradaban tingkat tinggi.

Potret wajah bopeng Negara dalam lintasan jalan merupakan kritik pedas penulis buku ini. Kritik ini menjadi bagian penting dalam upaya penciptaan peradaban baru yang toleran dan humanis. Rendahnya peradaban masyarakat kota akan sangat berpengaruh terhadap kualitas bangsa Indonesia. Kualitas semakin terpuruk, maka Indonesia tinggal menunggu saja untuk masuk jurang kehancuran yang menyakitkan. Indonesia tinggal menikmati fase kehancurannya di tengah transisi reformasi yang hanya menyisakan arogansi kaum elite dan bobroknya birokrasi pemerintahan. Kita kehilangan identitas diri dalam menentukan masa depan Indonesia, sehingga seluruh program kerja kenegaraan hanya seremonial yang tak menyentuh ruang pemberdayaan masyarakat (society empowering ).

Dalam konteks ini, penulis ingin mengajak seluruh insan Indonesia untuk kembali menggali hakekat jati diri Indonesia yang terus terkoyak. Pertama, pembangunan karakter seharusnya dijalankan secara dini lewat keluarga. Keluarga menjadi menjadi media paling strategis dalam membentuk karakter anak manusia. Kedua, pendekatan edukasi melalui komunitas. Komunitas dalam masyarakat kota sangat mungkin melakukan pembinaan dalam pembelajaran menggapai peradaban tinggi (high civilization). Dan ketiga adalah melalui institusi pendidikan formal. Lembaga pendidikan harus memainkan perannya dalam memanusiakan manusia, sehingga anak didiknya mampu menjadi actor pejuang kemanusiaan.

Gerakan yang disimpulkan tersebut harus di back up secara serius seluruh komponen bangsa. Gagal dalam mengawalnya, maka pertaruhanannya identitas bangsa bisa tergadaikan kembali. Perjuangan menegakkan kemanusiaan dan keadilan harus menjadi slogan besar menggapai peradaban masa depan.



*Aktivis LPM ARENA UIN SUKA Yogyakarta


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger