Beriman Secara Konstektual


Beriman Secara Konstektual
Judul Buku : The Catholic Way Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita
Pengarang : Mgr. Ignatius Suharyo
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, Juli 2009
Tebal Buku : 247 halaman
Peresensi :Paulus Mujiran, S. Sos, Msi.
Dimuat di Sinar Harapan

Sebagi pemimpin tertinggi gereja di Keuskupan Agung Semarang Jawa Tengah Monsigneur Ignatous Suharyo menerbitkan buku ini dengan maksud memberi pegangan kepada umat katolik. Begitu pentingkah pegangan itu dalam kehidupan beragama sekarang ini? Sejak awal keberadaannya manusia menyadari ada kekuatan di luar dirinya yang mempengaruhi kehidupannya. Kesadaran itu terus bergulir hingga mencapai kesimpulan terdapat realitas tertinggi yang berkuasa atas segala sesuatu di dunia yang sering disebut Tuhan, Allah, God, Deus, Theos.
Dalam perjalanan hidup manusia, agama menjadi pegangan utama bagi manusia untuk hidup. Agama mengiringi perjalanan manusia melintasi ruang dan waktu mulai dari era agraris, industri hingga informasi. Dalam kurun waktu tersebut agama bertemu dan berdialog dengan berbagai persoalan kemanusiaan dan kebangsaan mulai masalah ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kesehatan, kejahatan hingga kesejahteraan bersama.
Sudah menjadi rahasia umum dalam masyarakat paternalistik pemuka agama menjadi pihak yang dirujuk untuk memberikan pencerahan dan arahan bagi umatnya. Dalam kerangka itulah buku The Catholic Way : Kekatolikan dan Keindonesiaan diterbitkan dengan maksud menjadi arahan bagi umat katolik untuk menjalani hidup masa kini berpijak pada pendapat, pandangan, sikap, dan pemikiran gereja.
Terhadap misteri iman, pertama-tama Suharyo memberikan penegasan bahwa iman bukan pengetahuan. Karena itu penjelasan apapun yang diberikan akan mengandung ketidakjelasan. Kalau semuanya jelas, namanya bukan iman, bukan Allah yang kita imani. Kalau semuanya jelas, pasti bukan Allah dan bukan iman. Iman adalah jawaban terhadap wahyu yakni Allah yang dari kelimpahan kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka untuk mengundang mereka dalam persekutuan dengan diri-Nya. Dengan iman pula menjadi rujukan dalam kehidupan praktis keseharian.
Tak jarang iman dihadapkan pada realitas sosial yang beragam. Dalam konteks iman pula gereja mendukung implementasi pasal 33 UUD 1945 yang menjamin ekonomi kerakyatan bukan ekonomi liberal yang hanya memandang dari sisi untung dan rugi. Peran pemimpin gereja adalah anjing penjaga moral. Juga dalam berpolitik praktis bukan tugas para gembala gereja. Moral gereja dalam politik praktis adalah tanggung jawab kaum awam yang memang dipanggil menyucikan dunia.
Dalam pemilihan umum sering ada upaya menarik gereja ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gereja terutama hierarkhi dan pemukanya tidak bertanggung jawab dalam aras politik. Kaum awam yang memahami politik, arus-arus politik mestinya memberikan pencerahan supaya umat memilih dengan cerdas. Jika para pemuka agama memberikan petunjuk agar mendukung partai A, B atau C bukan persatuan malahan perpecahan yang terjadi (hal 61).
Terhadap wacana mengenai peraturan-peraturan daerah (perda) bernuansa Syariat Islam, Suharyo menegaskan gereja membuka diri terhadap pluralism dan multikulturalisme karena gereja meyakini hanya dengan memberikan penghormatan satu sama lain maka kebaikan bersama akan diwujudkan. Sikap meremehkan atau lebih lagi menghina agama/penganut agama lain adalah benih konflik yang hanya akan merugikan semua pihak.
Dengan begitu masa depan bangsa dan negara Indonesia bahkan masa depan dunia sangat tergantung pada baik/buruknya hubungan-hubungan antar agama. Energi yang tersia-siakan dalam konflik antarumat beragama sebenarnya bisa digunakan untuk membangun kesejahteraan bersama. Terjadinya marginalisasi agama atau etnis disebabkan negara tidak punya ciri inklusif dan tidak berhasil mengembangkan adanya inklusivitas. Dalam pada itu negara kehilangan dasar moralnya karena negara dibentuk untuk mengelola dan membela inklusivitas.
Tentu negara mempunyai kekhasan teologis, tetapi kekhasan itu tidak sama dengan eklusivitas etis. Agama sejati selalu punya inklusivitas etis dalam arti bahwa etika agama itu membangun kultur kehidupan bersama seperti toleransi, solidaritas sosial, keadilan dan perdamaian. Maka agama yang meminggirkan agama lain dalam tata hidup bersama adalah agama yang tidak punya etika inklusif. Dan biasanya pemeluknya juga memiliki kecenderungan merusak kehidupan beragama lain (hal 97).
Untuk itu, gereja mempelopori empat jenis dialog untuk mempererat relasi hidup beragama. Gereja mengembangkan dialog kehidupan yang berarti cara bertindak, suatu sikap, semangat yang membimbing perilaku seseorang. Di dalamnya terkandung perhatian dan keterbukaan menerima orang lain. Masing-masing pribadi menghayati dialog ini dalam suasana kebatinan dan kehidupan mereka sendiri.
Selain itu dikembangkan dialog karya yang berarti kerjasama dengan orang yang berkeyakinan iman lain untuk tujuan kemanusiaan, sosial, ekonomi atau politik yang ditujukan untuk pembebasan atau kemajuan masyarakat. Dialog jenis ini juga dikembangkan dalam konteks organisasi lokal, nasional atau internasional dalam rangka menghadapi masalah-masalah bersama.
Dan dialog pakar yang dilakukan pada tataran keahlian untuk memperdalam dan memperkaya warisan religius masing-masing. Dan yang tidak kalah penting adalah dialog pengalaman religius dimana para taraf ini dialog lebih mendalam dan berakar pada tradisi keagamaan masing-masing dan berwujud pengalaman kontemplasi, diskusi iman untuk memperdalam cita-cita rohani (hal. 84).
Terhadap praktek korupsi yang kian marak Suharyo menegaskan sikapnya, gereja menolak korupsi. Suharyo menyebut korupsi adalah kematian hati nurani yang merupakan akar segala kehancuran. Dengan tanpa hati nurani kesejahteraan umum tidak akan pernah menjadi kenyataan. Budaya alternatif diperlukan untuk membongkar pola pikir dan perilaku yang berlawanan dengan martabat luhur orang beriman.
Karena akar korupsi adalah pendidikan yang terlampau formal, gereja mendorong agar dalam pembinaan peserta didik diajak live in agar tumbuh kesadaran moral. Hasil penelitian membuktikan mereka yang mengalami live ini cenderung memiliki kesadaran moral yang tinggi. Pengalaman hidup bersama kaum marjinal yang kemudian direfleksikan akan menolong mereka mengalami penyadaran diri yang memadai.
Dalam pada itu perlu dikembangkan model pendidikan religiusitas. Model pendidikan ini mengupas topik-topik agama dari berbagai sudut pandang seperti keadilan, perdamaian, soal nilai. Peserta didik diajak meyakini imannya sendiri kemudian memandang iman dan keyakinan lain. Mereka juga juga dididik tidak hanya memandang segala sesuatu secara tersekat-sekat tetapi ditumbuhkan kesadaran akan masalah-masalah kemanusiaan untuk kemudian dipecahkan bersama.
Terbitnya buku ini cukup memberikan pegangan bagaimana beriman di tengah situasi politik, globalisasi, kemiskinan belakangan ini. Buku ini dikemas dalam tanya jawab sesuai topic yang tentunya sangat membantu bagi mereka yang ingin mendalami imannya secara lebih mendalam. Topiknya juga sesuai dengan situasi keagamaan belakangan ini yang penuh dengan persimpangan dan ketidakpastian. (Paulus Mujiran, Kepala Panti Asuhan Servatius Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang).


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger